pendaki tanpa kaki

31 2 0
                                    

'rumah'... Hhah...
Kuharap kau masih ingat bagaiamana tanganku yang gemetar mengukir pondasi-pondasi, atap, mengukur lebarnya tempat yang kita tinggali nanti, melukiskan petak kamar bayi. Hahh...
Dekorasi lampu-lapu kecil menjadi handalan untukku. Kau tersenyum dibuatnya ketika itu.
Lucu juga...
Selayak darah di nadi aku mencintai, tapi kau tetap tak peduli.
Mendaki. Menaklukan lembah-lembah untuk melupakanmu. Namun sejauh apapun aku pergi, namamu masih tersemat walau kadang mengingatnya membuatku sakit hati.
Jemarimu yang belum sempat kusentuh, sebentar lagi akan menghidangkan kopi di meja, lengkap dengan sepotong roti dan kecupan di pipi untuknya.
Kau pasti berbahagia. Sementara, lukaku terus menganga sebab kau sapa dengan lambaian tangan yang begitu tega. Meremukkan dada. Menikam aorta. Menjajarkan derita. Semua itu untuk kunikmati. Ah... Kunikmati sampai mati.
Tidak!
Aku juga harus berbahagia. Tapi apa masih pantas di sebut berbahagia di tengah-tengah luka?
Kuharap, kuharap kau mampu menjawabnya, sehingga aku berhenti berdoa untuk 'kita'.

•Sekerat Sketsa•
*Karlha*

Sekerat SketsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang