"...dia memang kuat, tapi singa yang tidak tahu cara bertarung pun kalah dari kucing liar."
"Sejak kapan kau begitu bijak?"
Aku membuka mata. Cahaya terang lampu menghalangi pandanganku. Aku bangkit dan duduk, menatap tempat telapak tanganku seharusnya berada. Bukannya darah, api kemerahan menyala di bagian tanganku yang terpotong, menahan keluarnya darah.
"Nero..."
"Ah, kau sudah sadar.", Prof. Mike menghampiriku.
"Marcus. Apa yang terjadi dengannya?", aku bertanya.
"Parah. Kau benar benar membuat dia kapok. Saat tadi kuperiksa, rusuknya retak retak, satu tangan dan satu kakinya memelintir mengerikan, dan tengkoraknya retak. Sayangnya entah bagaimana dia kabur saat aku memeriksamu.", Nero menjawab. Kelihatannya dia sedikit hormat padaku setelah aku menyelamatkan nyawanya.
Aku menunjuk tanganku, "Dan ini?"
Nero mengangkat bahu, "Begitu kau tak sadarkan diri, tanganmu langsung begitu. Itu bukan kau yang melakukan?"
"Aku yang melakukan?! Aku bahkan tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi."
"Kupikir kau sebaiknya konsultasi. Dia pasti tahu apa yang terjadi padamu.", usul Prof. Mike.
"Konsultasi? Ke siapa?", tanyaku. Kurasa Prof. Mike tidak paham masalahnya di sini.
"Ke gurumu itu. Siapa lagi?"
"Xiao Long?"
"Iya. Dia."
Prof. Mike ada benarnya.
"Aku akan langsung berangkat. Tapi sebelumnya, aku ingin bertanya sesuatu.""Apa?"
"Siapa itu Augustus?"
Reaksi Nero seperti dugaan ku. Dia meninggalkan ruangan. "Aku harus memberi makan gorila ku."
Sebaliknya, reaksi Prof. Mike kebalikan dari dugaanku. Dia tersenyum. "Baru satu jam lalu, temanku menanyakan tentang Augustus. Sekarang kau juga menanyakan pertanyaan yang sama. Bagaimana kalau kau pergi dulu, dan kuceritakan semuanya saat kau kembali."
Mendebat Prof. Mike tidak ada gunanya. Aku melangkah keluar.
Syukurlah tangan ku yang terpotong masih bisa menyemburkan api. Aku segera lepas landas dan berusaha mengingat ingat peta Asia.
***
Untuk pertama kalinya, aku terpikirkan untuk terbang di atas awan. Tapi semua masalah terbang tidak lantas beres, bertambah malah.
Satu, aku sepenuhnya buta arah. Satu kali, aku terlalu lama terbang diatas awan sehingga saat aku mengambil resiko untuk turun ke bawah, cukup dekat untuk melihat ada apa di bawah, aku melihat gerombolan kangguru melompat lompat.
Dua, terkutuklah musim migrasi unggas. Aku bahkan tidak sanggup menghitung berapa jenis burung yang sudah kutabrak dan berapa yang mati terbakar saat menabrak ku. Beberapa kelihatannya burung langka.
Tiga, ketinggian. Apa aku pernah cerita saat aku pingsan ketika naik paralayang? Dan di ketinggian ini sungguh sulit untuk bernafas. Apalagi tubuhku diselimuti api.
Empat, ternyata ini tidak berguna. Begitu aku lewat, awan yang kulewati lantas terbuyar dan membelah, membentuk sebuah garis panjang. Memang aku sangat cepat, sehingga aku sudah pergi jauh saat melewati sebuah awan, tapi tidakkah orang orang di bawah sana mempertanyakan bagaimana sebuah awan terbelah dan membentuk sebuah jalur melintasi Asia.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Warrior
FantasiDax, anak SMP biasa terpaksa mengalami petualangan penuh pertarungan melawan sang Ninja Bayangan. Elemen api dia kuasai pertama kali, namun mampukah dia selamat dari musuh musuh yang selalu mengintai?