Bab 8. Diva: Jatuh Cinta?

644 54 6
                                    

Aku segera mengemasi kotak make up kecil dan tas hitam yang setia menemani di tiap pemotretan. Aku ada janji dengan Yama sore ini. Kupesan jasa taksi daring dari ponsel sambil mengunyah kripik kentang yang baru saja kubeli.

Tak berselang lama taksi datang dan aku segera naik. Hanya setengah jam perjalanan karena memang kebetulan jalan nggak terlalu ramai. Masih sambil mengunyah makanan ringan, aku menghubungi Yama.

"Aku on the way. Kamu lagi nggak sibuk, kan?"

"Aku nggak sibuk," jawab Yama di seberang sana.

"Oke, see you," tutupku, lalu memasukkan benda pintar persegi panjang itu ke dalam tas. Sesekali aku berbincang dengan supir yang memang ramah demi mencairkan suasana. Aku memang bukan tipe rame, tapi nggak tahan juga diam-diaman di tempat yang sama dalam rentang waktu yang lumayan lama.

Aku langsung masuk restoran yang memang lagi nggak begitu ramai pengunjung. Mataku menyapu sekeliling, hanya ada dua pasang di ruangan bernuansa tradisional Indonesia, beberapa remaja di ruangan sebelahnya yang berdekorasi putih dengan pemandangan penuh salju, dan beberapa wanita yang mengantre di depan kasir ruang cake and pastry. Restoran ini memang unik karena Yama membuatnya menjadi tiga bagian yang menyatu dan hanya bersekat dinding kaca berpintu. Di bagian dengan dekorasi tradisional adalah tempat pengunjung menikmati berbagai sajian khas Indonesia, sedangkan di sebelahnya yang bernuansa salju adalah tempat yang sengaja diciptakan khusus untuk nongkrong sambil minum es dengan berbagai varian dan kreasi baik lokal maupun internasional, lalu bagian paling ujung sebelah kiri adalah tempat memesan kue ulang tahun dan berbagai macam pastry baik take away maupun dine in.

"Sibuk?" tanyaku yang langsung mendapati Yama berkutat dengan oven di dapur bagian kue. Pria itu masih mengenakan kemeja merah mudanya, mungkin dia lupa kami akan ketemu. Yama menyeka keringat di dahi dengan sapu tangan setelah mengeluarkan seloyang kue yang entah apa namanya, tapi yang jelas menguarkan harum vanila yang memabukkan.

"Yess, akhirnya," gumamnya dengan bangga serta senyum datar yang memang ciri khasnya. Dia mengajakku ke luar dan duduk di pojok ruang bernuansa tradisional, lalu memberi perintah pada karyawannya untuk menyiapkan nasi padang dengan rendang serta air mineral.

"Gimana kerjaan kamu?" tanya Yama sambil melepas apron berwarna putih dan meletakkannya di sudut meja. Aku yang masih menunggu Yama berganti kemeja belum menjawab. Seperti biasa dia langsung tanggap dan berlalu untuk menyimpan apron dan berganti kemeja yang sudah pasti akan berwarna biru.

"Nasi padang dan air mineral, silakan dinikmati! Apa ada pesanan yang lain?" Aku hanya menggeleng dan mengucapkan terima kasih. Dengan semangat, aku mulai melahap nasi padang dengan rendang terenak di dunia ini.

"Pelan-pelan makannya," ucap Yama kalem yang bahkan kedatangannya nggak aku sadari. Mungkin aku terlalu larut dalam cita rasa makanan ini.

Aku hanya tersenyum malu dan melanjutkan makan. Seperti biasa, Yama akan diam memandangiku selama makanan di piring belum bersih. Nggak ada obrolan selama makan, itu aturan wajib Yama.

"Kenyang," ujarku saat seporsi hidangan di hadapanku tandas.

"Kerjaan, lancar?" tanya Yama.

Aku mengangguk dan kemudian bersiap membuka cerita, saat piring kotor diambil oleh seorang karyawan. Yama menyuruh karyawan tersebut membawa kue vanila yang baru saja dibuatnya dan dua gelas es jeruk.

Blue Love #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang