Bagian 13. Nick: Senja di Dermaga

498 39 4
                                    

Beberapa hari berlalu gue selalu menghabiskan waktu senggang dengan mengunjungi keluarga Diva. Gue dan Al semakin akrab, kami sering pergi makan saat Diva nggak ada. Tante Ayu semakin mendukung apa yang gue usahakan. Demi Diva dan kebahagiaannya, begitu kata beliau.

Kayak sore ini gue mau siap-siap pulang karena kebetulan PR Al sudah rapi. Gue memang berada di sini sejak jam makan siang. Tadinya, sih, gue mau ajak dia ke rumah buat kenalan sama Mama, tapi ternyata Al tidur siang. Jadilah gue berbincang banyak sama Tante Ayu mengenai berbagai hal. Beliau bercerita banyak tentang kegagalan cinta, itu salah satu alasan akhirnya Tante Ayu kuliah jurusan psikologi. Beliau ingin bisa menilai orang dengan tepat.

"Sorry, Tan, tapi saya pikir Yama itu laki-laki baik. Saya sangat yakin, dia sayang sama Diva, kenapa Tante nggak setuju Yama dekat Diva?" tanya gue.

Mata wanita di hadapan gue ini sedikit menyipit, lalu menjawab, "Yama itu seumuran Tante. Diva bahkan belum kepala tiga," jawab Tante Ayu.

Gue manggut-manggut paham. Namun, kalau gue pikir lagi, harusnya umur nggak harus jadi penghalang, mengingat seberapa nyaman Diva didekat pria itu. Tante Ayu menyuruh gue menghabiskan jus jeruk yang dihidangkannya, tapi baru saja tangan gue meraih gelas di atas meja, tiba-tiba Diva masuk. Wanita semampai itu mencangklonh tas hitamnya, dengan sepatu tingginya yang berwarna bening kebiruan, dan ... dress selutut warna biru menambah aura cantiknya makin keluar. Rambut coklat kemerahannya diberi hiasan semacam bando dengan bunga kecil warna warni, dan itu ... sempurna! Diva terlihat mirip Cinderella dengan sepatu kacanya.

"Hai, Div!" sapa gue.

Dia tersenyum meski hanya sekilas lalu mencium tangan Tante Ayu. Beliau membisiki Diva sesuatu yang berbuah anggukan. Akhirnya gue meneguk jus jeruk itu hingga habis lalu berniat pulang. Belum sempat mulut gue terbuka, Diva lebih dulu melontarkan sebuah kalimat, "Nick, bisa bantu gue ambil foto di dermaga sore ini? Kebetulan fotografer gue berhalangan karena sakit, dan kebetulan klien ini langganan," ungkapnya panjang lebar. "Klien bakal senang banget kalau bisa dapat fotografer on the spot di posisi mendesak kayak gini."

"Gue bisa, kok, sekarang?" Kebetulan banget jadwal gue kosong sore ini. Segera gue hubungi Andre, salah satu asisten yang gampang dicari saat genting macam ini.

Peralatan sudah disiapkan. Kami datang ke dermaga yang sebentar lagi sunset, benar-benar mepet waktu. Untungnya gue pernah kerja bareng Diva, jadi proses pengambilan gambar bisa lebih singkat. Selepas pemotretan selesai, Andre segera gue suruh angkut barang-barang balik ke studio yang nggak lain adalah apartemen tempat nulis dan segala aktivitas kreatif.

Di sana gue lihat Diva sedang touch up meski suasana sedikit gelap, tapi kecantikan wanita itu masih terlihat jelas. Perlahan gue mendekat dan menyisakan jarak sekitar dua meter. Kami duduk sejajar meski sedikit berjauhan, buat gue nggak masalah.

"Div, pulang bareng, mau? Jadi kamu nggak usah naik taksi kayak tadi," tawar gue pelan.

Sejenak tatapan kami beradu sebelum kami sama-sama menunduk. Tangan gue kembali beradu telapak demi meredam debaran jantung. Dari jarak yang cukup jauh ini gue bisa merasakan dia menahan napas. Gawat, gue nggak mau dia sesak napas, lalu pingsan. Kalau di novel-novel romantis mungkin itu bisa berakhir ciuman, tapi pada realitanya bisa jadi akan berakhir tamparan kalau nekat kasih napas buatan. Gue masih menunggu jawaban dan itu rasanya lama.

"Gue mau tanya sesuatu dulu, boleh?" pinta Diva.

"Boleh, apa?" Mata gue menatapnya dalam dan dia membalas dengan sedikit senyum simpulnya.

"Kenapa lo terus-terusan datang ke rumah gue dengan segudang modus?"

Gue kaget, nggak byangka Diva bakal tanya ini. Sejenak gue berpikir untuk memilih kalimat tepat biar nggak ada kalimat yang bisa bikin dia tersinggung. Sekali lagi gue menggosok telapak tangan, kali ini lebih kencang dengan menghasilkan suara yang bikin Diva mengamati dari tempatnya duduk. Gue tarik napas dalam.

"Gue ... pengen kenal lo lebih dekat."

"Untuk?"

"Jadi istri gue!" celetuk gue spontan.

Tanpa gue duga kalimat itu bisa bikin Diva tertawa, tawa yang sedikit membuat getaran menyakitkan di hati.

"Lo lagi ngelawak?" ejek Diva dengan mata yang ... gue yakin penuh luka. "Lo nggak laku gue rasa," tawanya kembali mengejek Meski tertawa, tapi gue yakin banget itu sebuah ungkapan rasa kecewa yang sangat dalam. Gue bergeser sedikit mengeliminasi jarak.

Diva sedikit menegang, dan gue berhenti di radius setengah meter. Lumayan dekat, bahkan aroma lavender mampu membangkitkan naluri gue sebagai laki-laki yang berduaan dengan wanita di suasana seromantis ini.

Keinginan-keinginan liar merangsek ke otak dan memerintahkan untuk tubuh gue laksanakan. Meski begitu, janji gue ke Yama, kepercayaan Tante Ayu, dan senyum tulus Al mampu jadi kekuatan melawan hasutan setan-setan di otak. Gue embuskan napas panas lewat mulut sebagai pelampiasan dan sekalian membuang hawa panas di dada. Gue yakin kuat.

"Mungkin naif atau terdengar gombal, tapi ini nyata," ucap gue perlahan seraya memandangnya. Diva menoleh seperti memastikan apa yang gue ucapkan. "Aku jatuh cinta sama kamu dari pertama kali kita ketemu."

Kali ini dia tertawa lebih kencang, tapi ujungnya terdengar isakan. Sumpah, gue nggak tahan untuk meraih kepalanya supaya bersandar di sini, di bahu gue!

"Gue bukan wanita yang pantas dicintai, Nick!"

Suara itu sangat terdengar emosi, antara marah, sedih dan mungkin terluka. Ya Tuhan, tolong izinkan gue jadi penghapus lukanya! Gue sangat ingin bikin di bahagia.

"Nggak ada yang bilang kayak gitu, Diva. Percaya sama aku," ucap gue berusaha meyakinkan.

"Cint itu dongeng, Nick!"

***

Baru up, wew

Kritik saran sila dikomen

Salam,
Nofi

Tangsel, 13 Agustus 208

Blue Love #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang