Pagi ini aku dan Nick berencana melakukan pertemuan di apartemennya.
Bukan tanpa alasan aku meminta bertemu di sana. "Aku nggak ingin bikin Mama kamu marah, Nick." Jujur saja, setegar-tegarnya hati wanita, akan sakit saat terus mendapat penolakan.
"Aku tunggu di lobi, ya," ujar Nick.
Sepanjang perjalanan aku terus menimbang dan memantapkan hati dengan pilihan yang telah kuputuskan sebelumnya. Mengenai masa depan Al yang harus selalu kuutamakan. Al menyukai sosok ceria Nick, tapi dia juga begitu nyaman berada di dapur kue bersama Yama.
Jika Nick yang usianya hanya beda tiga tahun di atasku, dinilai akan lebih bisa menghadirkan kebahagiaan bagiku dibanding Yama itu tidaklah tepat. Karena selama bertahun-tahun aku merasa bahagia berada di sisi pria kaku pemilik restoran itu. Bagiku, Yama adalah pria termanis dan sangat pengertian. Kepribadiannya hangat meski tertutup sikap kaku yang selalu ditampakkannya pada orang lain.
Apartemen Nick sudah terlihat, taksi yang kutumpangi berhenti beberapa saat kemudian, tepat di depan lobi Tower A. Setelah membayar ongkos, kakiku menjejak di aspal, lalu menaiki beberapa anak tangga yang kanan kirinya berhias patung bernuansa Bali. Nick sudah menunggu dan kami pun memasuki lift menuju lantai teratas.
Di dalam lift Nick tampak begitu murung, aku menebak hubungannya dengan Tante Ros sedang nggak baik.
"Kamu baik-baik aja, Nick?"
Nick sepertinya sedikit melamun dan tergagap mendengar pertanyaanku.
Dia mengangguk, "aku baik, Div," jawabnya dengan seulas senyum yang terlihat begitu hambar.
"Syukurlah kalau kamu baik-baik aja," ucapku dengan senyum.
Kami sampai di lantai teratas, Nick membuka pagar setelah anak kunci berhasil membuka gembok itu, lalu beralih membuka kunci pintu dan membukanya agar kami bisa masuk.
"Kamu mau minum apa?"
Pertanyaan itu bahkan terdengar sangat mengambang di telinga, seolah Nick memang sama sekali nggak mengenal tamunya. Tatapan pria berambut pirang yang saat ini mengenakan kaus body fit warna hitam itu kosong, terlihat sering melamun, dan semua pemandangan di hadapanku sungguh membuat khawatir. Akankah semua ini ada hubungannya denganku?
"Aku ke sini hanya ingin bicara empat mata sama kamu, Nick," sahutku.
Pria itu lantas duduk di sofa tepat di dekat jendela kaca besar yang menyuguhkan pemandangan kolam renang di bawah sana. Matanya terarah ke kolam yang terlihat ramai, tapi aku yakin nggak ada yang dia lihat, mungkin ini hanya akal-akalnya saja agar tatapan kami gagal bertemu. "Aku nggak bisa menjanjikanmu apa-apa, Div," katanya kemudian setelah cukup lama kami terdiam.
Aku mendekat dan ikut duduk di sebelahnya.
"Jika ini tentang Mama kamu, aku setuju hubungan ini kita akhiri," jawabku seketika.
Dia terbelalak, menatapku dalam diam, lalu mengusap kasar wajahnya menggunakan telapak tangan kirinya.
"Diva, tapi ...," sahutnya cepat dengan wajah yang tiba-tiba saja berubah dari murung menjadi penuh kegusaran, dan dia sungguh terlihat kacau. "Kita bisa berjuang bersama, Diva," katanya lagi, kali ini dia meraih kedua telapak tangaku lalu menyelipkan jari-jarinya di antara jemariku. Mata kami bertaut saling bercerita tentang kepedihan hati masing-masing. Jujur aku nggak tahan melihat luka di mata lembut itu, selama aku mengenalnya baru kali ini mataku menyaksikan kesakitan yang teramat di kedua netra cokelatnya.
Entah siapa yang memulai, tiba-tiba bibir kami ikut bertaut, mula-mula sekilas, lalu sedikit menuntut untuk saling menghisap lebih dalam, bergerak liar layaknya binatang buas yang bertarung saling mengalahkan.
Aku yang semula terhanyut, mendadak terlintas wajah seseorang yang selama ini begitu sabar menghadapi sikap dominanku, menuntutnya ini itu, memintanya agar seperti ini seperti itu, bahkan melarangnya untuk menikmati apa yang dia sukai.
Yama.
Mendadak aku memalingkan wajah, berusaha menghentikan semua tanpa membuat Nick merasa ditolak.
"Ini cukup, Nick, terima kasih," ucapku sambil menatapnya lagi, bibirnya yang merah masih basah, napasnya masih memburu serupa dengaku, dan tangannya yang ternyata sudah berpindah tempat tanpa kusadari kini ditariknya ke pangkuan, lalu dia menutup seluruh wajahnya dengan kedua telapak tangan, bahunya terguncang. Dia menangis?
"Aku nggak tahu harus berbagi cerita sama siapa, Diva," isak Nick.
Tubuhnya disandarkan ke sandaran sofa berwarna hitam berbahan kulit, lalu kedua telapak tanganya terlepas begitu saja dari wajah yang terlihat memerah.
"Cerita sama aku, Nick, kalau itu bisa bikin perasaanmu lebih baik!"
Pria itu memejamkan mata, hinga bulir-bulir air mata jatuh ke pipinya.
"Sebenarnya aku nggak boleh secengeng ini," ceracaunya sambil tertawa yang terdengar sumbang.
"Semua orang pernah terluka, Nick, dan menangis akan membuat hatimu lega, jadi menangislah!"
Tangan kananku terulur ke bahu kirinya, mengusap perlahan, dan masih kurasakan sedikit getaran di sana yang menandakan pemiliknya masih belum bisa menguasai emosi yang dirasakan.
"Hidupku nggak seindah yang terlihat dari luar, bahkan masa lalumu dan Mama sangat mirip," tuturnya.
"Mirip?"
Apa yang dia maksud mirip?
"Aku dan Al sama-sama anak yang nggak diinginkan," katanya datar.
Aku kaget sekaget-kagetnya mendengar kalimat yang meluncur dari pria di sampingku.
Nick menceritakan semua yang dia dengar, sebuah kenyataan pahit yang bahkan aku sendiri nggak menyangka sama sekali. Nick yang begitu ceria, ternyata memiliki sebuah cacat yang bahkan dia sendiri baru mengetahuinya. Mendengar cerita Nick aku mendadak ikut terluka, aku ingat Al, anak perempuanku itu jangan sampai terluka karena kenyataan yang coba ditutupi oleh orang tuanya.
Dari cerita Nick aku belajar satu hal bahwa kejujuran sepahit apa pun akan lebih baik, dan itu akan kulakukan agar Al-ku kelak tumbuh menjadi pribadi yang penuh kejujuran.
"Percayalah Tante Ros sangat menyayangimu, sama dengan rasa sayangku pada Al," ucapku sambil masih mengusap bahunya berusaha menenangkan dan memberinya dukungan.
^***^
Udah mau tamat, emak mau tanya nih, buat yang baca kisah ini, maunya Nick jadi sama Diva atau Yama aja yang jadi sama Diva, dan alasannya apa?
Itu aja, sih, maaf ya kalau masih flat hihi.
Salam,
Nofi
Tangsel, 28 Agustus 2018.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Love #ODOCTheWWG
RomanceSaat seorang wanita bisa menolak gue, di situ aura ketampanan gue serasa lenyap bagai asap. Yaelah, tapi itu nyata. Wanita itu beda, dia malah terlihat ketakutan setiap gue berusaha mendekat. Entah di mana letak salahnya, yang jelas gue penasaran. L...