1. Hanya...

67.7K 5K 91
                                    

-Menyakiti seseorang yang paling menyakitkan bukan dengan makian, cukup dengan mendiami-

Ketika sosokmu tidak dilihat, ketika suaramu tak didengar itu sungguh menyakitkan, apalagi yang melakukannya suamimu sendiri -Kirana-

Embusan angin yang tak tenang menyelinap melalui kisi-kisi jendela, membuyarkan lamunan Kirana. Ia menghela napas sejenak, lalu menengok ke arah jam dinding. Tidak terasa waktu berlalu dengan cepatnya hanya untuk mengingat pertemuannya kembali setelah sekian tahun tidak berjumpa dengan Satya.

Kirana menunduk, tangannya membelai bingkai foto pernikahannya. Dipandanginya dengan saksama raut wajah Satya yang tengah tersenyum manis. Namun, senyum itu hanya tipuan. Faktanya, Satya tidak pernah tersenyum seperti itu lagi setelah menikah dengan Kirana. Ia begitu dingin, terkadang hanya kata iya atau tidak yang keluar saat bicara dengan istrinya. Acapkali, Kirana yang memulai pembicaraan, Satya jarang sekali mengajak istrinya mengobrol terlebih dahulu kalau tidak penting sekali.

"Satya, kamu di mana. Sudah dua bulan tidak ada kabar?" tanya Kirana yang jelas tidak akan mendapatkan jawaban.

Kirana memegang dadanya yang terasa sesak, setiap mengingat perlakuan Satya setelah menikah. Semuanya di luar bayangannya, ia dulu mengira begitu menikah, Satya akan terus mengomelinya atau mengingatkannya ke masa lalu akan kesalahan dan dosanya. Nyatanya, Satya memilih diam tak memedulikannya, bahkan sering menghindar. Jauh lebih menyakitkan dari perkataannya dahulu sebelum menikah.

"Satya, maafkan aku. Tapi, kenapa kamu harus membalasnya dengan cara seperti ini?"

"Kirana," panggil Santika--Ibu Kirana--perempuan baya itu tersenyum memandangi putrinya.

Kirana mengubah raut wajahnya sesantai mungkin.

"Bunda," Kirana langsung memeluk ibunya begitu duduk di sebelahnya. Lalu, Santika mengusap lembut punggung putrinya.

"Kamu merindukan Satya, ya?"

"Iya. Kirana merindukan Satya."

"Kamu pasti kesepian, ya karena Satya sering pergi ke luar kota, bahkan luar negeri?" Santika mengerti perasaan putrinya, yang sering ditinggal pergi dan merasa kesepian. Ini bukan kali pertama Kirana pulang ke rumah orang tuanya selama hampir satu tahun ini setelah menikah.

Kirana selalu berbohong kepada orang tuanya, kalau Satya sedang sibuk bekerja di luar kota atau luar negeri, faktanya ia tidak tahu di mana suaminya. Lelaki itu jarang pulang ke rumah dan pergi tanpa pamitan. Kirana juga tidak mudah menghubungi Satya, lelaki itu sering mengabaikan panggilan atau pesan darinya.

"Kalau begitu besok-besok ikut saja dengan Satya."

"Mana mungkin Satya mau mengajak Kirana, Bunda," ceplos Kirana dengan nada sendu.

"Dicoba dulu pelan-pelan. Kalau dia tidak mau pasti ada alasannya," Santika menepuk tangan putrinya pelan, "kalau kamu enggak rewel, pasti Satya mau."

Kirana hanya diam.

"Bunda, senang kamu akhirnya menikah dengan Satya. Dulu, Bunda dan ayahmu selalu cemas. Kami selalu memikirkan, apakah ada lelaki yang akan sabar menghadapi perilakumu yang manja dan kekanak-kanakan itu?"

"Bunda itu dulu. Aku sudah tidak manja lagi."

"Bunda kan bilang dulu. Waktu kamu berpacaran dengan Satya, kami senang sekali karena kamu tidak salah pilih. Dia sangat sabar denganmu. Anaknya baik, santun, ramah, murah senyum, cerdas pula. Beda sekali dengan yang namanya, Dewa. Dia bisanya cuma ngajak kamu party enggak jelas."

Kirana yang mendengar nama Dewa disebut menjadi kesal seketika. Bayang-bayang Dewa yang mengatakan lebih memilih wanita lain daripada dirinya terngiang-ngiang.

"Iya, Kirana menyesal punya mantan seperti Dewa," Kirana memutar bola matanya jengah.

Menyesal pula memutuskan Satya dan kini dia membenciku, Bunda.

"Untungnya Satya masih mau menerimamu kembali, setelah kamu menyakitinya. Jadi, jangan kecewakan dia lagi."

Andai Bunda tahu, kekecewaan Satya padaku masih besar sampai saat ini. Tanpa aku mengecewakannya kembali, dia sudah sangat membenciku.

"Ya, sudah, kamu temui Satya saja sana. Dia sudah menunggumu dari tadi."

"Satya di sini, Bunda? Ngapain?"
"Satya ingin menjemputmu, masa mau menjemput Moci. Sana temui Satya di ruang keluarga, dia sedang main catur dengan ayahmu."

Kirana mengangguk, lalu segera turun ke bawah menuju ruang keluarga. Di sana, ia dapati ayahnya tengah mengobrol dengan santainya bersama Satya. Sepertinya, sesi bermain catur telah usai.

"Satya," panggil Kirana dengan nada lembut. Sontak Satya yang tengah tersenyum, lalu menengok ke arah Kirana.

"Iya."

"Kamu kenapa cuma berdiri di situ? Duduk di samping suamimu," kata Wisnu, Ayah Kirana.

"Iya, Ayah," Kirana langsung duduk di samping Satya.

"Emh, Ayah tinggal dulu sebentar mau kasih makan Muci."

Satya hanya mengangguk.

"Ikan arwanaku, namanya Moci, bukan Muci," protes Kirana tidak suka nama ikannya diganti.

"Ya, maksud Ayah, Moci," Wisnu tersenyum, kemudian berlalu.

Hening seketika, raut wajah Satya yang tadinya terlihat bersahabat berubah seketika menjadi datar. Tidak ada lagi senyuman di bibirnya.

"Satya," Kirana memberanikan diri memanggil suaminya. Satya hanya berdeham.

"Dua bulan ini, kamu ke mana saja?"

"Kerja," Satya menjawabnya dengan santai tanpa menatap Kirana.

"Aku tahu, maksudku kerja ke mana?"

"Di kantorlah, di mana lagi?"

"Kenapa tidak pulang?"

Satya menoleh, "Itu hakku, mau pulang atau tidak."

"Aku kan mencemaskanmu."

"Terima kasih, lebih baik kamu tidak usah mencemaskanku. Cemaskan saja dirimu."

Tbc..

Aku Bukan Simpanan (Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang