Bab 18. Diva: Sambutan Calon Mertua

475 39 8
                                    

Aku nggak menyangka Nick sekaya ini, tinggal di pent house yang notabene hanya orang-orang tertentu saja yang mampu. Mengingat kebanyakan pent house diperuntukkan bagi mereka para eksekutif mapan atau ekspatriat. Eh, tunggu, memang Nick itu, kan bule jadi mungkin saja pent house ini memang milik orang tuanya.


Kepercayaan diriku makin terkikis dengan fakta bahwa Nick terlahir dari keluarga yang benar-benar kaya. Harusnya dia bisa memilih wanita mana saja yang lebih dari pada seorang model abal-abal. Ya, aku memang model abal-abal yang menjajakan tubuh demi menghidupi anak.


"Nick, lebih baik aku mundur. Aku takut orang tua kamu kecewa. Kamu nggak mau mengecewakan mereka, kan?" rajukku.



"Yakinlah, apa pun itu akan selalu ada jalan terbaik. Karena jodoh akan selalu bisa bertemu sesulit apa pun medan yang harus dilalui. Jadi kamu nggak usah takut, berdoa saja semoga memang kita berjodoh." Nick sekali lagi meyakinkan.


Begitulah, saat sebuah kekurangan yang nyata kita miliki, maka melangkah di taman bunga pun akan terasa sakit layaknya jalanan penuh duri. Di benakku mulai berimajinasi akan seperti apa pertemuan kami nanti. Akankah cerita Cinderella benar-benar nyata, atau sekadar dongeng pengantar tidur anak balita yang bahkan belum tahu apa itu cinta?

***

Aku kembali terpana melihat rumah bergaya klasik yang didominasi warna putih dengan ukiran-ukiran rumit. Begitu banyak bunga di halaman dengan pot-pot tersusun rapi, sangat asri. Batu-batu koral bertebaran di jalanan setapak menuju teras.


Nick menggenggam tanganku yang dingin. Dia sepertinya paham bahwa aku gugup. Gerakanku yang berusaha menutupi wajah dengan kedua telapak tangan demi meredam jantung yang bertalu sepertinya menjadi pengirim sinyal paling efektif sehingga pria itu paham dengan wanitanya.

Gaun biru yang hanya sebatas lutut dan flat shoes sederhana menurutku terlalu jauh dari kata layak untuk menghadiri sebuah pertemuan penting dengan calon mertua. Nick mengacungkan jempol kanannya dan tersenyum setelah merapikan beberapa helai rambutku yang sedikit berantakan tertiup angin. Lampu-lampu taman yang redup sedikit menyembunyikan wajahku yang resah.


"Halo, Ma," seru Nick di ambang pintu serba putih yang langsung menuju ruangan luas dengan sofa dan dinding sertaa perabotan lain berwarna senada. Bunga-bunga ada di beberapa sudut ruangan, aroma semerbak menyusup ke indera penciumanku dan sedikit membuat tubuh merasa nyaman. Wanita bersanggul rapi, wajah bersinar, mengenakan gaun—yang sepertinya berbahan satin—putih dengan senyum lebar menyambut kami. Mereka berpelukan.


"Anak tampan Mama, mana calon mantu?" Wanita itu mengacak rambut pirang Nick dengan gemas, lalu tatapan mereka beralih padaku. Senyum canggung aku berikan demi formalitas.



"Selamat malam, Tante," sapaku. Sepertinya wanita itu memang asli Indonesia, berarti Nick benar blasteran seperti dugaanku. Kami berjabat tangan sebelum cium pipi kanan dan kiri dengan hangat. Rasanya duniaku benar-benar pindah ke surga.



"Langsung makan, yuk, kita bisa sambil ngobrol di sana!"


