Aku bukan memberatkanmu. Juga air mata ini, bukan menetes dengan maksud menangisimu.
Terimakasih, terimakasih untuk masih berkabar dalam perjalananmu yang panjang. Hanya saja, kamu sudah terlanjur tahu etikaku menyikapi kehilangan.
Aku juga ingin membuang duniaku, dulu... Ketika aku tak teryakinkan untuk bertahan. Kemuadian kau datang. Lihatlah lemari kaca itu, di dalamnya ada bunga yang dulu pernah kau bawa. Masih mekar. Ah... Begitu suka aku memandangnya sebelum tidur.
Maafkan aku. Ini semua hanya tentang waktu yang mengantarkanku pada kata biasa, biasa tanpamu, Pujiku.
Belajar. Ya... Aku harus belajar lebih banyak untuk meredam ego yang ingin selalu memiliki waktumu: kusakiti diri sendiri. Melukai kamu yang aku cintai.
Tidak sadar, kan?
Tanganmu yang bersedia memungut hatiku yang pernah dicampakkan, kini telah seutuhnya kau buat percaya bahwa hati ini masih berharga.
Namun itulah kurangnya: hati ini terlalu menuntut banyak, hingga tersebab tercampakkan juga karena tuntutan yang tak seharusnya ada pada kebanyakan hati yang normal.
Entah mengapa aku tidak bisa merubahnya. Tidak bosan meski kamu sering mempertentangkannya.
Tapi untuk lelahmu yang kucoba mengerti, berhentilah memahamiku. Aku takut, takut kamu yang kujadikan tujuan malah beranjak pergi untuk selamanya dan meninggalkan aku tanpa pelukan.
Ini... Untukmu, Pujiku. Aku rela melawan sesak di tengah harapku untuk kau tidak berubah.
Tidurlah... Ini sudah malam.
Selamat tidur.•Pujiku•
*Karlha*