Aku berada di sebuah restoran mewah yang terletak di puncak gedung pencakar langit kawasan Sudirman.
"Berita kemarin itu T-O-P B-G-T, Div!"
"Dapat bonus gede, dong!" sahutku dengan setengah bercanda.
Berita yang kami bicarakan nggak lain adalah tentang identitas Elang Timur yang ternyata adalah Nick.
"Pokoknya lo dapat buat beli baju atau jajannya Al," seringainya.
Temanku itu memanggil pelayan, dan nggak berapa lama datanglah salah satunya, kemudian mengangsurkan buku menu pada kami. Aku memandangi menu yang ada, lalu menjatuhkan pilihan pada salad sayur dan jua buah. Kami melanjutkan perbincangan dengan sesekali asap rokok mengepul dari lawan bicaraku.
"By the way, lo, kok, bisa dapat berita keren kayak gitu?"
Mataku menerawang, sedikit mengingat usaha yang lumayan alot untuk mendapatkan identitas Elang, tapi ternyata memang Tuhan berpihak padaku dan terjadilah hari penolakan itu. Andai hari itu nggak ada, mungkin sampai sekarang aku harus terus mendesak Elang untuk ketemuan, meski dia bersikeras menolak dengan alasan memiliki kekasih. Sempat senang saat membaca balasan Nick waktu itu, tapi mirisnya hubungan kami bahkan nggak dapat restu dari ibunya. Iya, aku si Bunga yang sok keganjenan mengajak Nick ketemuan.
"Gue punya fake account di facebook dan memang kami berteman cukup lama, sering ngobrol."
"Terus?"
"Terus ... ya, sebenarnya, sih, lewat akun itu gue nggak dapat apa-apa," akuku dengan sedikit rasa malu.
"Lah, terus info itu lo dapat dari siapa?"
"Dari dia sendiri," ucapku pelan.
"Kalian kenal secara langsung?"
Aku hanya mengangguk dan saat itu pelayan datang membawa pesanan kami. Temanku masih penasaran dan terus menyudutkanku dengan cecaran pertanyaan, "gue pacaran sama dia."
Dia melotot, mulutnya terbuka lebar, dan garpu sendok tertancap di makanan yang ada di hadapannya.
"Lo gila ngelakuin ini hanya demi uang?"
Nggak, aku nggak menjual Nick demi uang, tapi ini kulakukan untuk membuat Mamanya sakit hati.
"Ikut aku!"
Seseorang mencengkeran pergelangan tangan kananku dan setengah menyeret ke luar area restoran.
"Kamu ada di sini?"
"Aku nggak habis pikir kamu tega ngelakuin ini hanya untuk beberapa lembar ratusan ribu!"
"Nick, dengar ... aku nggak bermaksud begitu, tapi-"
"Semua udah jelas, aku udah dengar semuanya!"
Nick, laki-laki yang selama beberapa bulan ini selalu bersikap baik padaku, malam ini terlihat sangat menakutkan.
"Nick, tolong jangan salahin dia! Ini semua gue yang minta," ujar temanku yang ternyata sudah bersandar di tembok dekat dengan posisi kami berdiri. Perempuan berjaket denim itu mengisap perlahan rokoknya, hingga Nick maju dan merebut benda itu, lalu membuangnya. Sempat terjadi adu tatapan di antara mereka hingga akhirnya dia mengajakku pergi dari sana. Nick coba mengejar, tapi dengan cekatan temanku itu terus membawa berlari hingga masuk ke lift.
Kami sampai di bawah dan bergegas menuju lobi, tapi sayangnya Nick ada di sana, tersenyum penuh ejekan.
"Lo ada masalah apa, sih, sama gue?"
"Oh, lo nanya itu. Cewek mana yang suka diPHP-in, hah?"
Nick menggeleng dan berjalan mendekat ke arah kami.
"Eh, makanya jadi cewek jangan suka kegeeran, seingat gue, kita memang cuma temenan, kan?"
"Nick, lo itu benar-benar, ya!"
