Gue terguncang hebat dengan sikap Mama ke Diva. Gue benar-benar nggak nyangka beliau akan serendah itu memandang Diva. Harusnya ini nggak boleh terjadi, gue nggak mau Diva trauma lagi mengingat dia baru saja melawannya dengan susah payah.
Gue membawa Diva ke apartemen supaya kami bisa menenangkan diri. Nggak banyak obrolan sepanjang perjalanan kami yang kali ini menggunakan jasa taksi konvensional. Diva hanya bolak-balik membuang pandangannya yang gue yakin penuh luka itu keluar kaca jendela.
"Diva, maafkan Mamaku, ya," kata gue sedikit memohon, berharap luka di hati wanita itu sedikit berkurang. Nggak ada tanggapan. Gue mendesah karena nggak tahu harus bagaimana.
"Aku mau pulang sekarang," desah wanita bergaun biru selutut yang kini tampak kacau itu.
"Kita bicara sebentar di apartemen, lalu aku akan antar kamu."
Kami menaiki tower A menuju lantai tertinggi, saling diam, larut dalam keresahan hati masing-masing. "Div, apa pun yang terjadi, aku akan perjuangan hubungan ini." Hanya kalimat itu yang sanggup gue utarakan saat ini. Wanita itu menoleh ke arah gue, tapi bunyi nyaring lift yang terbuka membuat kami bergegas keluar. Dia kembali menatap gue, kali ini dengan tatapan tajam. Sedikit gentar akan reaksinya saat ini.
"Kita nggak akan bisa bersama, Nick!"
"Aku akan usahakan," ucap gue mendesak, lalu berjalan mendekat mengeliminasi jarak.
Saat jarak kami tak lebih dari sejengkal Diva menahan dada gue dengan kedua telapak tangannya. "Tolong bersikap dewasalah, kita bukan anak abege!" Tangan gue mengunci tubuhnya yang semampai, menatap dalam iris cokelat mudanya yang penuh luka, perlahan tapi pasti sebuah lumatan kecil berhasil dicuri Sang Pangeran dari Cinderellanya. Reaksi Diva nggak semenakutkan biasanya, dia hanya pasrah dan terkesan kalah.
"Karenanya kita harus berjuang, demi kita, demi masa depan Al," bisik gue.
Diva menggeleng dan berusaha melepas impitan tubuh gue yang posesif. Dengan berat hati gue melepasnya dan kemudian kami memasuki ruang tamu yang temaram setelah membuka gembok pagar dan kunci pintu. Diva segera mengemasi barang-barang yang akan dibawanya pulang. Mungkin benar, lebih baik dia pulang dan beristirahat.
"Div, percayalah, kita bisa melewati ini," ucap gue yang duduk di sampingnya. Diva sibuk menata barang ke kopernya, termasuk buah kesukaan Al. "Nggak ada yang bisa memisahkan kita, termasuk Mama." Diva hanya sedikit menoleh, lalu kembali berkutat dengan aktivitasnya.
Entah kenapa gue merasa akan kehilangan Diva, lalu naluri melampiaskannya dengan memeluk wanita itu lagi, dan kali ini lebih erat. Tangisan gue pecah, dan entah sejak kapan pangeran tampan ini jadi penganut paham termehek-mehek. Ketakutan yang belum pernah gue rasakan sebelumnya, perasaan nyeri yang bahkan nggak pernah terbayangkan akan gue alami, dan suasana cengeng yang hanya gue lihat di sinetron striping kini gue rasakan.
Diva yang sepertinya mengerti rasa sedih gue ikut terisak kecil. Tubuhnya bersandar pasrah di dada gue yang sedang gemuruh merasakan kesedihan yang teramat ini. Cinta tanpa restu orang tua adalah kiamat. Gue bahkan belum menemukan ide untuk mencairkan kebekuan hati Mama.
Suara bel membuyarkan semua adegan drama perpisahan pangeran tampan dengan Cinderella. Pangeran tampan segera bangkit dan menuju pintu untuk melihat siapa yang datang. Ternyata petugas keamanan yang membawa satu paket berupa kardus warna cokelat. Gue membuka pagar dan membiarkan satpam meletakkan kardus itu di depan pintu yang hanya berjarak dua meter dari pagar.
Gue tahu apa isi paket itu karena tertera nama pengirim: I Made Adhi Saputra. Gue segera membubuhkan tanda tangan di nota serah terima yang menyatakan paket telah diserahkan kepada pihak yang dituju melalui satpam jaga. Gue membawa bungkusan itu ke hadapan Diva, dan berniat membukanya. Baru saja gue berjalan ke arahnya dengan mengangkat paket tersebut di depan dada, dia menghujani gue dengan tatapan menyelidik. "Apa itu?" Diva mengerutkan kening dan memandang awas ke sekeliling. Diva layaknya tawanan yang selalu waspada karena takut disiksa. Gue hanya tersenyum dan mulai mengambil cutter untuk membuka paket.
Paket itu terbuka dan gue tersenyum ke arah Diva. Sejenak dia membeku, mungkin sedikit kaget atau entah perasaan apa, yang jelas perempuan berambut cokelat kemerahan itu menunjukkan sikap terkejut. Matanya membulat, bibirnya sedikit terbuka dan dahi sedikit berkerut.
"Aku orang dibalik nama pena Elang Timur yang kamu bawa-bawa novelnya itu."
Gue tersenyum bangga, karena Diva pasti akan suka. Namun, dugaan gue salah, salah besar! Dia menunduk lama sebelum mengangkat wajahnya dan berkata, "dan kenapa lo baru ngaku sekarang? Itu juga karena kepergok, mau sampai kapan lo bohong?"
"Div, aku nggak bermaksud bohongin kamu. Lagian kita kenal, kan, memang aku sebagai fotografer." Gue membela diri karena merasa apa yang Diva permasalahkan sama sekali nggak masuk akal. Nggak habis pikir kenapa dia semarah itu sampai menganggap gue bohongin dia.
"Dan lo suka chatting sama penggemar-penggemar fanatik di dunia maya, iya, kan?"
Eh, buset, dia bahas kayak begitu buat apa coba? "Enggak," jawab gue setengah berbohong yang disambut tawa sumbang Diva dan gelengan keras. Gue memang suka balas chat mereka, tapi nggak yang aneh-aneh. Cuma satu yang memang lumayan nyaman di hati saat bercanda lewat messenger yaitu 'Bunga' dan nggak ada yang lain, tapi gue rasa nggak perlu Diva tahu hal ini.
"Oke, mungkin ada saatnya lo bakal ngaku, sekarang gue pulang." Diva menarik kopernya keluar. Gue ikuti dia dari belakang setelah mengunci pintu dan pagar.
"Diva, biar aku antar, ya," bujuk gue dari samping kanan tubuh semampai bergaun biru selutut itu saat berhasil mengejar dan mengimbangi langkah tergesanya. Dia hanya menarik koper dengan napas memburu, muka merah padam seakan memendam bara di dada. "Diva, kita bisa selesaikan ini baik-baik." Sekali lagi gue membujuk dan hasilnya nihil.
Diva berhasil turun dan berjalan ke arah loby apartemen. Sebuah taksi yang baru saja menurunkan penumpang segera dimanfaatkannya untuk melarikan diri dari gue. Gue mendengkus kesal, pikiran buntu, nggak menyangka akan berakhir kayak begini. Masalah satu belum beres, datang masalah lain yang sama besarnya. Gue sejenak berpikir sebelum memutuskan kembali naik dan membubuhkan tanda tangan di buku yang sudah dipesan dengan sistem PO itu.
Gue naik dengan pikiran kalut. Sesekali gue mengacak rambut asal, sekadar menghilangkan kekesalan yang rasanya entah. Gue belum pernah merasakan rasa sekacau ini.
***
Maaf kalau bab ini agak ewh ga banget, harap dimaklum, ya. Semoga bab selanjutnya bisa lebih baik.
Kritik saran boleh banget disampaikan di komentar, ya.
Salam emak renjer,
Nofi
Tangsel, 19 Agustus 2018.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Love #ODOCTheWWG
RomanceSaat seorang wanita bisa menolak gue, di situ aura ketampanan gue serasa lenyap bagai asap. Yaelah, tapi itu nyata. Wanita itu beda, dia malah terlihat ketakutan setiap gue berusaha mendekat. Entah di mana letak salahnya, yang jelas gue penasaran. L...