17. Kenapa Lagi

39.4K 3.9K 147
                                    

Kirana memegang kepalanya yang berdenyut-denyut, matanya pun sudah terasa berat, tetapi tak kunjung matanya terpejam. Rasa sakit yang mendera tubuhnya semakin menjadi, tetapi ia tetap kekeh untuk tetap menunggu di ruang inap ayahnya. Sementara, sang ibu merasa semakin cemas melihat sang putri yang begitu pucat.

Suara pintu dibuka mengalihkan pandangan Santika, ia menoleh ke arah sosok yang baru saja memasuki ruangan. Dirinya tersenyum lembut menyambut sang menantu. Ia langsung berjalan mendekat ke arah Satya.

"Satya, untungnya kamu sudah datang. Kalau gitu, langsung ajak Kirana pulang, ya," pinta Santika dengan raut wajah lesu. Satya
langsung mengangguk, ia langsung menoleh ke arah Kirana yang tengah duduk menyandar seraya memegangi kepalanya.

"Iya, Bun," kata Satya sekenanya, lalu berjalan ke arah Kirana.

Satya memandang Kirana dengan raut wajah datar, meski ia cemas melihat Kirana yang begitu pucat tetapi ekspresinya dibuat sebiasa mungkin. Tangannya tergerak untuk mengecek suhu badan Kirana, ia tempelkan punggung telapak tangannya di dahi Kirana yang memang lumayan panas. Entah kenapa, jantungnya menjadi berdetak tak keruan. Tidak seperti biasanya, ada rasa yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Kenapa hatinya terasa sakit melihat Kirana yang begitu lemah.

"Ayo, pulang," ajak Satya dengan nada lembut seraya mengenggam tangan Kirana. Sementara, Kirana langsung menggelengkan kepalanya.

"Aku tidak mau," kekeh Kirana dengan nada sekenanya karena kepalanya begitu sakit.

"Kamu pucat sekali, harus banyak istirahat. Makanya, ayo pulang," bujuk Satya seraya Mengusap-usap surai Kirana lembut.

"Pulang ke mana," refleks kata-kata itu terlontar begitu saja.

"Ke rumah kita, ke mana lagi coba? Ayo, kita pulang sekarang. Kamu perlu banyak istirahat."

Kirana ingin menjawab kalau itu bukan rumahnya, karena dirinya bukan istri Satya lagi sejak Satya mengatakan mereka telah berakhir. Namun, dirinya terlalu malas untuk berdebat. Belum lagi, ia tidak mau menambah beban pikiran ibunya jika mengetahui hubungannya dengan Satya telah berahkir.

"Kok diam?" Satya menatap Kirana saksama, "mau aku gendong atau mau aku pinjamkan kursi roda?"

Kirana langsung menggeleng, "Tidak usah, aku masih bisa berjalan."

Kirana bangkit dari tempat duduknya, ia berjalan perlahan-lahan. Matanya mulai berkunang-kunang.

Satya yang melihat kondisi Kirana seperti itu langsung menggendongnya, "Aku gendong saja. Aku takut kamu kenapa-kenapa."

Kirana hanya mengangguk karena tubuhnya sudah begitu lemas. Ia tidak punya banyak waktu untuk berdebat atau ribut dengan Satya. Rasanya ingin sekali memejamkan matanya sekarang melepas penat yang ada.

"Bunda, kami pamit dulu, ya," pamit Satya kepada Santika. Ibu Kirana itu langsung tersenyum seraya mengangguk.

***
Kirana langsung memejamkan matanya begitu terbaring di ranjang, ia ingin segera terlelap agar rasa sakit yang menderanya tidak terasa. Namun, tetap saja hasilnya nihil. Bulir-bulir air mata mulai mengalir dari netranya. Ia ingin sekali menjerit melampiaskan rasa sakitnya.

"Ki, makan dulu, ya. Kata bundamu, kamu belum makan," bujuk Satya seraya meletakkan semangkuk sup yang ia bawa tadi di atas nakas.

"Aku tidak lapar, kamu saja yang makan," tolak Kirana seraya memegangi kepalanya.

"Ki, makan dulu. Bagaimanapun kamu harus makan, ya. Beberapa sendok saja."

"Tidak, aku tidak mau. Lagipula, kamu seharusnya tidak usah mencemaskanku lagi. Aku ini bukan siapa-siapamu, Satya."

"Maafkan aku, andai saja aku bisa menekan emosiku kata laknat itu tidak akan terucap dari bibirku. Sampai sekarang, bagiku, kamu tetap istriku. Kamu satu-satunya wanita yang pantas menyandang status Nyonya Satya Pradipta. Ki, kembalilah padaku. Aku tidak bisa hidup tanpamu."

"Cukup membualnya, percuma kamu berkata manis, bagiku semuanya dusta. Aku lelah Satya, kepalaku sakit. Aku ingin tidur sekarang dan tolong jangan berisik," lirih Kirana dengan tatapan memohon.

"Baiklah, tapi kamu makan dulu. Sedikit saja, meski terasa pahit di tenggorokan, telan saja."

"Iya, aku mau. Tapi, ada syaratnya."

Satya mengernyit.

"Tolong rahasiakan masalah kita dari orang tuaku. Jangan kamu ungkit-ungkit masalah perceraian. Aku tidak mau menambah beban pikiran mereka," Kirana menatap Satya lembut, "masalah perceraian kita urus nanti, kalau ayahku sudah membaik dan waktunya sudah tepat. Sabar ya, Satya. Nanti, kamu pasti akan menemukam kebahagiaanmu setelah berpisah denganku."

"Justru aku akan tersiksa kalau berpisah denganmu. Baru beberapa hari tidak melihatmu, terasa menyakitkan. Apalagi, kamu tidak mau menerima panggilan teleponku. Maafkan aku sekali lagi, karena tidak pernah memperlakukanmu dengan baik selama menjadi suamimu. Tapi, mulai sekarang aku janji akan selalu membahagiakanmu."

"Terserahlah apa maumu, Satya."

"Ki, aku tidak akan memaksamu untuk tetap di sisiku. Tapi, sebelum kita benar-benar berpisah, kumohon beri aku kesempatan menjadi suami yang baik untukmu. Aku ingin kamu bahagia bersamaku, setidaknya kamu tidak membawa luka saat berpisah denganku."

Kirana hanya diam, tak memedulikan Satya, kepalanya semakin sakit. Ia benar-benar lelah tapi Satya malah terus membahas masalah hubungan mereka yang tidak ingin ia pikirkan sekarang.

"Ya, sudah. Kamu makan dulu, ya," Satya langsung menyendok supnya, ia langsung menyuapi Kirana. Dalam hati ia berharap Kirana cepat sembuh dari sakitnya, karena ia ingin mengajak Kirana jalan-jalan untuk membuatnya bahagia. Ia benar-benar merasa bersalah kepada Kirana dan ingin menebus semua kesalahannya. Apalagi, setelah ia tahu kalau kebahagiaan Kirana bersama Dewa dulu hanyalah kesemuan. Dirinya merasa benar-benar bersalah kepada Kirana Karena Sudan membuat hidup Kirana semakin menderita.

Tbc..

Yang mau beli e book bisa langsung ke google play book. Yang mau beli pdf atau  novel, wa 087825497438. Terima kasih

Aku Bukan Simpanan (Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang