Bab 12. Diva: Berdamai Dengan Masa Lalu

548 43 6
                                    

Perbedaan pendapat antara aku dan Tante Ayu membuat niat bertemu Yama petang ini menguat. Aku akan ke sana setidaknya untuk sedikit menenangkan diri. Yama akan senang hati mendengarkan aku bercerita dan berkeluh kesah, tentang semua hal.

Mobil yang aku tumpangi berbelok menuju parkiran luas di depan restoran milik Yama yang sedikit ramai di ruang bagian cake. Sekilas terlihat sebuah sepeda motor gede keluar halaman yang sepertinya nggak asing. Ah, tapi mana mungkin.

Yama yang terlihat sedikit santai sedang mengawasi karyawan yang bertugas. Rambut hitam itu tertata rapi dan, kemejanya melekat ketat di tubuh menjulangnya ... sayangnya warna pink selalu jadi pilihan Yama. Menurutnya warna itu hisa mewakili perasaan senang dan lembut karena terkesan kalem dan nggak mencolok.

"Yama, aku lapar!" rengekku di belakang Yama.

Laki-laki yang sedang asyik dengan kegiatan memantaunya itu terlonjak. Namun, senyuman tipis tercetak di bibir merah yang selalu basah miliknya. Terkadang aku gemas melihat bibir tipis yang selalu mengeluarkan kalimat-kalimat menenangkan itu, tapi sama sekali aku nggak pernah merasakan sentuhannya yang bisa jadi lebih menyenangkan.

"Eh, kamu mau datang nggak bilang-bilang?" tanyanya.

Kami segera menuju titik favorit yaitu meja yang terletak di sudut ruangan karena di sana bebas memandang ke luar.  Seporsi nasi padang dan segelas jus jeruk sudah disiapkan karena memang aku memesannya sebelum menghampiri Yama. Yama meminta air mineral untuk kuminum sebelum jus jeruk, selalu seperti itu.

"Kamu nggak duduk? Aku mau makan, nih, lapar!"

"Aku kebetulan nggak ada kaos atau kemeja ganti, sebentar aku keluar dulu, ya," ucap Yama terburu-buru, tapi dengan reflek aku meraih tangan kanannya untuk mencegah dia pergi.

Yama memandangi tanganku yang melekat di kulitnya. Aku pun melakukan hal yang sama. Sedikit gugup dan malu, untuk menutupinya aku menarik tangan itu, lalu menangkupkan  ke wajah. Aku bernapas dalam-dalam.

"Nggak usah ganti, aku nggak apa-apa," putusku akhirnya sambil membuka kedua telapak tangan. Aku mendapati Yama tersenyum, kali ini beda, seperti mengandung sesuatu yang luar biasa.

"Kamu yakin?" tanyanya memastikan.

Aku mengangguk tegas.

"Aku mau makan, jadi kamu jangan ke mana-mana. Oke?" pintaku.

"Oke, makan pelan-pelan."

Aku menghabiskan seporsi nasi rendang dengan sambal hijau khas padang dalam waktu setengah jam. Itu standar waktu yang diberikan Yama, menurutnya itu yang ideal untuk seporsi nasi padang. Sepanjang makan, tatapan Yama terus mengamati.

"Kamu kenapa lihatin aku terus? Nggak kayak biasanya?"selidikku dengan menyesap air mineral lewat sedotan. Sedikit jengah mendapat tatapan seperti itu. Karena menurutku Yama sedikit berubah.

"Kamu ... masih merasa takut ditatap seperti ini?" Yama benar-benar berbeda. Aku bisa melihat sinar lain di mata hitamnya.

"Kamu apa-apaan, sih, kayak gitu?" ketusku sedikit khawatir.

"Diva, apa kamu masih berniat memelihara semua ketakutan dalam diri?" tanyanya lagi.

Aku menggeleng, "nggak ada seorang pun yang ingin hidup dengan bayang-bayang ketakutan seperti ini."

"Tapi kamu bisa keluar dari semua itu," ucap Yama lagi, kali ini tangannya menggenggam tanganku.

"Yam?" protesku sambil berusaha menarik tangan supaya terlepas.

"Nggak, aku akan bikin kamu sembuh dari semua kesakitan ini. Semua rasa takut itu harus bisa kamu hilangkan, kamu berhak bahagia."

