Bab 23. Nick: Hari Spesial

429 32 1
                                    

Gue ada jadwal pemotretan di sebuah restoran roof top salah satu gedung pencakar langit di kawasan Sudirman.


"Nick, model yang satu diganti," ucap salah satu asisten gue.



"Siapa?"


"Diva, dia batalin di menit-menit terakhir," ujarnya sambil menyetel kamera sesuai arahan gue.


Gue menggaruk kepala yang nggak gatal, karena masalah pribadi Diva bersikap kayak gini?



"Yaudah, ada gantinya, kan?"



"Ada, itu, namanya Delia." Asisten gue menunjuk seorang gadis yang gue taksir masih sekitar dua puluh tahun.


Gue mengangguk, dan mengajak semua bersiap untuk pengambilan gambar. "Delia, sikunya agak ditekuk!"



Entah kenapa pikiran gue mendadak gelisah, apa mungkin karena ketidakhadiran Diva?


"Jangan galak-galak, anak baru bisa kabur lihat singa kayak lo!" sindir Adel yang berdiri nggak jauh dari posisi gue mengambil gambar. Model seski yang satu ini memang demen banget nempelin gue kalau pas satu kerjaan begini. Gue nggak ambil pusing kalimat sindiran Adel dan mencoba mengunpulkan fokus yang entah berhamburan ke mana.



"Lo kenapa, sih?" tanya asisten gue yang lain.


Gue yang memang kurang konsenterasi akhirnya meminta sedikit waktu, karena otak gue benar-benar nggak bisa diajak kerja. Seorang fotografer itu haram hukumnya stres, karena saat dia stres maka hasil nggak akan maksimal, bisa-bisa malah hancur berantakan.


Kalau saja Diva datang, mungkin nggak akan kayak gini kejadiannya.


"Nick, lagi mikirin apa, sih?" Adel lagi-lagi menyelinap ke ruangan yang sengaja gue pilih untuk menenangkan diri. Sebuah ruangan kecil di dekat dapur restoran yang sengaja gue minta untuk dikosongkan selama pemotretan. "Gue lihat lo diberitain tentang buku-buku, gitu. Emang lo nulis buku?"


Kalau saja nggak ingat pekerjaan, gue pasti akan ngacir.


"Nick, jangan lama-lama! Modelnya pada ngomel-ngomel, tuh!" Teriakan salah seorang asisten gue jadi semacam senjata untuk mengusir Adel, tapi ternyata perempuan itu malah semakin nempelin gue.



"Asataga, Adel. Sorry, banget gue nggak mau begini, tolong ngerti," pinta gue dengan muka yang auto melas.


"Nick, gue denger lo udah punya cewek, ya? Gue mau, kok, jadi yang ke-dua!" Astaga, nekat benar perempuan satu ini, andai gue sejenis laki-laki brengsek bisa banget ruangan ini jadi panas membara, apalagi dengan penampilan menggoda dari perempuan ini. Rasanya nggak akan ada laki-laki yang menolak untuk bisa sejenak bersenang-senang, tapi rupanya otak gue masih waras.



"Adel, tolong jangan begini kalau masih mau kenal sama gue!"


Gue bergegas ke luar ruangan dan mendapati sesosok pria yang membuat kaget. Yama berdiri nggak jauh dari pintu ruangan yang baru saja gue buka, iya, kami memang janji bertemu di sini. Kekagetan gue bertambah saat, sebuah bibir menempel hangat di pipi kiri disertai ucapan provokatif.


"Thank, Nick, yang tadi luar biasa!"


Yama menatap gue tajam, hancur sudah keinginan gue untuk kembali merengkuh Diva dalam pelukan.


"Yam, gue bisa jelasin," ucap gue gugup.



Belum lagi mulut gue terbuka untuk menjelaskan, sebuah bogem mentah mendarat di rahang dengan sangat keras. Pening bercampur sakit yang teramat sangat memenuhi kepala terutama bagian dagu yang memang terimbas langsung karena hantaman keras dari tinju yang terukur. Gue nggak nyangka bakal dapat hadiah spesial di tempat spesial kayak gini.



"Gue udah ingetin lo sebelumnya, jadi jangan salahin gue kalau ini harus lo terima," katanya dengan napas memburu dan kilatan mata yang menampilkan kemarahan serta kekecewaan yang mendalam. Sekali lagi tinjunya melayang dan kali ini kena pelipis kiri yang bikin kepala bertambah pening.



Beberapa orang mencoba melerai kami, dan terlihat satpam datang tergopoh-gopoh menyeret Yama secara paksa. Masih dengan tatapan mengancam, Yama mengikuti tangan-tangan hitam yang mencengkeram pergelangannya. Gue bahkan belum sempat berpikir apa-apa saat beberapa asisten menyarankan pemotretan diundur setidaknya sampai lusa.


"Oke, Girls, gue minta maaf dengan kejadian tadi. Pengambilan gambar kita undur sampai lusa, ya!"


Gue nggak menunggu sahutan siapa pun, dan bergegas mengemasi peralatan, begitu pula beberapa orang yang gue percaya sebagai asisten. Kami bersiap meninggalkan restoran yang pengunjungnya tadi sempat berhamburan karena insiden pemukulan yang dilakukan Yama.



Gue sengaja menyimpan kamera dengan peralatan lain dengan maksud biar dibawa sekalian pakai mobil.



"Yah, Bang, tolonglah jemput sekarang! Pemotretan gagal gara-gara fotografernya ditonjok orang," Gue tercekat mendengar kalimat yang keluar dari seorang gadis yang berstatus model pengganti. "Aku nggak ada uang buat naik taksi," rajuknya disertai sedikit isakan.


Gue akhirnya menununggu dia selesai bicara. "Lo pulang ke arah mana?" tanya gue. Gadis itu kaget, mungkin nggak tahu kalau masih ada gue di sana. Sedikit salah tingkah karena mungkin malu gue tahu dia nggak punya uang atau karena tadi sempat ngomongin sang fotografer yang nggak lain adalah gue.



"Gue pulang ke Tebet, Bang!"



"Ikut gue aja, searah, kok!"



Matanya berbinar kayak kegirangan, mungkin dia benar-benar gembira karena akhirnya bisa pulang tanpa harus mengeluarkan sepeser uang. Kami menuruni gedung dan bersiap pulang. Baru saja kami keluar gedung, sekelebat gue melihat sosok yang sangat mirip Diva, berdiri dan memandang ke arah kami.




Gue terus memikirkan sosok wanita itu. Jika benar Diva, maka akan semakin rumitlah urusan gue. Nasib orang ganteng, kok, begini amat, ya? Sesekali gue mendengkus yang memancing perempuan di belakang berkomentar, "lagi mikirin apa, sih, Bang? Kok, kayaknya gelisah banget?"


***

Emak mau nemenin anak dulu les badminton, silakan berkomentar, ya!

Salam,
Nofi

Tangsel, 24 Agustus 2018.

Blue Love #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang