15. Ternyata Dia

43.1K 4.1K 95
                                    

Kirana merenung di kamarnya, ia telah pulang kembali ke rumah orang tuanya sejak dua hari yang lalu, tanpa membawa semua pakaiannya karena dirinya belum siap bicara kepada kedua orang tuanya. Ia tidak tahu harus berkata apa, Kirana takut kalau menambah beban pikiran ayahnya yang ternyata baru saja keluar dari rumah sakit, tanpa ia ketahui sebelumnya.

Kirana memeluk bantalnya dengan menopangkan kepalanya pada bantal itu. Ia mengingat-ingat semua kenangannya bersama Satya. Dalam hati kecilnya, ia berharap bisa mengulang waktunya bersama Satya kembali seperti dulu, yang jelas dirinya tahu itu tidak mungkin.

"Kirana," panggil Santika pada putrinya yang tengah merenung itu.

"Iya, Ma," Kirana mengalihkan pandangannya ke arah ibunya.

"Kamu mau pulang kapan?" Santika menepuk tangan putrinya begitu duduk di ranjang.

Kirana terdiam, ia binggung hendak menjawab apa. Sudah sering sekali, dirinya berbohong mengenai Satya, sampai ia bingung harus berbohong apalagi. Dirinya takut salah mengucap.

"Kenapa diam? Kamu ada masalah dengan Satya?" Santika menatap putrinya dengan saksama, sementara yang ditatap langsung tersenyum sesantai mungkin.

"Enggak kok, Ma. Kirana sama Satya baik-baik saja, kok."

"Syukurlah kalau begitu. Ki, Mama selalu mendoakan kalian agar selalu bahagia," Santika tersenyum dengan tatapan lembut. Kirana yang melihat raut wajah bahagia ibunya hendak menangis. Ia yakin ibunya pasti bersedih kalau tahu yang sebenarnya.

"Terima kasih, Ma," Kirana memeluk ibunya dengan mata berkaca-kaca.

"Sayang, ayahmu sekarang sering sakit-sakitan, sudah masanya pensiun, ayahmu berharap kamu bisa meneruskan usaha ayahmu."

Kirana melepaskan pelukan ibunya dengan tatapan lesu, "Mama, tapi Kirana kan tidak mengerti masalah perusahaan."

"Makanya, kamu harus belajar dari sekarang. Minta diajari Satya atau lebih baik usaha kita diurus Satya sekalian," Santika berkata dengan mantap.

Kirana hanya menunduk lesu, "Ma, aset Satya saja udah banyak, mana mungkin bisa ngurusin usaha kita juga. Malah ngerepotin Satya nanti," tolak Kirana dengan raut wajah datar.

"Ya, itu perusahaan ayah kamu kan buat kamu nantinya, kalau kamu enggak bisa ngurus, mending dikelola suami kamu."

Kirana hendak menjawab, tapi suara ketukan pintu membuatnya terdiam. Pelayan di rumahnya yang berambut ikal itulah yang mengetuk pintu kamarnya.

"Iya, Mbak," sahut Santika pada pelayan di rumahnya.

"Maaf, Nyonya. Tuan--"

"Suami saya kenapa?" Santika langsung berdiri berjalan keluar, perempuan itu sangat cemas dengan kondisi suaminya. Sementara Kirana bertamabah gelisah, ia langsung mengikuti ibunya.

***

Satya memandang Dewa begitu santai, sementara pria di hadapannya itu terus menatap Satya kesal. Suasana di antara mereka semakin memanas. Dari dulu, selalu begitu. Ada banyak hal yang diperdebatkan atau direbutkan.

"Aku sudah bilang, jangan dekati istriku lagi," Dewa menekankan pada kata terakhirnya.

Satya terkekeh, ia menatap iba Dewa, "Menganggu istrimu?" Satya menggelengkan kepalanya, "bukannya istrimu yang mengangguku. Aku tidak pernah mendekatinya, ya."

"Nayla--"

"Seharusnya kau menasihati istrimu, jangan memanjakannya terus. Aneh, kau malah marah-marah padaku."

"Satya, kalau dia terus mendekatimu, kau kan bisa menjauh darinya. Kenapa masih menanggapi Nayla. Kau masih mencintainya, kan?" tekan Dewa tidak terima.

Satya tersenyum masam, "Sudah tidak lagi. Untuk apa aku mencintai istrimu membuang waktuku saja. Maaf, aku bukan perebut sepertimu, kalau aku bertemu dengannya hanya urusan bisnis."

Dewa terdiam sejenak karena perkataan Satya barusan. Ia ingin mengelak, tapi faktanya memang begitu. Kirana dulu kekasih Satya, Nayla juga.

"Aku sudah melepaskan Nayla untukmu, tinggal kau sendiri yang berusaha mendapatkan hatinya. Aku sangat berterima kasih padamu karena menikahi Nayla," Satya lagi-lagi tersenyum.

Dewa mengernyit, ia tidak mengerti dengan perkataan Satya yang membingungkan. Setahunya, Satya begitu mencintai Nayla. Begitupun dengan Nayla sangat mencintai Satya, kenapa malah lelaki itu melepaskan Nayla begitu saja, bukan memperjuangkannya. Dewa terus bertanya-tanya dalam hati.

"Maksudmu apa?"

"Kau melupakan perkataanku. Berarti memang benar Kirana tidak pernah berarti untukmu. Keterlaluan," cibir Satya dengan tatapan remeh.

Dewa mencoba mengingat masa lalunya, terakhir di mana ia bertemu Satya sebelum lelaki itu diasingkan ke luar negeri. Satya menemui Dewa dan berkata kalau Dewa boleh bahagia memiliki Kirana waktu itu, tapi suatu saat nanti Kirana tetap yang akan menjadi Nyonya Pradipta.

"Kau benar-benar mencintai Kirana, kan? Kau menikahinya karena masih mencintainya kan, bukan dendam?" tanya Dewa ragu, ia merasa bersalah pada Kirana. Dan, berharap perempuan itu bahagia bersama Satya. Setidaknya, rasa bersalahnya sedikit berkurang.

"Kenapa?"

"Aku harap kau menjaganya dengan baik. Maaf, dulu aku merebut Kirana darimu. Aku benar-benar menyesal karena ingin memiliki apa yang kau punya dulu. Tolong jaga dia, aku yakin dia masih mencintaimu," Dewa berkata dengan nada suara melemah.

"Jadi, kau tidak pernah mencintai Kirana?"

"Awalnya, aku pikir iya tapi ternyata tidak. Bertahun-tahun, aku pura-pura mencintainya karena takut dia sangat terluka kalau tahu aku tidak  mencintainya. Sampai pada akhirnya, orang tuaku menjodohkanku dengan Nayla, lalu aku tertarik dengannya, dan rasa itu berubah menjadi cinta. Dan pada akhirnya, aku memilih untuk meninggalkan Kirana," aku Dewa yang mengingat raut wajah Kirana yang berkaca-kaca karena dirinya memilih menikah dengan Nayla.
Satya terkekeh, "Entah aku harus kasihan pada Kirana atau tidak. Dia takut sekali kau marah, kesal, atau meninggalkannya, tapi nyatanya yang diperjuangkannya tidak mencintainya sama sekali. Kau tega sekali, ya. Pantas saja kalau kau tidak mendapatkan cinta dari istrimu, mungkin itu karmamu."

"Aku, tahu aku salah padamu, pada Kirana. Maka dari itu, aku harap kau bisa berdamai dengan masa lalu dan benar-benar mengasihi Kirana. Tolong bahagiakan dia. Kalian pasangan serasi dulu dan aku harap kalian bisa seperti itu kembali."

Dewa mengingat saat Kirana bersamanya, jauh berbeda saat bersama Satya. Perempuan itu begitu lengket dengan Satya. Suka merengek dan marah-marah pada Satya dan Satya selalu mudah menenangkan Kirana dan berakhir perempuan itu tersenyum bahagia. Bersama Satya, Kirana begitu manja dan kekanak-kanakan dan Satya begitu sabar menghadapi sikap Kirana itu. Berbeda saat bersamanya, Kirana seperti menjaga jarak.

Tbc...

Ayo yang mau beli e booknya bisa beli di google playbook. Atau beli novel atau pdf di wa 087825497438

Aku Bukan Simpanan (Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang