Aku merasakan dada bergemuruh menahan sesak yang makin mendesak. Ketakutan-ketakutan masa lalu menyeruak dalam dada dan memenuhi otak. Letupan-letupan emosi sedih, marah, hancur dan masih banyak lagi terasa merambat cepat menjadikanku korban tanpa tersangka. Aku memang setidakberuntung itu.
Membanting pintu dan mengurung diri di kamar adalah hal yang biasa kulakukan saat amarah mengambil peran dominan. Aku lemah dan gampang tersulut karena hal-hal yang menurut orang lain sepele.
Sayup-sayup di luar masih terdengar suara Nick tenang menjelaskan cara mengerjakan soal matematika yang Al nggak paham. Suara itu terdengar sama sekali tanpa emosi. Terbayang senyum itu, cekungan kecil di pipi kirinya saat dia tersenyum lebar, dan tatapan lembut yang menggetarkan.
Aku menggeleng, menolak rasa hangat yang berubah jadi sentakan kecil menyakitkan di dalam sini. Tubuhku merosot, bersandar di pintu, memeluk kadua lutut dan menenggelamkan wajah di sana. Aku nggak mau merasakan hal menyakitkan itu lagi, pada Nick maupun pria lain.
Tak berapa lama Nick pamit pulang, dan disusul suara pintu dibuka, lalu deru sepeda motor yang terdengar menjauh. Aku menhela napas lega sekaligus merasa ada sesuatu yang hilang. Aku buru-buru mengubur dalam-dalam sebelum hatiku terlanjur jatuh dalam pusaran yang bisa membuatku kehilangan arah.
Lamat-lamat terdengar suara Tante Ayu di luar, lalu ketukan halus di pintu. Aku bangkit dan menyeka air mata yang ternyata membanjir. Pintu terbuka dan senyum Tante Ayu muncul. Wanita lima puluh tahun yang masih cantik itu mendekat dan memelukku. Air mataku kembali meentes dan isakku menyusul.
"Boleh Tante bicara sesuatu?" tanya beliau saat isakku sedikit mereda.
Aku mengangguk dan berjalan menuju ranjang berukuran sedang dengan sprei warna biru. Tante Ayu mengikuti dan kami duduk bersebelahan. Beliau membenahi anak rambutku yang acak-acakan lalu menghapus bekas linangan air mata yang masih basah.
"Maafin Tante, ya, karena bikin kamu nangis kayak gini," ucap beliau sambil menatapku penuh sayang, "Tante hanya mau kamu dapat kebahagiaan seperti wanita lain, Sayang."
"Aku trauma sama laki-laki bule, dan Tante tahu itu," jawabku dengan nada tinggi, meski serak tapi suaraku tersengar kencang. Tante Ayu mengangguk, masih sambil tersenyum. Beliau terus mengamati wajahku dan kini tangannya menggenggam tanganku yang dingin.
"Tante tahu, dan ini mungkin salah satu jalan di mana kamu bisa belajar menghadapinya. Diva akan lebih bahagia saat trauma dan fobia itu hilang. Percayalah," jelas wanita berpotongan bob yang jarang sekali menggunakan riasan wajah itu.
Tante Ayu dan Yama selalu bilang padaku untuk menghadapi ketakutan-ketakutan yang kumiliki. Mereka percaya akan teori tentang mengatasi fobia. Padahal mereka nggak tahu rasanya menghadapi ketakutan-ketakutan itu. Sakit!
"Yama pun mengatakan hal yang sama," jawabku.
Mata teduh di depanku sedikit berkilat mendengar nama yang kusebut. Aku nggak sengaja menyebut namanya. Yama, lelaki yang selalu baik padaku itu nggak pernah bisa membuat Tante Ayu senang. Ada saja alasan beliau menyuruhku menjauhi Yama.
"Masalah Yama, bisa Diva nggak menyebut namanya saat bicara sama Tante?" titahnya.
Aku tersenyum sinis. Aku sangat kesal setiap berdebat dengan wanita itu perihal Yama. Perlahan Tante Ayu melepaskan genggaman tangannya dan beringsut sedikit ke tepi jauh ranjang. Kutatap mata itu dan kucari alasan sikap Tante Ayu pada Yama.
"Aku mau tanya sama Tante, apa sih salah Yama?"
"Diva, Yama nggak salah apa-apa. Tante hanya nggak mau kamu berhubungan sama pria yang umurnya terpaut jauh. Yama itu seumuran Tante," jelasnya tenang.
"Kami hanya bersahabat, dan Yama adalah satu-satunya pria yang bisa mengerti Diva." Aku menjelaskan.
"Apa kamu nggak mau coba membuka hati untuk Nick?"
Aku terbelalak, nggak menyangka secepat itu Tante Ayu menodong dengan pertanyaan yang akan sangat susah dijawab. Aku yang berusaha membangun benteng pertahanan setinggi dan sekuat mungkin untuk menghindar dari lelaki itu menjadi sedikit gentar. Serangan mendadak yang Tante Ayu lancarkan sedikit membuat getaran dahsyat yang bisa saja membuat bentengku retak, atau bahkan roboh.
"Apa yang membuat Tante begitu ingin aku membuka hati untuk bule itu?" tanyaku meminta penjelasan.
"Nick pria baik. Kamu akan lebih baik bersama pria sebaik dan seceria dia."
"Tante bahkan baru berapa kali melihatnya. Dari mana Tante tahu dia baik?" desakku.
"Diva lupa, ya, kalau Tante kulaih di jurusan psikologi?"
Aku menelengkan kepala dan bertanya, "menurut Tante, Yama kurang baik?"
Tante menggeleng, "Yama baik, tapi Tante rasa dia terlalu kaku buat kamu Div, Nick itu ceria dan Tante yakin kamu akan bahagia hidup sama dia."
"Tante, Diva mohon ini terakhir. Tolong berhentilah mendikte hidup Diva, karena itu nggak akan mempan meski begitu banyak yang Tante berikan. Diva hanya ingin menjalani hubungan yang nyaman."
"Baik, Tante minta maaf. Tante pamit tidur dulu, ya. Kamu juga harus tidur, besok ada jadwal kan?"
Aku mengangguk dan membiarkan Tante Ayu keluar kamar. Sejenak aku menghela napas lega, lalu menyalakan pemutar lagu di ponsel. Sebuah lagu yang sukses bikin aku nangis dan melepas semua kesedihan, Because Of You. Lirik demi lirik membawaku tenggelam dalam emosi sedih sebelum akhirnya terlelap.
***
"Diva, Tante bawai jus," kata Tante Ayu yang telah berdiri di depan pintu dengan membawa segelas jus jeruk.
Aku hanya mengangguk sambil menyisir rambut. Beliau belum juga keluar kamar dan mengamatiku. Rambut rapi dan kemudian aku bermaksud mengambil lensa kontak berwarna biru untuk di pakai. Baru saja aku membuka penutup wadahnya, tangan Tante Ayu merebutnya.
"Dipakainya nanti aja pas mau foto, kasian mata kamu," cegah wanita itu yang sukses membuat aku kembali tersulut. Tante Ayu benar-benar mengatur setiap detil hidupku, bahkan hanya sepasang lensa tipis penunjang penampilan saja dia ributkan di pagi buta seperti ini.
"Tante, please, deh, aku bukan anak kecil. Aku tahu kok cara pakai lensa kontak yang aman, jadi nggak usah khawatir!" ketusku.
Kupasang lensa kontak dan mengambil tas hitam setelah menyemprotkan parfum beraroma lavender ke beberapa bagian tubuh. Kuteguk jus jeruk perlahan hingga habis. Tante Ayu terlihat menyunggingkan senyum, aku benar-benar heran dengan beliau yang selalu tersenyum di setiap kesempatan, bahkan setelah kemarahanku.
"Hati-hati, ya, Sayang," ucap wanita itu penuh kasih sayang saat aku berpamitan dan mencium tangannya.
Aku hanya mengangguk dan kemudian menuju kamar Al. Kucium pipi tembamnya dan sedikit usapan di dahi. Semangatku terisi penuh saat melihat wajahnya tanpa dosa itu.
Aku bergegas keluar dan menaiki taksi online yang sudah menanti. Membelah jalanan Jakarta yang ramai. Sejenak aku lupa akan rasa sakit dan hanya ada kobaran semangat dalam dada.
***
Baru up, dan maaf kalau bagian ini kurang segala-galanya. Hihi, maapkeun, emak.
Salam,
Nofi
Tangsel, 10 Agustus 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Love #ODOCTheWWG
RomanceSaat seorang wanita bisa menolak gue, di situ aura ketampanan gue serasa lenyap bagai asap. Yaelah, tapi itu nyata. Wanita itu beda, dia malah terlihat ketakutan setiap gue berusaha mendekat. Entah di mana letak salahnya, yang jelas gue penasaran. L...