Temanku mencoba berlari menjauh, tapi Nick berhasil menangkapnya, memintanya berbalik dan membawanya ke hadapanku. "Sekarang lo bilang sama Diva, kalau semua yang lo omongin tadi itu cuma perasaan lo aja yang berlebihan!"
Nick nggak terima dicap tukang PHP, mungkin memang benar dia nggak seburuk itu.
Aku nggak menyangka Nick akan memergoki kami, dia yang terlihat membawa kamera di tangan kirinya membuatku sadar satu hal, kami salah membuat janji.
Restoran ini adalah lokasi pemotretan yang harusnya aku ikut jadi salah satu modelnya, tapu itu harusnya adalah dua hari yang lalu ... oh, mungkin saja memang belum selesai dan berlanjut sampai hari ini. Aku nggak mau tahu, toh aku sudah membatalkannya.
Melihat Nick yang wajahnya memerah dengan tatapan tajam cukup membuatku gentar dan nggak enak hati, tapi peduli apa, aku bahkan mencoba untuk nggak peduli sama dia.
***
Di kamar, aku berbaring memeluk guling sembari memejamkan mata.
"Ma, udah tidur, ya?"
Itu suara Al, bahkan aku baru ingat beberapa hari ini aku absen memeluk dan menciumnya.
"Belum, Sayang, sini!"
Al menaiki kasur dan berbaring di sisiku, memeluk erat tubuhku hingga bulir air mata nggak bisa kutahan untuk tetap berada di tempatnya. Al sepertinya sangat merindukanku, aku tahu itu. Aku lelah dengan keadaan yang serba menguras emosi seperti ini.
"Ma, Om, Nick, kok, nggak pernah datang lagi?"
Sungguh, aku nggak tahu harus bicara apa pada anak sekecil itu.
"Om Nicknya sibuk, Sayang!"
Mata Al menatapku seolah meminta penjelasan lebih. "Al pengen main kuda-kudaan lagi sama Om Nick," rajuknya. Aku mengangguk, kemudian memeluknya dan memberinya sedikit pengertian bahwa nggak semua yang kita ingin harus kita dapatkan sekarang juga. Al yang tadinya bersikeras dengan kemauannya akhirnya mau mendengarkan nasihat dariku.
Malam ini Al tidur di kamarku. Aku bertekad untuk menjadi ibu yang lebih baik untuknya, belajar lebih baik lagi dalam mengontrol emosi, aku ingin Al mendapatkan haknya secara penuh. Hak kasih sayang dan cinta, meski tanpa seorang ayah.
Hubungan asmaraku boleh saja gagal, tapi hubunganku dengan Al nggak boleh.
Aku teringat saran Yama untuk menemui psekiater demi masa depan keluarga kecilku, ya, aku akan coba melakukannya, demi Al. Cukup aku yang menderita sewaktu kecil, anakku jangan! Karena rasanya akan terbawa sampai kapan pun.
"Mama sayang Al, dan itu cukup untuk membuat Mama kuat menghadapi semua," bisikku di telinga Al yang terlelap. Meski wajah Al selalu menyeret ingatan masa laluku, tapi mulai sekarang aku akan berusaha memaafkannya, seperti yang Yama bilang dan selalu dia tegaskan.
Aku memaafkan semua hal yang terjadi di masa lalu, aku mengampuni diriku sendiri, mengampuni Alex, Tante Ros, dan menyiapkan diri untuk menyambut masa depan yang lebih baik. Aku berjuang untuk itu. Tuhan, tolong beri aku kekuatan lebih dan lebih lagi. Sesederhana itu.
^***^
Mamak mengejar pelunasan utang, jadi abaikan isinya, karena mamak memang masih seamatir ini.
Kritik saran masih boleh banget di komen.
Salam,
Nofi
Tangsel, 25 Agustus 2018.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Love #ODOCTheWWG
RomanceSaat seorang wanita bisa menolak gue, di situ aura ketampanan gue serasa lenyap bagai asap. Yaelah, tapi itu nyata. Wanita itu beda, dia malah terlihat ketakutan setiap gue berusaha mendekat. Entah di mana letak salahnya, yang jelas gue penasaran. L...