"Y-yam, apa mak-"

"Berdamailah sama masa lalu kamu," ucapnya masih sambil menggenggam tanganku yang mulai gemetar. Tangan Yama terasa halus dan ... hangat. Aku pastikan keringat sudah bermunculan di semua bagian tubuh.

"Yam, tapi-"


"Bukalah hati kamu buat laki-laki lain. Baru saja Nick ke sini dan meminta izinku untuk mendekati kamu."

Aku terkejut mendengar nama itu disebut. Berarti tadi aku nggak salah lihat. Tangan Yama masih saja di sana, bermain dan memberi kehangatan yang membuat tubuhku memberontak.

"Lalu kamu kasih dia izin?" tanyaku nggak percaya.

"Ya, aku mendukungnya."


Tangan Yama kini sudah lepas dan kembali dia lipat di depan dada. Ada senyum yang aku sendiri nggak bisa mengartikannya. Apa aku harus belajar menerima Nick seperti yang Tante Ayu dan Yama katakan?

"Apa aku nggak ada tempat lagi di sini?" Aku memberanikan diri menanyakan tentang ini.

"Kamu selalu punya tempat spesial, Diva. Buatku, kamu tetap adik yang akan aku jaga sampai titik darah penghabisan. Aku mau kamu bahagia," ucapnya panjang.

"Aku sudah sangat bahagia saat ini," elakku.

"Kamu mau jadi istri akau?"

Pertanyaan itu ... maksud Yama apa?

"Selama ini aku nggak harus jadi istri kamu dan sudah bahagia," terangku.

Yama menggeleng. "Kamu harus punya pendamping hidup yang bisa memberi kebahagiaan secara utuh," ujar Yama sambil kembali menatapku. "Nikmatilah hidup yang singkat ini, Diva. Biarkan diri kamu meraih dan mengecap manisnya cinta," lanjut pria berambut hitam dengan potongan pendek yang konvensional.

"Aku nggak butuh apa-apa lagi selain keluarga ... dan kamu."

Sejenak hening, lalu Yama berkata, "tapi kamu butuh cinta supaya hidup kembali normal."

"Aku nggak normal saat ini?"

"Bukan begitu, tapi kamu punya trauma dan fobia yang menghambat sebagian besar aktivitas."

"Lalu aku harus bagaimana?"

"Maafkan Alex, menataplah masa depan. Melangkah bersama Nick dan aku beserta keluargamu akan bahagia."

Berat. Sungguh. Memaafkan orang yang sudah mencampakkan hidup kita bukanlah hal sepele.

"Dia jahat sama aku, Yam!" Amarahku tiba-tiba memuncak.

Teringat betapa terluka dan hancurnya aku saat itu. Orang yang kupercaya dan kuperjuangkan malah tega berbuat sekeji itu. Aku menggeleng kuat.

"Diva, bukan aku bermaksud menghakimi atau menyalahkan, tapi coba telaah lagi, apa semua itu benar-benar kesalahan Alex seratus persen?" kata Yama yang seperti menampar keras wajahku. Nggak, itu semua karena aku yang terlalu mudah memberikan harta paling berharga dalam hidup.

"Aku mengakui itu, aku terlalu polos dan naif," akuku akhirnya.

"Sekarang maafkan diri kamu dan seluruh masa lalumu, termasuk Alex. Sesungguhnya dia nggak berhak lagi ada di hati kamu. Trauma dan fobia yang kamu miliki membuktikan masih ada Alex dalam hati kamu. Lepaskan, biarkan itu semua berakhir dan berlalu, kamu ngerti maksudku?" tanya Yama sekali lagi sebelum tangisku pecah. Entah apa yang kurasakan, tapi ingin sekali rasanya aku dipeluk seseorang dalam kondisi selemah ini.

Tiba-tiba aku merasakan elusan lembut di kepala, kemudian sedikit menarik tubuhku mendekat ke arahnya. Dibahunya yang menguarkan aroma segar lemon, kusandarkan semuanya. Di dada bidangnya yang terbalut kemeja warna lembut itu kutumpahkan segala kesakitan melalui pukulan-pukulan tangan tanpa henti.

"Aku akan berusaha mengikuti semua yang kamu katakan," ucapku

***

Yuhuuu, bab ini gimana?

Kritik saran masih ditunggu

Salam hangat penuh cinta,

Nofi
Tangsel, 11 Agustus 2018

Blue Love #ODOCTheWWGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang