Bab 26

21 1 0
                                    

"Sembunyikan aku! Tutupi aku! Alihkan perhatian nya!", Nero berbisik panik, masuk ke bawah meja. Sumpah, kalau tidak ada superhuman pengancam nyawa di depanku, akan aku foto Nero sekarang. "Nero Vinter yang sok cool bersembunyi di bawah meja!", dengan foto Nero menjerit jerit. Itu pasti terlihat bagus di sampul koran. Lebih bagus lagi di televisi.

Lagi pula itu sudah terlambat. Sejak aku melihatnya tadi, dia sudah berjalan ke arah kami. Dia melongok ke bawah meja. "Halo, Nero. Apa yang kau lakukan di bawah sana?", ucapnya dengan tersenyum ramah. Tidak ada yang menduga dia ilmuwan buronan dengan senyum itu.

"Oh, halo, Tuan Grey. Aku sedang mengambil...eh...ini, sendok.", Nero menjulurkan garpu yang dia pegang. Dia keluar dari meja dan menduduki kursinya kembali.

"Kebetulan sekali kita bertemu di sini, Tuan Grey.", Nero kembali memasang wajah seriusnya.

Pria itu tersenyum. "Tidak usah berpura pura. Aku tahu kau sedang mencari aku. Dan aku juga mencari... Sebenarnya aku mencari paman mu. Aku menempelkan pelacak di ring-blade milik ayahmu, dan si tua itu selalu membawa nya kemana mana. 'Itu salahku dia meninggal. Bla bla bla...'. Dasar sinting. Aku melacaknya dan malah menemukanmu, seolah olah kau... Jangan bilang kau mewarisi kekuatan ayahmu!", ekspresi nya berubah jadi lebih tertarik.

Nero menggangguk.

"Luar biasa. Aku kira dengan kematian Augustus Vinter, tidak ada lagi The Neon... Kau melanjutkan pekerjaannya kan?"

"Terkadang."

Aku langsung merasa jadi orang luar di percakapan ini. Ayah Nero? Ring blade itu milik siapa? Nero mewarisi apa? Agustus Vinter? Dan apa itu The Neon?

"Eh, halo! Boleh ak..."

Marcus menyela, "Yah, aku tidak akan basa basi. Langsung saja. Serahkan sem..."

"Tidak."

Senyum cerah Marcus Grey, langsung hilang. "Ahahah, maaf, apa?".

"Aku tahu apa yang kau inginkan, dan aku mewakili paman ku, mengatakan tidak."

Marcus menganga beberapa saat, terkejut dengan jawaban Nero. Kemudian dia tertawa, "Mengejutkan! Jadi begini kau setelah ayahmu meninggal. Aku kagum.". Dalam satu gerakan cepat, Marcus melempar sesuatu. Dua benda bulat kecil menempel di dua dinding di depan pintu masuk.

"Dalam beberapa detik, akan ada yang melewati pintu itu, dan tubuhnya akan...", dia menoleh dan menekan sesuatu di gelangnya. Benda kecil itu memancarkan cahaya merah redup. "...Ow, tubuhnya akan terbelah tepat tengah. Sial sekali yang akan melewati pintu itu. Padahal, aku yakin tadi aku membawa yang mengeluarkan listrik."

Nero menggebrak meja. "Kau gila." ucapku.

Marcus menoleh kepadaku pertama kalinya. Dia terkekeh. "Nak, kalau kau mengenalku, itu tadi hal ternormal yang kulakukan."

Tapi aku tidak sempat mendengar beberapa kata terakhirnya. Seorang pria hendak memasuki pintu masuk.

Aku berlari, meremas pin Api. Api kemerahan menyelimuti tubuhku. Tapi tidak sempat. Pria itu tinggal selangkah menuju kematian. Aku menutup mata, pemandangan tubuh terbelah jadi dua tidak terbiasa bagi mataku. Tapi entah kenapa tanganku malah maju.

Bukannya mendengar suara tubuh terpotong, darah mengucur dan usus menggelepar, tapi malah suara desing besi. Dan sejak kapan aku memegang sesuatu di tangan ku.

Aku memeberanikan diri membuka mata. Laser yang memancar tidak mengenai siapa pun. Salah satu laser dihalangi jubahku, yang entah bagaimana lepas dari tubuhku. Dan laser satunya, dihalangi golok tempur. Golok sungguhan, golok besar berwarna merah. Bilahnya penuh ukiran naga dan tulisan tulisan Tiongkok. Gagangnya yang berbalut kain terasa pas di tanganku, seolah aku sudah memegang nya bertahun tahun. Dan beratnya, tidak mungkin kurang dari 20 kg. Bahkan dengan tubuh ini, aku membutuhkan dua tangan untuk mengangkatnya. Otot tanganku menegang, menahan berat golok.

Pria tadi berjalan melewatiku sambil masih memandangi ponselnya. "Sama sama.", ucapku pelan.

Kebalikan dari pria kurang ajar itu, semua pengunjung restoran berlari panik meninggalkan tempat duduk mereka. Aku mengalihkan pandanganku ke tempat Nero dan Marcus duduk. Pertengkaran sudah dimulai. Aku segera menghancurkan pemancar laser itu dengan golok dan menghancurkan satunya dengan pukulan. Aku berlari ke Nero, ke arah pertarungan.

***

Marcus menahan Nero ke dinding. Tanganku membara. Sekuat tenaga kuhantamkan tinjuku ke ginjal Marcus. Tubuh menabrak dinding, meninggalkan lubang di dinding. 


Nero bangkit. Dia menggesek dua gelang nya. Kostum merambat dari gelang, menutupi tubuhnya.

"Untuk apa kau memakai kostum? Dia sudah jatuh."

"Paman tidak tahu kekuatan apa yang dimiliki para subjek, tapi satu yang pasti, mereka semua punya..."

"Regenerasi.", Ucap Marcus, yang mendatangi kami, sehat sepenuhnya. "Tapi paman mu yang egois memutuskan untuk menyimpan teknologi itu dari milyaran manusia sakit dan sekarat. Menambah kebencianku padanya."

"Sialan."

"Jadi, mari kita mulai pertarungannya.", dia mengeluarkan dua pedang hitam. Gelombang listrik mengaliri pedang itu.
Marcus menerjang.
Begitu juga kami.

Golok beradu dengan pedang.
Cakram berada dengan pedang.

Marcus menahan golok ku dengan pedangnya. Dia memutar pedang dan menghunus. Aku menangkis nya dengan pelindung tanganku. Aku kembali menyerang. Seranganku kali ini tepat, tapi perisai hologram muncul di lengan Marcus, menahan golok ku. Perisai nya entah bagaimana mengikat golok ku dan Marcus menariknya ke Nero, tepat ke perutnya.

"NERO, AWAS!!!". Aku mengulurkan tangan, dan seketika aku menyesalinya. Yang aku tahu setelah itu, telapak tanganku jatuh, dan lenganku mengucur kan darah. Deras. Tapi aku tidak sempat memikirkan itu. Kuhantamkan puluhan pukulan membara ke tubuh Marcus. Efeknya lumayan. Marcus menembus tembok, dan tembok gedung sebelah, dan satu tembok lagi, satu tembok dan berhenti.

Aku berusaha tersenyum, tapi penglihatanku mulai mengabur. Aku mengeluarkan darah banyak. Nero mengatakan sesuatu, tapi aku tidak bisa mendengarnya.

Hal terakhir yang kupikirkan, adalah nasib burgerku yang masih sisa setengah.

***

The WarriorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang