13.

39.9K 3.9K 228
                                    

Kirana memandang lesu pemandangan dari balik jendela kamarnya. Ia mengamati dedaunan pohon yang terjatuh terbawa angin. Entah kenapa air matanya menitik, melihat daun yang terjatuh, seperti melihat dirinya yang terluka. Mungkin jika daun bisa bicara, pasti akan mengatakan kalau dia tidak mau berada di puncak, lalu terjatuh melayang bebas karena sapuan angin, pikirnya.

Kirana menutup tirainya, lalu berjalan menuju walk in closet untuk mengganti pakaiannya. Ia mau pulang ke rumah orang tuanya untuk menenangkan diri dan menjauh dari Satya untuk sementara waktu, sembari menyusun rencana agar ia bisa berpisah dengan suaminya itu dengan cara baik-baik. Tidak mudah lepas dari Satya begitu saja karena ia yakin suaminya itu pasti punya banyak rencana untuk terus mengikatnya.

"Ki," panggil Satya yang sudah ada di belakangnya.

"Apa," jawabnya ketus begitu berbalik arah.

"Ini," Satya memberikan sebuket bunga yang membuat Kirana mengernyit. Ia mengambilnya, lalu dipukulkan ke tubuh Satya hingga bunga itu terjatuh, tidak peduli lelaki itu kesal, bahkan marah. Dirinya sudah tidak mau dibodohi lagi oleh Satya, apalagi dimanfaatkan begitu saja. Orang waras mana yang mau dinikahi hanya untuk pelarian? Tentu saja kalau tahu seperti itu, ia tidak mau.

"Kenapa dilempar? Kamu suka bunga mawar, kan?" Satya memandang Kirana lesu. Ia berusaha sesabar mungkin, karena dirinya tidak mau kalau Kirana meninggalkannya. Ia takut menambah masalah untuk keluarganya, Satya tidak mau nama keluarganya hancur karena dirinya lagi. Belum lagi, pasti mantan kekasihnya itu akan semakin gencar mendekatinya kembali.

"Aku tidak butuh bunga, memangnya aku tidak mampu membeli bunga sendiri, kalau aku mau bunga?"

"Hmm, tahu kamu bisa membeli banyak bunga kalau mau. Pasti uang tabunganmu banyak," Satya berkata dengan raut wajah datar, "kamu masih tidak pernah berubah, tidak menghargai apa yang aku berikan."

Kirana hanya tersenyum masam. Ia tidak peduli pandangan Satya pada dirinya, karena tidak akan mengubah keadaan apa pun.

"Ki, aku tahu, kalau aku salah. Tapi, bunga ini tidak bersalah, kenapa main lempar sembarangan."

"Cih, pintar sekali mencari alasan. Bunga itu memang tidak salah, yang salah itu memang kamu. Lalu, bagaimana dengan masakan buatanku yang harus terbuang sia-sia. Padahal, masakan itu tidak bersalah?"

Satya merenung, ia tidak mengerti dengan maksud Kirana. Dirinya memang kadang tidak makan di rumah, karena terburu-buru tapi ia tidak pernah merasa membuang masakan Kirana, jadi Satya tidak merasa bersalah kalau makanan itu akhirnya terbuang.

"Aku tidak pernah membuang masakanmu, ya. Kan, aku juga tidak pernah menyuruhmu untuk memasak. Lagian, kita juga punya juru masak pribadi. Kamu tinggal duduk santai di rumah."

"Aish, pura-pura tidak tahu. Kamu memang tidak tahu atau tidak mau tahu. Aku memberi waktumu beberapa hari untuk berpikir, tapi ternyata--"

"Apa? Ngomong yang jelas, dong."

"Kamu kemarin bisa bertanya padaku, kamu saja tahu kalau aku menampar Nayla. Luka istri orang lain kamu tahu. Istri kamu sendiri tidak tahu?" Kirana menggelengkan kepalanya, "suami macam apa kamu Satya? Seharusnya kamu mencari tahu, kenapa aku mendiamimu semalam waktu itu. Harusnya kamu sadar kalau telah terjadi sesuatu padaku."

Satya mengerti kalau marahnya Kirana padanya, pasti memiliki alasan, tidak mungkin tiba-tiba saja mendiaminya hanya karena kesal biasa, tapi Satya benar-benar bingung dirinya harus bertanya kepada siapa. Tidak mungkin, ia menghubungi Nayla mengkonfirmasi ada apa sebenarnya, apalagi minta penjelasan lebih kepada Dewa. Bisa-bisa dirinya ditertawai.

"Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, Dewa hanya bilang kalau istrinya ditampar olehmu. Dan, dia menyuruhku untuk menasihatimu agar tidak main tangan. Teleponnya dimatikan begitu saja, sebelum aku menjawabnya," Satya berkata sekenanya, tidak mau disalahkan, "Ki, kalau ada masalah bilang saja. Kalau diam, aku kan tidak tahu."

"Kamu kan bisa bertanya dengan pegawaimu yang sangat sopan itu."

"Pegawai?"

"Aku diusir dari kantormu dan Nayla menghinaku. Ini semua karenamu, kalau kamu mau mengakuiku istrimu, pasti aku tidak diusir seperti itu. Kamu senang, kan?"

"Kapan aku tidak mengakuimu sebagai istri? Aku menyembunyikan hubungan kita kan, juga demi kebaikanmu. Kamu mau jadi cemoohan orang?"

"Aku sudah sering menjadi cemoohan orang, sebelum atau sesudah menikah denganmu. Tapi, seumur hidupku, aku diusir hanya satu kali. Dan, itu sangat menyakitkan," Kirana menjeda ucapannya, mengatur napasnya. Ia menepuk dadanya pelan, "aku mau mengantar makan siang untuk suamiku, tapi aku malah diusir dari kantormu oleh pegawaimu, karena mereka tak percaya aku istrimu. Dihina pula oleh Nayla," Kirana tersenyum masam.

"Ki," Satya memegang bahu istrinya, "maafkan aku. Aku tidak tahu kalau semua akam menjadi buruk seperti itu. Aku janji, kamu tidak akan pernah mendengar hinaan buruk lagi selama kamu di sisiku. Tolong, maafkan aku."

Kirana menggeleng, "Maaf, tidak akan bisa membuat luka di hatiku sembuh, Satya. Apalagi, maafmu tidak tulus. Kamu minta maaf karena kamu tidak merasa bersalah, tapi kamu takut aku meninggalkanmu dan membuat nama baikmu buruk, kan."

Satya mengigit bibir bawahnya. Kepalanya terasa berdenyut. Sudah beberapa hari ia mencoba merebut hati Kirana, tapi sia-sia. Ia bingung harus melakukan apalagi. Semua yang dirinya rencanakan tidak sesuai harapan. Bukannya menyelesaikan masalah, tapi malah menimbulkan masalah yang semakin besar.

"Aku mau pulang ke rumah Mama," Kirana pamit sebelum pergi, tapi lengannya ditahan Satya.

"Rumahmu di sini. Kamu tetap harus di sini," tegas Satya dengan tatapan lembut.

"Sebentar lagi, ini bukan rumahku. Ini rumahmu. Aku tidak mau melihatmu lagi. Jangan halangi aku."

"Baik kalau kamu tidak mau melihatku lagi, akan aku kabulkan. Aku juga sudah lelah," Satya menarik tangan Kirana. Perempuan itu berusaha melepaskan lengannya dari genggaman Satya. Namun, nihil. Ia terus melangkah mengikuti Satya, hingga sampai di balkon.

"Aku akan melompat dari sini dan kamu yang akan pertama kali melihat jasadku."

"Gila, kamu Satya," Kirana menghela napasnya.

"Memang. Atau lebih baik, kita terjun dari sini bersama-sama saja? Romantis, kan?" Satya tersenyum semanis mungkin yang membuat Kirana bergidik ngeri. Ia merasa kalau suaminya benar-benar sudah hilang akalnya.

"Kamu saja sana yang lompat. Aku mau menyaksikannya saja."

Satya langsung mengendong tubuh istrinya, lalu berjalan semakin dekat ke pembatas.

"Satya! Turunkan aku!"

"Tidak, sampai kapan pun kamu harus bersamaku. Kamu harus selalu menemaniku."

Tbc....

Yang mau beli novel atau pdf Aku Bukan Simpanan bisa hub wa 087825497438. Atau beli e booknya di google play book.

Aku Bukan Simpanan (Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang