Gue makin penasaran sama perempuan itu. Perempuan yang bahkan kelihatan ketakutan setiap berhadapan sama gue. Ada apa sebenarnya di balik tatapan khawatir yang selalu dia tunjukkan saat gue berusaha mendekat? Untuk itu gue balik lagi ke sini, duduk di atas sepeda motor hitam kesayangan tepat berseberangan dengan rumah bercat putih kusam yang terlihat selalu sepi. Kemungkinan memang mereka tinggal hanya bertiga, setidaknya itulah yang berhasil gue rekam dari pengintaian selama delapan hari ini.
Hari ini berbeda, baru beberapa saat gue memarkir motor dan melepas helm, seseorang terlihat sedang mengawasi. Wanita berpotongan bob yang tempo hari terlihat nggak suka dengan kehadiran pria dewasa pengantar Diva itu sedang mengamati gue. Tatapan itu lebih terkesan menuduh. Dengan enteng gue tersenyum, sekadar bikin wanita itu nggak curiga sama bule tampan ini.
Sebenarnya gue berharap ketemu Diva kayak kemarin, tapi perempuan bertato matahari itu sama sekali nggak terlihat. Mungkin dia ada pemotretan? Iya, itu mungkin banget, mengingat Diva punya anak yang--kayaknya--harus dia tanggung sendiri. Gue hanyut dalam pikiran yang penuh tebakan.
"Excuse me," sapa seseorang tepat di depan roda motor gue.
Wanita berambut bob itu berdiri di sana. Matanya menatap gue penuh selidik yang sukses bikin gelagapan layaknya maling ayam yang ketahuan warga. Helm gue berpindah ke tangki. Gue turun dari sepeda motor kemudian menggosok kedua telapak tangan demi meredam detak jantung yang berlompatan sebelum mengulurkan tangan berkaus ke arah wanita itu.
"Ehm, sore, Tante," ucap gue gugup dengan senyum yang terasa kaku, "kenalkan saya Nick. Teman Diva."
Tatapan si rambut bob mendadak menajam, alisnya menyatu dibarengi dengan kerut di dahi yang terlihat samar. Seolah ingin mengoreksi pernyataan gue. Teman Diva? mungkin kayak gitu suara batinnya. Wanita dengan penampilan segar itu menyambut tangan gue.
Beliau tersenyum sedikit demi sedikit yang lama-kelamaan menjadi senyum lebar yang menyenangkan. Gue nggak nyangka akan mendapat senyum sedemikian lebar, kontras dengan perlakuan Diva kemarin. Perlahan aura ketampanan gue seakan bertambah.
"Oh, kalau gitu ayo masuk," ajaknya. Gue kaget, sangat kaget. Secepat itukah gue dikasih kesempatan emas? Thanks, God! "Ada Al di dalam. Biasanya dia senang kalau ada teman mamanya yang datang." Gue mengikutinya dengan menuntun sepeda motor hitam kesayangan dengan semangat.
Sesampainya di depan rumah bercat putih kusam itu, si wanita separuh baya yang masih terlihat muda tanpa make up mengaku bernama Ayu Kinasih mempersilahkan gue masuk setelah pintu pagar dibukanya lebar. Gue parkir motor nggak jauh dari sana, tapi beliau menyuruh untuk parkir di dalam pagar mengingat kawasan itu yang merupakan daerah rawan curanmor. Gue menurut.
"Diva ke mana, Tan?" tanya gue sebelum masuk ke pintu bercat cokelat yang terliht sudah memudar di beberapa bagian. Gue mengamati sekitar, bukan bermaksud kurang ajar, tapi lebih ke arah niat untuk mengenal lingkungan rumah calon bidadari hati.
"Dia ada jadwal pemotretan di Kota Tua, tadi subuh berangkat dan kayaknya pulang agak malam," terang Tante Ayu sambil mempersilakan gue masuk. Rumah yang nggak begitu luas, dengan kipas angin yang berdiri di sudut ruangan lumayan memberi angin segar. Sofa hitam klasik yang hanya muat untuk lima orang dewasa tertata rapi lengkap dengan meja kaca rendah yang cocok untuk menaruh gelas teh atau camilan.
Tante Ayu menanyakan minuman apa yang harus disuguhkannya buat gue. Gue tolak dengan sangat halus. Meski begitu beliau tetap masuk--mungkin ke dapur--kemudian membawa nampan berisi teh yang masih berasap dan biskuit dengan gambar keluarga bule di kalengnya. Senyumnya mengembang ramah bikin gue merasa senang.
"Aduh, Tante repot banget. Maaf, ya, kalau kedatangan saya jadi bikin Tante Ayu repot," ucap gue nggak enak.
"Santai aja. Tante senang Diva punya teman cowok," ujarnya tulus.
Buat gue ucapan beliau justru serupa teka-teki. Apa iya selama ini Diva nggak punya teman laki-laki? Terus Yama itu siapanya?
"Mohon maaf, Tan, boleh saya tahu beberapa hal tentang Diva?" Sedapat mungkin gue mengontrol kalimat yang keluar dari mulut ini. Gue nggak mau salah pertanyaan yang bisa berujung pengusiran atau tatapan nggak suka dari wanita ramah ini. Gue nggak ingin terkesan kepo meski sebenarnya memang begitu faktanya.
"Apa yang mau kamu tahu?" tanyanya.
"Maaf sebelumnya, saya lihat Diva diantar laki-laki saat pulang dari Bali, itu siapa, ya?" tanya gue ragu.
"Oh, dia Yama. Dulu Diva pernah kerja di restorannya sebelum ...,"Kalimat Tante Ayu menggantung dan gue lihat mata itu berkaca-kaca. Entah apa yang terjadi, tapi gue bisa nebak peristiwa itu sangat menyakitkan. Tante Ayu menyeka setitik air mata yang terjatuh.
"Kalau Tante nggak bisa cerita tolong jangan terusin!" pinta gue dengan mencondongkan badan ke depan dan menumpukan siku di kedua paha kemudian menatap Tante Ayu yang kelihatan nggak dalam keadaan baik. "Maaf kalau pertanyaan saya salah," ucap gue kemudian.
Tante Ayu menggeleng, "Diva pernah dianggap sebagai penyebab Yama dan istrinya bercerai, padahal itu nggak benar. Karena itu Diva pergi ke Bali dan terjadilah hal yang di luar kehendaknya," cerita Tante Ayu dengan nada sedih. "Diva dicampakkan oleh pacarnya dalam keadaan hamil."
Kalimat terakhir Tante Ayu sukses membuat gue kaget, sangat kaget. Apa benar yang dibilang Adhi kalau Diva adalah mantan pacar Anthony dan pernah tinggal satu atap? Jika benar, berarti Al memang anak Anthony.
"Tante tahu nama pacar Diva?" selidik gue dengan memijit kening yang mendadak pusing. Meski sudah menebak sebelumnya, tapi mendengar hal yang sebenarnya terjadi masih tetap bikin kejutan, sebuah kejutan pahit tentunya.
Saat itulah datang gadis kecil dengan rambut bergelombang keluar, Tante Ayu mengajaknya duduk. Dia menatap gue penuh selidik. Senyum manis gue pasang. Lucu banget anak itu, dan ... memang mirip Anthony.
"Kenalkan, ini Al anak Diva. Nama lengkapnya Kanaya Alexandra," Tante Ayu menyuruh anak itu menyalami gue. Kami berkenalan.
Meski Tante Ayu belum menjawab pertanyaan gue, tapi nama anak itu sedikit memberi clue. Alexandra, ya, gue rasa itu semacam pengakuan bahwa dia anak Alexander--Anthony Alexander White.
***
Selamat siang, bab ini salah satu yang berat untuk ditulis. Maaf kalau masih datar. Kritik saran boleh disampaikan lewat komen.
Salam,
Nofi
Tangsel, 7 Agustus 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Love #ODOCTheWWG
RomanceSaat seorang wanita bisa menolak gue, di situ aura ketampanan gue serasa lenyap bagai asap. Yaelah, tapi itu nyata. Wanita itu beda, dia malah terlihat ketakutan setiap gue berusaha mendekat. Entah di mana letak salahnya, yang jelas gue penasaran. L...