Berbekal informasi dari Tante Ayu mengenai Yama akhirnya gue putuskan untuk mencari tahu tentang pria tua tapi penuh kharisma itu. Gue sebagai sesama kaum bisa merasakan besarnya aura jantan lelaki itu, meski tubuh tingginya nggak seatletis bule tampan ini. Nggak bermaksud sombong atau narsis tapi itu faktanya.
Sepeda motor gue pacu dengan kecepatan sedang, kebetulan hari ini pemotretan pre-wedding ambil lokasi kawasan Kota Tua dan Ancol, jadi nggak makan waktu banyak untuk sampai ke restoran Yama di Mangga Besar. Mata gue dengan gampang menemukan restoran milik Yama karena memang paling luas dan konsep yang beda dengan sekitar yang mayoritas menjual Chinesse Food dengan nuansa merah dilengkapi lampion warna senada.
Gue masuk ke area bernuansa tradisional Indonesia yang benar-benar nyaman. Menuju kasir dan bertanya, "sore, maaf mau tanya Pak Yama ada?" Seorang perempuan muda berseragam hijau muda dengan nama restoran terbordir di dada atas sebelah kiri mengangguk dan kemudian memanggil seorang temannya.
"Maaf, ini dengan siapa?" tanya perempuan yang baru saja dipanggil oleh si kasir.
"Ehm, bilang aja Nick teman Diva," ujar gue sedikit ragu.
Sejenak gue ragu dengan jawaban yang baru saja terlontar. Apa Yama kenal gue? Diva mungkin saja pernah bercerita tentang pertemuan kami, tapi mungkin juga nggak.
"Ada yang bisa saya bantu?" tegur sebuah suara yang terdengar sangat datar, tanpa emosi, atau ekspresi apapun di dalamnya. Gue yakin itu Yama. Suara itu sedatar tampangnya.
"Oh, hai, Bro. Kenalin gue Nick," sambut gue ceria dan mengulurkan tangan seraya bangkit dari kursi yang letaknya hanya beberapa meter dari muka kasir.
"Ada perlu sama saya?" Yama memberi gue isyarat agar kembali duduk, dan dia pun menyusul mengambil tempat di seberang meja. "Kalau boleh tahu, Anda siapanya Diva?"
"Gue ... fotografer yang tempo hari kerja bareng Diva waktu di Bali."
Yama mengangguk. Wajah bersih pria itu nggak punya ekspresi misalnya kaget, muak, atau apa gitu dengar laki-laki muda yang tampannya maksimal ini menyebut nama teman wanitanya. Kalau gue mungkin nggak segan menarik kerah kemeja terus menghadiahi bogem mentah ke pria nekat model begini.
"Ada apa dengan Diva?"
Elah, pertanyaannya bikin gue ingat film fenomenal enam belas tahun lalu di mana Nicholas Saputra nyosor Dian Sastro, semoga Nicholas yang ini juga sukses melakukan hal yang sama ke Diva Samaira. Gue senyum-senyum mirip orang sinting. Oke, gue coba mengabaikan otak yang mulai korslet.
"Sorry, sebelumnya apa lo nggak keberatan kalau gue panggil, Bro? Dan pakai lo-gue kayaknya lebih santai," berondong gue ke Yama yang masih duduk kaku di seberang meja dengan kemeja pink yang pas di badan. "Itu kalau ... lo nggak keberatan, sih," ucap gue sambil nyengir dan menggaruk kepala yang nggak gatal. Asli gue tegang, bukan takut, tapi lebih ke ... perasaan nggak enak.
"Santai aja, panggil sesuka lo." Senyumnya terbit meski masih dengan ekspresi datar. Apa memang dia sekaku ini setiap saat?
"Oke, gue takut dibilang kurang ajar, sih," ucap gue basa-basi, "tapi gue pikir usia kita nggak begitu jauh beda." Gue nyengir lagi, aduh gawat kenapa gue serba salah begini? Gue lebih suka pedekate sama Al dan Tante Ayu yang jauh lebih welcome sama kehadiran pria tampan musim ini.
"Usia gue tua, Nick." Terdengar sebuah tawa ringan meski singkat. "Ngomong-ngomong apa tujuan lo ke sini?"
"Gue ... mau tahu hubungan kalian bagaimana? Maksud gue, status kalian ... itu ... apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Love #ODOCTheWWG
RomanceSaat seorang wanita bisa menolak gue, di situ aura ketampanan gue serasa lenyap bagai asap. Yaelah, tapi itu nyata. Wanita itu beda, dia malah terlihat ketakutan setiap gue berusaha mendekat. Entah di mana letak salahnya, yang jelas gue penasaran. L...