Kami beriringan menuju ruangan lain yang masih sejajar dengan yang tadi, tapi kali ini lebih luas dengan meja panjang berwarna gelap dan terlihat sangat kokoh. Kayu-kayu ini sepertinya punya kualitas terbaik, terbukti dengan tampilannya yang sangat mewah dan terkesan kokoh, entah jenis kayu apa, tapi aku yakin hanya orang kaya yang bisa memilikinya. Ruangan ini menghadap langsung ke kolam renang berukuran sedang. Karena berdinding kaca maka aktivitas di kolam renang akan terlihat jelas dari sini.


Kami berkenalan sesaat sebelum mulai makan. Nama beliau adalah Rosyana Puspasari, dan biasa dipanggil Tante Ros atau Mama Ros. Pribadi yang hangat, itu kesan yang aku dapat sampai pada obrolan kami yang makin intim, "saya punya anak, Tan. Umur tujuh tahun."


Sejenak beliau memandang tajam ke arahku, lalu berpindah ke Nick. Nick hanya tersenyum dan sepertinya hendak menceritakan semuanya. Aku pikir Nick nggak boleh cerita hal itu ke Tante Ros. "Biar saya jelaskan," kataku akhirnya. Kemudian tanpa takut aku menceritakan semuanya sampai dengan masalah trauma dan fobia yang sangat mengganggu.



"Nick, bisa Mama bicara sebentar?" Tante Ros meninggalkan makanan di hadapannya dan menuju ruangan lain. Nick mengikuti Mamanya setelah sedikit menyentuh bahu dan mengecup puncak kepalaku. Perasaan nggak enak perlahan menjalar di dada, sesak.

***

"Ma, dia hanya korban," seru Nick yang terdengar lamat-lamat dari tempatku menguping. Aku nggak mau Nick menutupinya, jadi menguping adalah pilihan paling masuk akal. Terdengar Nick masih meminta agar kami diberi kesempatan. Sepertinya Tante Ros benar-benar nggak kasih kami kesempatan karena Nick terlihat berjalan gontai ke arahku.



Nick mendekap tubuhku saat itu juga, dia menangis?


"Aku nggak berhak dapat keluarga sesempurna ini, Nick. Aku sadar." Aku mengelus punggung pria yang kini sedang tergugu, cengeng! Entah dari mana asalnya sikap tegarku ini, bahkan mentetes air mataku pun nggak. Hatiku dipenuhi kekecewaan yang menggumpal, kecewa pada keadaan yang rasanya sangat nggak adil.



"Mama salah menilai kamu, tapi kamu nggak usah takut, aku akan berusaha bikin beliau berubah pikiran."


Kini Nick bermaksud mengajakku pergi, tapi baru saja langkah kami sampai di pintu penghubung menuju ruang tamu, Tante Ros mendekat. Tatapannya terluka, apa itu karena aku? Sebuah amplop disodorkannya padaku, "ambil dan tolong tinggalkan anak saya!" Langit serasa runtuh.



"Ma, apa-apaan?" Nick menatap wanita yang masih terlihat segar itu dengan berani. "Tolong jangan suka meremehkan orang lain, jadilah seorang 'mama' yang selalu mengupayakan kebahagiaan anaknya!" Nick terlihat geram karena kedua tangannya mengepal di sisi paha.



"Tahu apa kamu tentang kebahagiaan? Kerjaanmu dengerin lagu nggak jelas yang sesat, perempuan jaman sekarang hanya akan melihat seberapa banyak uang yang bisa dikeruknya dari seorang laki-laki!"


"Apa, sih, lagu di bawa-bawa?"

Nick menarik tanganku, setengah menyeret langkah aku mengikutinya. Amplop yang Tante Ros sodorkan tadi diabaikan begitu saja, entah sebanyak apa isinya aku bahkan nggak berani membayangkan. Yang aku tahu, harga diriku sangat murah sekarang, bahkan hanya dihargai segepok uang.

***

Loh-loh, kok, bawa-bawa lagu, Bu?

Kritik saran dinanti demi kemajuan cerita abal-abal ini.

Salam,

Nofi

Tangsel, 18 Agustus 2018.

Blue Love #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang