6. Kata Mereka

38.9K 3.6K 82
                                    

Udah up lagi, ya. Jadi double up hari ini.









"Tidak usah dimengerti, ini rumit. Intinya jika aku bersamanya akan ada banyak orang yang terluka, jika dia bersamaku pasti akan tertekan oleh keadaan. Dan, aku menikahimu karena apa, ya," Satya pura-pura berpikir. Padahal, ia memiliki banyak jawaban. Namun, alasannya pasti akan menyakiti Kirana semakin dalam, jadi ia malas mengatakan keujujuran itu yang akan menambah masalah dan mempersulit keadaan.

Kirana menatap wajah Satya kesal, ia merasa benar-benar dipermainkan oleh lelaki itu. Ingin sekali, ia kembali ke masa lalu dan tidak terjebak ke tipu daya Satya, yang begitu manis. Dipikirnya Satya telah memaafkannya dan mau menjalin hubungan dari awal lagi. Kirana yang patah hati dari Dewa, merasa menemukan seseorang yang tepat untuk menyembuhkan lukanya sehingga ia mau mencoba menjalani hubungan yang serius bersama Satya, hingga lelaki itu melamarnya. Nyatanya, Satya malah membuatnya semakin terluka setelah menikah.

"Aku tidak mengerti dirimu yang sekarang, Sat. Kamu sangat berbanding jauh dari dirimu yang dulu. Mana Satya yang baik, penyayang, bijaksana, dewasa, bukan menyebalkan dan kekanak-kanakan seperti ini. Kamu sungguh asing untukku."

"Semua orang pasti berubah. Lagi pula, aku menyebalkan di hadapanmu saja agar kamu tidak seenaknya sendiri padaku," Satya menatap Kirana dengan lekat.

"Iya, kamu pintar berdrama di depan semua orang. Terutama di depan ayah dan ibuku. Kamu berdrama seolah-olah sangat mencintaiku. Hebat ya, kamu Sat? Belajar di mana, aku mau ikut berdrama menjadi wanita sadis yang dengan santainya bisa mencekik leher suaminya."

"Sinting! Aku kan belajar darimu, pura-pura amnesia."

Kirana terkekeh, "Aku memang gila, ini juga karenamu. Beberapa kali, aku berpikir untuk meracunimu biar sekarat sekalian," Kirana menatap Satya dengan tatapan frustrasi, "tidak usah menghinaku, kamu juga tidak waras. Orang yang normal tidak akan mengorbankan masa depannya untuk menikahi wanita yang dibencinya. Itu membuang-buang waktu."

Satya memutar bola matanya, "Jawabannya karena aku ingin menikah, kamu puas? Lalu, kenapa memilihmu? Karena aku sudah mengenalmu lama, kupikir semuanya mudah. Tapi, ternyata sulit. Melihatmu saja sering mengingatkanku akan pengkhianatanmu. Sampai akhirnya kusadari wanita sepertimu tidak akan pernah berubah. Kamu ..." Satya mengantungkan ucapannya. Ia malas mengingat apa yang dilihatnya sebelum mengucapkan janji suci dengan Kirana.

"Apa?"

"Lupakan saja."

"Halah paling kamu cuma cari alasan."

"Alasan apa? Dewa itu suami orang, kenapa kamu masih bisa-bisanya berciuman dengannya sebelum kita mengucap janji suci. Belum apa-apa saja kamu sudah melakukan pengkhianatan," Satya akhirnya mengungkapkan kenyataan pahit yang dilihatnya. Waktu itu di hari pernikahannya, ia ragu untuk melanjutkan pernikahannya. Saat mengucapkan nama Kirana bibirnya bergetar karena bayangan Dewa yang mencium Kirana terasa nyata di hadapannya.

Kirana menggeleng, "Kami tidak berciuman. Dia yang mengecup bibirku. Itu cuma kecupan singkat. Aku tidak mungkin mengkhianatimu untuk kedua kalinya. Kamu pikir aku bodoh apa, sudah dicampakkan Dewa, tapi masih mengejarnya."

"Lalu, kamu pikir aku bodoh, tidak tahu kalau sebelum menikah denganku, kamu masih menemui Dewa?"

Tangan Kirana bergetar. Ia mengingat kalau dirinya yang dicampakkan oleh Dewa, masih sudi menemui pria itu dulu untuk membalaskan sakitnya. Dirinya menemui Dewa hendak memukul lelaki itu meluapkan semua emosi, tapi nyatanya pertemuannya dengan Dewa malah membuatnya rapuh, hingga air matanya tumpah.

"Aku pernah bertemu sekali dengannya karena dia yang memaksa meminta bertemu."

"Dia menciummu, kamu diam. Dia mengajakmu bertemu, kamu menemuinya. Hebat sekali, ya pesona Dewa."

"Bukan begitu. Dewa menemuiku untuk meminta maaf dan janji tidak mengangguku lagi. Lalu, yang kecupan itu kan Dewa yang melakukannya, bukan aku. Jangan salahkan aku."

"Tapi, kamu tidak menamparnya atau berteriak kalau dia melakukan pelecahan, atau melaporkannya ke polisi, kan? Kalau kamu tidak menyukainya, itu namanya pelecehan. Mungkin sebenarnya kamu tidak tahu arti pelecehan, atau malah kamu menganggap itu ciuman sepasang kekasih?"

Kirana menggeleng, ia menatap lembut Satya, "Tidak, Sat. Semuanya terjadi begitu saja, dia mengkecup bibirku lalu pergi. Itu terjadi begitu cepat, aku kan diam karena kaget."

"Setelah sadar, kenapa kamu tidak melaporkannya ke polisi atas tuduhan pelecehan atau kamu bicara dengan keras dengan toa, biar semua orang tahu seorang Dewangga Lokapala melecehkan mempelai wanita dari Satya Pradipta."

"Kamu pikir aku gila, hanya masalah kecupan aku melaporkannya ke polisi atau mengumumkannya pakai toa."

"Kirana, kamu menciumku saja menjadi masalah besar. Tidak adil, kan, padahal kamu yang menciumku."

Kirana mengigit bibir bawahnya dan meremas bajunya untuk mengurangi rasa gusarnya. Keringat dingin mulai mengucur dari pelipisnya. Jantungnya berdetak menjadi tak keruan.

"Seingatku, kamu ini korban pelecehan, pastinya memiliki trauma? Bisa-bisanya ada pria yang mengecupnya sembarang, kamu membiarkannya," Satya mencibir.

Kirana memegang pergelangan tangan suaminya, "Cukup, Sat."

"Apa? Kamu takut mengingat kalau kamu mau diperkosa malam itu."

Kirana merasakan dadanya terasa sesak, ia masih mengingat bayangan pria yang tidak jelas itu, menarik rambutnya kasar, memukul pipinya, merobek pakaiannya sehingga menampakkan sebagian tubuhnya. Beruntungnya, Satya menemukannya dan langsung menghajar pria itu.

"Satya, tolong jangan diteruskan lagi," Kirana menatap nanar Satya.

"Maaf, aku lupa. Kamu punya trauma, sampai beberapa hari tidak keluar kamar. Begitu keluar kamu menemuiku, menyalahkanku kalau kamu hampir diperkosa, dan mengancamku mengatakan kebenaran yang sesungguhnya."

Kirana memejamkan matanya, berharap bisa mengenyahkan ingatan masa lalunya dan berharap ia tuli sekarang.

"Cukup, kamu sering mengingatkanku  akan hal itu dan kini kamu memperjelasnya. Kamu senang sekali membuatku takut."

"Takut karena kamu hampir diperkosa atau takut akan kebohonganmu?"

"Dua-duanya, aku tidak ingin mengingatnya. Selama bertahun-tahun aku selalu mimpi buruk Satya, kamu sering hadir di mimpiku dengan tatapan kecewa. Kamu pikir aku tenang. Aku tidak bermaksud melakukaimu dulu."

Tbc...

Udah ada bayangan lagi?

Besok kalau enggak up jangan kecewa. Eike ngerodi sampai malam😂😂😂 Cutinya udah selesai 😊😊

Aku Bukan Simpanan (Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang