Gue panik dengan keadaan Diva yang kembali ketakutan bahkan sesak napas dan keringat dingin membanjir. Gue meruntuki diri sendiri karena bercanda nggak pada tempatnya. Harusnya gue lebih hati-hati berbicara, meski hanya berupa candaan.
"Diva, aku nggak serius. Percaya sama aku," bujuk gue di hadapannya yang masih pucat. "Aku nggak akan melakukan hal di luar batas. Aku bukan lelaki seperti itu. Tolong percaya!" Gue menatapnya meski wanita bermata cokelat muda itu hanya menunduk dengan masih berusaha menormalkan napas.
Dia mencoba berdiri dan gue mengulurkan tangan bermaksud memberi bantuan, tapi nggak dihiraukannya. Diva membenahi rambutnya yang sedikit berantakan terkena angin, lalu berjalan cepat menuju dermaga.
Sepanjang perjalanan Diva hanya diam. Wajahnya mendung menyiratkan kekecewaan dan ketakutan. Gue memcari cara agar dia bisa kembali seperti semula.
"Diva, kita beli strawberry buat Al, yuk!" ajak gue yang hanya dihadiahi lirikan sengit. Kayaknya usaha gue bakal sia-sia. Akhirnya gue biarkan Diva menunggu di mobil.
Gue jalan ke arah penjual buah berwarna merah menggiurkan itu dan membeli beberapa kotak mika. Gue yakin Al bakal senang. Bisa-bisa gue dihadiahi ciuman di pipi berkali-kali oleh anak itu yang memang suka banget sama buah bercita rasa sedikit asam ini.
Gue kembali ke mobil dan mendapati Diva sedang berkutat dengan ponselnya dengan menyetel lagu 'Because Of You' milik Kelly Clarkson. Air mata terlihat menggenang di kedua jendela hatinya itu. Gue merasa sangat bersalah. Gue duduk di belakang kemudi dan belum juga menyalakan mesin, masih mengamati Diva yang sama sekali tak acuh.
"Aku harus gimana minta maaf sama kamu dan bikin kamu percaya lagi?" Mata gue mengamati, tapi nggak ada tanda-tanda Diva akan menoleh atau sekadar menjawab. Akhirnya gue dapat ide. Gue mengambil ponsel dan melihat ada pesan masuk di messenger. Tujuan gue mengambil ponsel adalah menelepon Mama, jadi pesan messenger gue abaikan.
Beberapa saat gue menunggu dan akhirnya Mama menjawab, "Halo, Sayang. Kamu masih di Bali?" Gue tarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan sebelum menjawab. Gue melirik Diva yang sibuk mengetik di layar sentuhnya.
"Masih, Ma. Besok ada acara nggak, Ma? Nick mau kenalin calon mantu Mama, boleh ya?" Memang gue sengaja memilih kata itu demi memancing perhatian wanita berambut coklat kemerahan di sebelah, tapi target benar-benar susah ditaklukkan.
"Calon mantu, apa kamu lagi bercanda? Lagi ikutan yang di yutub-yutub itu, apa, sih, istilahnya nge-prank, gitu, ya?" berondong Mama sok tahu di seberang sana.
Gue rasa Ibu Ratu kebanyakan nonton unggahan video-video luar negeri sejenis itu makanya sampai anaknya sendiri dituduh sebagai salah satu pelakunya, kan, sial! "Mama, please, deh, kurangi itu tontonan yang nggak bermutu begitu, sampai-sampai anak Mama yang tampan sedunia ini jadi korban pencemaran nama baik model begini!" rajuk gue pura-pura kesal. Gue memang suka bercanda dan bikin beliau kesal.
"Kamu tahu acara 'Karma'?" Pertanyaan macam apa ini, gue bahas apa, nyambungnya ke mana, ampun! "Kata Roy itu setiap yang kamu lakukan akan berbalik pada diri kamu sendiri, lah, ini kamu merasa tertuduh padahal memang biasanya kamu penjahatnya!" Terdengar Mama tertawa di sana, itu sungguh bikin gue sejenak melupakan niat awal menelepon beliau.
"Roy? Roy Suryo atau Roy Martin?" Gue ikut membanyol, nggak peduli Diva akan menilai kayak apa. Toh belum tentu wanita itu mendengarkan apa obrolan gue sama Mama.
"Kembali ke laptop, mantu mama yang mana? Apa dia lagi sama kamu sekarang? Boleh dong Mama ngobrol, bentar aja, ya, ya!" Eh, buset, emak gue lagi kenapa, kok, tumben semangat empat lima kayak gini?
Gue menoleh ke arah Diva dan kaget ternyata perempuan itu sedang tersenyum—mungkin dia dengar obrolan kami barusan—, dan dengan segera ponsel berpindah ke tangannya. Lega, akhirnya Diva mulai senyum lagi. Gue mulai menyalakan mesin dan berniat untuk mencari tempat makan sekalian arah jalan pulang.
***
Kami mendarat di Bandara Soekarno-Hatta pukul 15.40 WIB dan langsung menuju ke kawasan Prapanca untuk beristirahat sejenak di apartemen sebelum bersiap diri sowan pada Ibu Ratu Ros, yang katanya sudah menunggu dengan segudang makanan spesial demi menyambut calon mantu. Diva tadinya menolak, tapi setelah gue berjanji nggak akan terulang candaan-candaan receh kayak kemarin akhirnya dia mau. Menuju lantai teratas alias pent house. Kami menaiki lift dengan kartu akses yang khusus dimiliki para penghuni eksekutif macam gue. Jika tanpa kartu tersebut maka hanya bisa sampai di lantai tiga dan mesti menaiki tangga darurat untuk sampai ke tujuan.
"Kamu bisa istirahat dulu di kamar, nanti malam kita datang menemui Mama," ucap gue saat kami sudah sampai di dalam ruang tamu apartemen dan sedang merapikan barang bawaan. Diva terlihat sedikit gugup entah karena apa. Matanya memandang sekeliling dengan waspada. Apa dia mulai takut lagi?
"Apa kira-kira Mama kamu akan setuju punya calon mantu kayak aku?" Diva terlihat gelisah, gue ajak dia duduk di balkon yang menghadap ke jalanan, dari sini kami bisa melihat kehidupan di bawah sana. Sebotol air mineral dingin gue berikan padanya supaya perasaan gelisahnya sedikit reda.
"Diva, apa pun yang terjadi, aku mau berjuang bersamamu!"
Diva menoleh, menatap gue seakan meminta diyakinkan. Gue mengangguk. Dia memutus kontak mata dan mengalihkan perhatian ke botol air mineral di tangannya. Sedikit memainkannya sebelum menyedot dengan perlahan.
"Aku sungguh takut kecewa, Nick," desahnya. Tubuhnya disandarkan ke sandaran kursi berwarna biru dan matanya terpejam. Wajah itu terlihat lelah, ingin rasanya gue bisa menghapus kelelahan itu.
"Nggak ada satu pun manusia yang lolos dari rasa kecewa, Div, tinggal tergantung bagaimana kita menghadapinya," jawab gue akhirnya. "Gimana kalau sekarang kita nonton dulu, kamu suka film apa?" Gue coba mengalihkan perhatian agar keresahan hatinya hilang.
"Aku nggak suka nonton, sukanya baca." jawabnya.
"Oh, iya kamu kan suka baca novel romantis, ya?" Dia mengangguk. "Lagi baca novel apa sekarang?"
"Ada, penulis baru, sih. Aku suka cara berceritanya yang hidup. Kayaknya aku selalu bisa ikut larut di dalam cerita."
"Suka baca tulisannya atau orangnya?"
"Ngaco, bahkan aku belum pernah lihat fotonya. Dia menyimpan rapat identitasnya, padahal begitu banyak yang penasaran." Jawabannya sedikit membuat dada gue berasa membusung. Bangga. Gue tahu siapa yang dimaksud Diva, pasti si Elang Timur yang nggak lain adalah pacarnya sendiri. Gue pasti akan jujur ke dia tentang semuanya termasuk profesi tersembunyi ini.
"Dengan kondisiku yang ... bukan orang berada dan punya anak di luar nikah?" Diva terlihat menahan isak, matanya berair dan hidungnya kembang kempis. Wajahnya semerah senja, dan mendung menggelayut di sana. Bisakah gue membawa kepalanya untuk bersandar di bahu atau dada ini?
***
Wew Diva mulai parno.
Kritik saran masih boleh disampaikan, emak terima dengan baju terbuka, eh hati bukan baju.
Salam,
NofiTangsel, 17 Agustus 2018.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Love #ODOCTheWWG
RomansSaat seorang wanita bisa menolak gue, di situ aura ketampanan gue serasa lenyap bagai asap. Yaelah, tapi itu nyata. Wanita itu beda, dia malah terlihat ketakutan setiap gue berusaha mendekat. Entah di mana letak salahnya, yang jelas gue penasaran. L...