14. Usai Sudah

43.6K 3.7K 153
                                    

Anggap saja itu Satya sama Kirana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Anggap saja itu Satya sama Kirana. Cocok enggak?







Kirana terus memukul dada Satya tapi suaminya itu tidak menghentikan aksinya, ia malah tersenyum seperti tidak bersalah. Kirana merasa kalau suaminya sudah gila karena tertekan selama ini. Dan, naasnya dirinya yang harus menjadi korban dari kegilaan Satya.

Kirana memejamkan matanya, tidak berani melihat. Ia tak sanggup membayangkan jatuh dari balkon. Apalagi, sengaja dijatuhkan oleh suaminya sendiri.

Tidak lama kemudian, terdengar tawa Satya. Kirana langsung membuka kelopak matanya. Dirinya tidak percaya, dengan apa yang terjadi barusan. Ia benar-benar merasa Satya benar-benar sudah gila.

"Kenapa kamu tertawa?" tanya Kirana ketakutan. Ia merasa menyesal pernah melukai Satya. Sepertinya Satya mengalami tekanan yang begitu dalam, membuatnya tidak waras, pikir Kirana.

"Satya, kamu memang gila, ya. Lepaskan aku sekarang, jangan tertawa terus seperti itu," Kirana berujar dengan raut wajah lesu.

"Kamu lucu," katanya santai sambil menurunkan Kirana, "aku tidak menyangka kalau kamu sangat mengemaskan kalau ketakutan seperti ini," candanya asal karena sudah pusing hendak melakukan apa.

Kirana tidak habis pikir dengan jawaban Satya. Satya yang ada di hadapannya, sungguh berbeda dengan Satya yang ia kenal berapa tahun lalu. Dirinya tidak pernah menyangka waktu akan mengubah Satya yang baik, tenang, dan manis, menjadi aneh seperti ini.

"Kamu benar-benar sudah gila, Satya. Kamu pikir hal ini lucu?" Kirana menatap Satya tajam, "padahal, kalau kamu mau bunuh diri sendiri, aku senang. Beban hidupku akan berkurang," geramnya.

Satya yang mendengar jawaban Kirana menjadi kesal, ia berjalan ke arah meja yang diapit dua bangku, kemudian mengambil vas bunga dan membuang isnya, lalu dibenturkan vas itu ke meja, hingga retak dan terpecah menjadi keping-keping.

"Baik, kalau itu yang kamu mau. Apa yang tidak aku lakukan untuk kebahagiaanmu, dulu atau sekarang," Satya tersenyum sinis, lalu pecahan vas kaca itu ia genggam erat, sehingga melukai telapak tangannya. Darah mulai mengalir. Rasa sakit yang menjalar di tangannya, baginya tidak ada apa-apanya karena ia sudah biasa terluka, apalagi karena Kirana. Fisik atau batin pun pernah ia dapatkan.

Kirana mengenggam erat pakaiannya. Ia tidak habis pikir dengan kelakuan Satya itu. Tangannya bergetar seketika, keringan dingin mulai mengucur dari pelipisnya. Degup jantungnya menjadi tidak keruan.

"Sat--"

"Kamu bisa lihat ini," Satya mengarahkan pecahan kaca di genggamannya ke arah pergelangan tangan kirinya. Perlahan menggores kulit Satya, tapi hanya sedikit karena Kirana berteriak.

"Jangan! Jangan Satya!" Kirana berlari memeluk Satya, "tolong jangan lakukan itu."

Satya melempar sembarang kaca yang ada di genggamannya hingga menimbulkan bunyi, lalu melepaskan pelukan Kirana, tanpa menatap Kirana. Kemudian, ia berjalan hendak menjauh. Namun, Kirana memegang lengan Satya.

"Satya," tekannya dengan suara lesu.

"Apa? Lepaskan lenganku, bukannya kamu pergi?" Satya menatap Kirana tanpa ekpresi dan suaranya begitu datar, "kalau mau pergi, silakan. Aku tidak akan mengejarmu."

"Satya, maafkan aku. Aku hanya terbawa emosi, aku tidak ingin kamu mati," Kirana memandang Satya cemas. Ia berharap Satya tidak melakukan hal-hal yang menyakiti dirinya sendiri, karena Kirana tidak kuasa melihat Satya terluka lagi, apalagi karena dirinya. Itu sama saja melukai hati Kirana sendiri.

"Bukannya, kamu senang kalau aku mati. Toh, aku tidak pernah berarti untukmu. Silakan, kalau kamu mau pergi," Satya menekankan perkataannya di kata terakhir, ia menatap Kirana dengan tatapan lesu. Tatapan itu mengingatkan Kirana pada peristiwa beberapa tahun lalu. Di mana ia mengatakan kalau Satya tidak berarti untuk dirinya, jika lelaki itu mati pun ia juga tidak peduli. Waktu itu Satya langsung terdiam dan hanya menatapnya saja, tanpa melakukan sesuatu.

'Kalau aku mati bagaimana? Kenapa kamu tidak merasa bersalah sama sekali denganku, Ki? Aku ini salah apa padamu? Kenapa kamu tega memperlakukanku seperti ini?' Pertanyaan Satya itu terus berputar di otaknya.

"Aku hanya memberimu kesempatan hari ini untuk pergi dariku dan aku janji tidak akan menganggumu lagi. Pergilah sekarang," Satya mengulang kembali perkataannya.

"Satya, aku--"

"Pergilah! Tenang saja, aku tidak akan bunuh diri. Untuk apa, aku bunuh diri? Toh, tidak ada gunanya," Satya bersikap setenang mungkin. Meski, hatinya tidak. Entah apa yang ia lakukan salah atau benar, dirinya tidak peduli karena sudah lelah dengan semua yang terjadi.

Kirana membisu seketika, ia bertanya-tanya lagi pada hatinya, apakah keputusan yang benar meninggalkan Satya di saat seperti ini? Yang ia harapkan, dirinya bisa berpisah dengan Satya secara baik-baik agar tidak ada masalah lagi kelak.

"Sana, pergilah! Kamu bisa bebas dariku. Silakan segera urus gugatan perceraian, agar kamu bahagia," Satya menatap Kirana dengan tatapan sendu, "Dan, semoga saja kamu segera menemukan pria baik-baik yang benar-benar mencintaimu dan menyayangimu. Aku janji tidak akan menganggumu lagi."

Satya melepaskan tangan Kirana dari lengannya, membuat tangan perempuan itu ternodai oleh darah.

"Mulai hari ini, tidak ada lagi hubungan di antara kita. Semuanya sudah berakhir. Kamu bukan lagi Nyonya Satya Pradipta," tekan Satya dengan tatapan serius. Kemudian, ia berlalu pergi.

Kirana hanya memandang punggung Satya seraya memegang dadanya yang terasa sesak. Harusnya, ia tersenyum bahagia bukan, karena keinginannya tercapai? Namun, kenapa dadanya terasa sesak.

Tbc...

Yang mau beli e book Aku Bukan Simpanan bisa langsung ke google play book. Atau beli pdfnya 35 ribu. Hub 087825497438


Aku Bukan Simpanan (Lengkap) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang