7. Kamu, Aku, dan Dia

39.2K 3.5K 157
                                    

Kalian lebih suka cerita angst atau sweet?

Terus lebih suka happy end atau sad end?















Pura-pura bahagia adalah hal yang paling menyakitkan di dunia dan aku melakukannya sekarang.
Kirana

"Untungnya, pria yang kamu sakiti aku. Kalau lelaki lain, mungkin kamu sudah dituntut atas tuduhan penipuan dan pencemaran nama baik. Kebohongan yang kamu lakukan itu begitu besar. Inisial namaku tertampang jelas di koran, mencoreng nama keluarga Pradipta. Ayahku sampai masuk rumah sakit Kirana, karena serangan jantung," Satya berujar dengan nada sendu. Ia kembali teringat air mata ibunya yang menangisi kondisi ayahnya. Dan, Satya tidak bisa melakukan apa-apa.

"Aku merasa menjadi anak yang tidak berguna. Hubungan kami menjadi tidak baik setelahnya, aku merasa ayahku menjauhiku dan menjaga jarak, bahkan dia tampak tak acuh pada apa yang mau aku lakukan," lanjut Satya kembali.

Satya mengenal betul perilaku ayahnya yang tegas dan selalu menasehatinya setiap hendak melakukan apa pun. Namun, tak lagi ia dapatkan petuah atau larangan dari ayahnya lagi. Dirinya merasa dibebaskan melakukan sesuatu karena ayahnya telah merasa gagal mendidiknya.

Kirana yang mendengar itu semakin bersalah, ia tidak tahu kalau ayah suaminya itu sampai mengalami serangan jantung. Tidak pernah ia sangka kebohongannya berdampak besar bagi kehidupan Satya.

"Maafkan aku, Satya. Hidupmu jadi sulit karenaku. Pasti sangat menyakitkan untukmu, karena perlakuan ayahmu itu. Aku mengerti kenapa kamu membalasku dengan mengacuhkanku, sekarang."

"Aku sudah bilang beberapa kali, kalau aku tidak sedang balas dendam padamu. Kalau aku mau balas dendam padamu, sudah dari dulu aku lakukan. Bukan malah menikahimu. Kamu terlalu picik, selalu mencurigaiku."

"Kamu mau balas dendam atau tidak, kenyataannya kamu menyakitiku."

"Terserahlah, yang jelas aku menikahimu tidak ada niatan untuk balas dendam. Kalau aku mau balas dendam, mungkin...." Satya tidak jadi melanjutkan ucapannya.

"Satya, aku sudah mengakui dosaku padamu. Aku juga hendak mengatakan kepada kedua orang tuamu akan kebenaran semua itu, sebelum kita menikah, tapi kamu malah menghalangiku, kan?"

"Kamu pikir keluargaku akan memaafkanmu begitu saja, kalau kamu jujur, setelah kamu membuat keluarga kami malu. Aku kurang baik apa coba? Seharusnya kamu bersyukur aku menikahimu, setelah Dewa mencampakkanmu. Coba kamu pikirkan, pria mana yang sudi menikahi wanita yang telah menghancurkan hidupnya. Tidak ada, kan? Kecuali aku."

"Pernikahan ini sangat berat, Satya. Kamu dan aku, sama-sama tidak bahagia. Seharusnya kita tidak pernah bertemu kembali. Setiap melihatmu, aku teringat dosaku. Dan, kamu pasti mengingat pengkhianatanku. Kita sama-sama tersakiti Satya."

***

Kirana menunduk lesu, sejak tadi ia merasa kikuk berada dalam satu ruang dengan keluarga Satya. Mereka terus menyinggung masalah perusahaan yang entah dirinya tidak mengerti, kalau ada hal yang lain dibicarakan adalah anak. Kirana mencoba menghindar saat bibi dari Satya membicarakan masalah pernikahan kepadanya, hingga mengenai kehamilan.

Kirana merasa dirinya bagai badut di keluarga itu. Kebanyakan dari keluarga Pradipta tidak menyukai Kirana, malah ia mendengar beberapa tengah berbisik mencibir dirinya. Ia mencoba tetap bertahan mendengar cemoohan bibi atau saudara Satya yang mengatakan, kalau menikahi Satya karena gila akan takhta.

"Sampai saat ini, saya enggak habis pikir mantan Dewa itu kok mau menikah dengan Satya," bisik bibi Satya yang menggunakan pakaian merah delima.

"Biasa, Mbak kalau bukan kedudukan apalagi? Dulu, perempuan ini kan yang ada kasus dengan Satya. Saya masih enggak habis pikir sama kejadian itu, masa sih anak Mas Danu yang kalem begitu, bisa melakukan pelecehan."

Kirana yang mendengar percakapan itu semakin kikuk, ia meninggalkan ruangan dengan terus menunduk. Dirinya berharap acara keluarga Satya ini segera berakhir, agar bisa pulang lebih cepat. Perasaannya semakin tidak menentu.

Kirana memilih pergi ke taman pekarangan rumah ini, ia melihat Dewa dan istrinya yang terlihat begitu bahagia. Dewa terus mengenggam tangan istrinya dengan raut wajah semringah. Ia merasa iri dengan wanita itu. Bukan iri karena mendapatkan Dewa, tapi iri karena suami wanita itu begitu menyayanginya.

Tak terasa air mata Kirana menitik, ia segera menghapus air matanya. Dirinya hendak pergi, tapi matanya tidak sengaja bersitemu dengan Dewa. Raut wajah Dewa yang terlihat bahagia tadi berubah seketika menjadi lesu.

Kirana langsung berbalik arah, tapi di belakangnya sudah berdiri Satya yang tampak tenang.

"Ngapain, kamu di sini?" tanya Satya dengan santai.

"Cari udara segar saja."

"Ohh, padahal udara di sini semakin panas, bukan segar Kirana," Satya menepuk bahu istrinya pelan.

Kirana tidak bodoh untuk mengerti ucapan Satya yang menyinggung secara tak langsung, kalau dirinya kepanasan melihat Dewa dengan istrinya.

"Kamu sendiri dari mana saja, aku mencarimu ke mana-mana," Kirana mengalihkan pembicaraannya.

"Menemui nenekku," Satya tersenyum  singkat, ia menggenggam tangan Kinara, "Ki, ikut akut," ajak Satya yang menarik Kirana menuju ke arah Dewa  yang masih menatap mereka, sementara istri wanita itu yang tengah berdiri memandangi bunga-bunga belum menyadari kedatangan Kirana dan Satya.

Jantung Kirana berdebar, ia ingin melepaskan tangan Satya karena enggan bertemu dengan Dewa, apalagi saat lelaki itu bersama dengan istrinya.

"Satya, kamu ngapain," lirih Kirana dengan nada cemas.

"Menyapa mereka," jawab Satya dengan nada datar.

Kirana terus berdoa agar tidak terjadi apa-apa setelah ini.

"Dewa, apa kabar," sapa Satya dengan ramah begitu berdiri di dekat Dewa, lelaki itu tersenyum kikuk. Sementara istri Dewa yang mendengar suara Satya tampak kaget, begitu ia menoleh mendapati Satya dan Kirana di hadapannya dan Dewa.

"Baik, seperti yang kamu lihat. Kalian baik juga, kan?" Dewa menatap ke arah Satya, tidak berani melihat ke arah Kirana.

"Iya, baik tentunya. Aku dengar istrimu hamil. Selamat, ya," Satya mengulurkan tangannya. Dewa mengernyit, ia tidak kunjung menyalami tangan Satya.

"Terima kasih, Satya. Kami berharap, kami segera memiliki momongan, tapi istriku tidak sedang hamil, Satya."

Kirana melirik suaminya, ia tidak mengerti kenapa Satya melakukan hal  bodoh semacam itu. Pura-pura menyelamati Dewa kalau istrinya hamil.

"Ohh, salah ya. Maaf, aku tidak tahu kalau berita itu bohong," Satya melirik ke arah istri Dewa.

"Tidak apa-apa."

"Dewa, kapan-kapan aku ingin mengundangmu makan malam di rumahku. Kami akan menjamu kalian dengan baik. Istriku sendiri yang akan memasak," Satya melingkarkan tangannya di pinggang Kirana, "kalian harus mencicipi masakan istriku. Kirana pintar sekali memasak. Aku benar-benar beruntung memiliki istri seperti Kirana. Benar kan, aku tidak salah memilih istri?"

Kirana entah harus bersyukur atau kesal Satya memuji dirinya. Ia mengerti sekarang apa yang tengah dilakukan suaminya itu, apalagi kalau bukan membuat Dewa cemburu.

"Iya, kalian sangat serasi. Tapi, sepertinya istrimu sedang sakit, ya. Wajahnya terlihat lesu," Dewa melirik Kirana sekilas.

"Sayang, kamu dari tadi terlihat bahagia. Kenapa lesu begini sekarang? Kamu tidak sakit, kan?" Kini, Satya mengusap-usapa pipi istrinya dengan tatapan lembut.

"Tidak, Sayang. Mungkin karena cuaca perasaanku jadi tidak menentu.  Tapi, sepertinya istrinya Dewa yang sakit. Aku memperhatikannya dari tadi tampak gusar. Dewa, kamu harusnya menjaga istrimu dengan baik," cibir Kirana yang pasti ia sudah tahu kalau Dewa menjaga istrinya dengan baik, tidak seperti suaminya. Perkataannya hanya untuk menutupi ketidakbahagiaan.

Tbc...

Teman kalau beli novel ini po aja. Atau beli e book di google play book

Aku Bukan Simpanan (Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang