2. Hanya

49.1K 4.6K 219
                                    

Mau tanya kalau beli novel, pertama yang bikin tertarik itu kover, blurb atau apa?



Kirana terus menatap wajah Satya. Baginya, bisa melihat suaminya adalah anugerah. Tidak setiap hari, ia bisa memandangi Satya sedekat ini. Lelaki itu jarang di rumah, kalau pun ada, belum tentu Satya akan tidur di ranjang yang sama dengan Kirana. Sering sekali Satya pergi dari kamar, setelah berdebat dengan Kirana.

Kirana teringat kembali saat dirinya resmi menjadi istri Satya, di malam itu Satya memberikan serangkain daftar apa saja yang boleh dilakukan dan tidak dilakukan oleh Kirana. Dan, hal menyakitkan adalah Satya memintanya untuk merahasiakan pernikahan mereka dari orang luar. Lalu, pergi meninggalkannya begitu saja di hotel.

Kirana mencoba mengenyahkan ingatannya itu, terlalu menyakitinya, jika teringat.

"Satya," lirih Kirana mengenggam tangan kanan suaminya, "kenapa semua menjadi seperti ini?"

Kirana kini menatap jemari Satya yang tidak terdapat cincin di jari manisnya. Dada Kirana terasa sesak, ia menutup mulutnya dengan tangan kiri agar isakannya tak terdengar.

"Bisa tidak untuk tidak mengangguku," kata Satya menarik tangannya dari genggaman Kirana.

"Satya di mana cincin pernikahan kita?" Kirana menatap Satya dengan tatapan sendu, tidak peduli dengan perkataan Satya barusan.

"Tidak tahu."

"Tidak tahu?" ulang Kirana dengan tatapan kecewa.

"Aku lupa meletakkannya di mana atau mungkin terjatuh dan hilang," Satya berkata tanpa merasa bersalah.

"Satya, kamu keterlaluan."

"Sudahlah kalau hilang, nanti aku memesannya lagi yang seperti itu. Tidak usah diambil pusing," Satya kembali menata posisi tidurnya dan memejamkan matanya.

"Ini bukan masalah kamu bisa membelinya kembali atau tidak. Kamu harusnya tahu maknanya. Itu cincin pernikahan kita. Kenapa kamu tidak menjaganya?"

"Karena itu tidak berarti untukku."

Begitu kalimat Satya berakhir, Kirana yang sudah amat kesal melayangkan tamparannya cukup keras di pipi Satya. Sontak lelaki itu membuka matanya dan menatap Kirana dengan tatapan dingin, ia melihat sorot mata istrinya yang diliputi amarah yang menggelora.

"Hanya karena cincin, kamu menamparku? Terserahlah apa maumu, tampar saja aku sampai mati. Biar kamu puas," kata Satya seraya duduk menyandar di papan ranjang.

Kirana mengatur napas dan cara kerja jantungnya.

"Cuma cincin, 'kan? Baiklah..." Kirana melepaskan cincin pernikahannya, lalu ia tunjukkan di wajah Satya, kemudian melemparnya ke sembarang.

"Bagimu tidak berarti, maka bagiku juga tidak berarti mulai sekarang."

"Kirana--"

"Cukup, Satya. Aku  lelah. Ceraikan aku!" teriaknya dengan raut wajah yang memerah. Kilatan amarah kentara di matanya.

"Pelankan suaramu," Satya menggenggam tangan Kirana, "kamu ingin semua orang mendengar, huh? Kita masih ada di rumah orang tuamu."

"Biar, sekalian semua orang mendengar. Biar semua orang tau, kalau menjadi istrimu adalah mimpi buruk untukku," Kirana membuang muka.

"Dasar wanita tidak tahu terima kasih," Satya mencengkeram bahu Kirana, "kalau menikah denganku adalah mimpi buruk untukmu, mencintaimu dulu adalah kesalahan terbesar untukku."

Kirana melepaskan tangan suaminya dengan kasar, ia menatap Satya dengan tajam.

"Satya, kamu pikir aku bodoh, kamu tidak pernah mencintaiku dulu. Aku ini hanya bahan taruhanmu. Aku  mendengar pembicaraanmu dengan teman-temanmu."

"Taruhan? Kalau aku menjadi kekasihmu hanya untuk taruhan, lebih baik tidak pernah kulakukan. Hanya membuang waktuku saja mengurusi perempuan seperti dirimu. Sayangnya, dulu aku begitu naif. Mencintai iblis sepertimu," Satya menggelengkan kepalanya. Dirinya tidak menyangka kalau Kirana meragukan kasihnya.

Kirana hanya membisu, tidak tahu harus berkata apalagi.

"Kalau memang dulu aku bertaruh untuk mendapatkanmu, kenapa kamu masih mau menjadi kekasihku, bahkan sampai satu tahun lebih?" cibir Satya dengan nada rendah, mencoba untuk menekan emosinya.

"Kamu tahu sendiri jawabannya dan aku menyesal memanfaatkanmu. Aku minta maaf."

"Aku tidak butuh permintaan maafmu, tapi yang kubutuhkan dirimu tetap di sisiku. Biarkanlah aku yang memanfaatkanmu kali ini."

Satya beranjak dari ranjang mencari cincin Kirana, begitu menemukannya, langsung ia pasang di jari manis Kirana.

"Satya, aku akan melakukan apa pun agar kamu memafkanku. Tapi, tolong lepaskan aku. Aku tidak bisa hidup seperti ini terus. Kamu tidak melukai ragaku, tapi jiwaku sangat terluka."

"Aku tidak pernah berniat melukaimu, kalau kamu terluka itu bukan salahku. Kamu sendiri yang melukai dirimu. Kamu terlalu membesarkan masalah dan berisik," Satya menggenggam tangan Kirana dan sesekali mengusap telapak tangan istrinya itu, "Kirana, cintaku untukmu sudah mati bertahun-tahun yang lalu.  Aku menikahimu memang bukan karena cinta, bukan pula untuk membalas dendam. Kamu tidak perlu tahu atau mencari tahu karena itu akan melukai dirimu sendiri."

Kirana menatap Satya bingung. Ia tidak mengerti dan tidak bisa memahami semua ini.

"Apa pun alasannya itu, tidak seharusnya kamu memperlakukanku begitu dingin. Pernikahan bukan mainan Satya, kamu sudah berjanji di hadapan Tuhan untuk menjaga dan mengasihiku dalam suka, maupun duka."

Tbc.....

Aku mau bikin quote ah, sekejam2nya Satya tidak akan melindas kaki Kirana dengan sepeda motor. Efek dilindas kaki abdi teh😫😫😫 GWSin dong.

Aku Bukan Simpanan (Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang