Di sinilah aku, duduk menatap punggung seorang pria yang sedang sibuk dengan beberapa loyang adonan di depan oven besar. Tubuh menjulangnya terlihat meliuk ke atas bawah, kanan kiri untuk membuka pintu oven, memasukkan adonan, menyetel suhu, dan lain sebagainya. Beberapa laki-laki hilir mudik di sekitarnya dan terkadang mereka membicarakan sesuatu.
"Maaf Mba Diva, Pak Yama menyuruh Mba Diva untuk makan terlebih dulu, nanti beliau akan menemui Mba Diva setengah jam dari sekarang," kata seorang laki-laki berseragam putih dengan celemek dan topi koki yang berwarna sama.
"Oh, oke, saya duduk di depan aja."
Aku mengangguk dan meninggalkan dapur kue milik Yama dan menuju area Indonesian food.
"Ini, satu porsi nasi rendang dan jus jeruk serta air mineral. Silakan dinikmati," kata seorang pelayan berbaju hijau muda itu dengan ramah. Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Setelah beberapa menit kuhabiskan waktu berkutat dengan ponsel, aku mulai menyantap nasi rendang dengan sambal ijo yang sore ini terasa hambar di lidah.
Entah berapa lama waktu yang kuhabiskan untuk coba menikmati makanan favorit itu, tapi sama sekali nggak membuatnya terasa enak seperti biasa. "Kok, nggak semangat gitu makannya?" Sebuah suara lembut menggagetkan yang sepertinya berasal dari pria berkemeja biru di hadapanku.
Aku tergagap dan hanya bisa membuang napas resah. Yama beralih menjajariku dan menarik sebuah kursi dan mengempaskan bokongnya di sana. Menatapku dalam diam yang kutangkap dari sudut mata kiri. Pria itu mengalihkan pandangan ke arah makanan yang masih utuh dan mengambil alih, menyendoknya dan memaksaku membuka mulut.
Dengan sedikit enggan, aku membuka mulut dan menerima suapan lelaki di sebelahku itu.
"Aku kenyang," ujarku pelan saat makanan tersisa setengah, tapi si pria berambut hitam itu memaksa dengan tatapan. Aku yang paham dengan tabiatnya segera menurut.
"Makan sesuai porsi itu harus, nggak peduli seburuk apa pun suasana hati kamu," ujarnya.
Aku hanya mengangguk lalu meneguk air mineral dan menghabiskan setengah botol.
***
Senja di dermaga sedikit menentramkan dan membuat pikiran menjadi jernih, hingga sejenak meringankan beban di hati. Yama memang selalu mengajak ke sini saat suasana hatiku sedang sangat buruk, seperti saat ini. "Ceritakan semua yang perlu kamu ceritakan, dan simpan yang kamu rasa nggak perlu aku tahu."
Aku menceritakan semua, tentang hubunganku dengan Nick, tentang penolakan mamanya, tentang Nick yang ternyata penulis dan nggak pernah bercerita apa pun padaku, dan juga tentang keputusanku membatalkan beberapa pekerjaan yang melibatkan pria itu di dalamnya. Aku menceritakan semuanya, kecuali satu hal yang memang hanya aku dan seorang teman sengaja tutup rapat. "Aku nggak berani berharap banyak," kataku akhirnya. Pria di sampingku seperti menahan sesuatu, lalu meraih jemariku dan menggenggamnya.
"Diva, kalau boleh, aku ... pengen jujur ke kamu," ujarnya masih dengan menggenggam tanganku.
Aku menoleh ke arahnya mencoba mencari tahu, "apa?" Aku menanti kejujuran apa yang ingin dia utarakan, apa sebenarnya dia selama ini keberatan dengan semua keluh kesahku? Atau ada hal lain yang aku nggak tahu?
"Aku sakit dengar kamu disia-siakan seperti itu, padahal sebisa mungkin aku selalu memberikan apa yang kamu mau, semua, semampuku. Aku nggak tahu harus mulai dari mana, tapi ... aku cuma pengen kamu tahu, aku sayang sama kamu. Bukan seperti kakak pada adik, tapi layaknya pria terhadap wanita." Pria itu menatapku lembut, jarak kami begitu dekat hingga kurasakan embusan napasnya yang sedikit tertahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Love #ODOCTheWWG
RomanceSaat seorang wanita bisa menolak gue, di situ aura ketampanan gue serasa lenyap bagai asap. Yaelah, tapi itu nyata. Wanita itu beda, dia malah terlihat ketakutan setiap gue berusaha mendekat. Entah di mana letak salahnya, yang jelas gue penasaran. L...