01; Fulgor

4.6K 546 18
                                    

Yang Jeongin, mahasiswa jurusan mitologi di Universitas Hellev. Siapa yang percaya jika seorang Jeongin —yang seharusnya pantas berada di kedokteran— justru memilih mitologi?

Bukan main rasa cintanya pada hal-hal berbau mitologi. Ayahnya seorang arkeolog dan Ibunya seorang dosen sejarah. Sejak kecil hidupnya dipenuhi dengan cerita-cerita masa lalu. Cerita-cerita yang tidak dipercaya kebanyakan orang, namun dipercaya dengan kuat oleh Jeongin.

.

Hari itu cuaca panas. Saat ini, Korea Selatan memang sedang mengalami musim panas. Jeongin sangat membenci panas. Karena panas, otaknya tidak mampu bekerja dengan baik. Seolah otaknya meleleh dan semua ilmu yang ia dapatkan menguap begitu saja.

Jeongin masih berada di kelas ketika seseorang mulai berteriak memanggil namanya dengan heboh. Seisi kelas mengacuhkan teriakan itu, mereka sudah terbiasa. Teriakan demi teriakan semakin nyaring terdengar. Jeongin memutar bola matanya malas. Berapa kali ia harus menghadapi segala kehebohan ini?

"Yang Jeongin! Jeongin! Jeongin! Jeongin!" Teriak Jisung sembari berlari mengelilingi koridor kampus. Beberapa mata telah memperhatikan perilaku Jisung— dan, iya!— bukan Han Jisung jika ia memiliki setitik rasa malu.

Jisung berlari sedikit lebih kencang hingga ia berhasil memasuki kelas Mrs. Taeyon— dosen paling mengerikan dalam sejarah Universitas Hellev. Tapi bukan masalah, ini waktunya Jeongin pulang karena kelas telah berakhir.

"Berhenti berteriak! Telingaku sakit mendengar teriakanmu, dan aku yakin seluruh Mahasiswa juga begitu," ucap Jeongin tepat di hadapan Jisung.

"Astaga, sudah berapa kali aku mengatakan padamu bahwa; aku tidak berteriak!" Jisung mengerang frustasi. Sebuah kenyataan jika Jisung sering memprotes kritikan Jeongin tentang teriakannya. Baginya sendiri, ia tidak pernah berteriak sekalipun. Namun bagi orang lain? Sakit sekali telinga mereka.

"Kau berteriak, Jisung! Ah, sudah lupakan atau kita akan terus berdebat di sini," ucap Jeongin yang saat ini tengah menata buku-bukunya dan bersiap untuk pulang. Namun sebelum itu, Jeongin dan Jisung berencana untuk menemui Park Jinyoung— dosen psikologi— dosen Jisung.

"Cepatlah, Jeongin. Aku tidak ingin pria berpakaian ketat itu membakar laporan bab biporalku." Jisung kembali mengerang, membuat Jeongin sedikit menarik senyumnya.

Jeongin menutup tas ranselnya, kemudian memakainya di pundak. Bibirnya masih tersenyum ketika melihat keluhan demi keluhan yang Jisung lontarkan.

Semilir angin masuk dan menembus pori-pori kulit Jeongin dengan segar. Jeongin melirik sekilas ke arah jendela.

Deg! Apa seseorang sedang memperhatikannya? Jeongin kembali menoleh ke arah jendela. Di sana— di antara deretan hutan pinus milik kampus— berdiri seorang pria dengan tatapan tajamnya yang tertuju pada Jeongin. Pandangan mata Jeongin menjadi awas, takut kepada orang misterius itu.

"Jeongin? Kau melamun," ujar Jisung untuk menegur Jeongin yang tengah menatap kosong ke arah jendela. Atau setidaknya 'tatapan kosong' adalah sudut pandang yang mampu dilihat oleh Jisung.

Mendengar panggilan itu, tubuh Jeongin seperti tersentak dan kembali ke dunianya. Ia menatap Jisung yang mulai memperhatikannya heran. "A-ah, maaf ya, aku melamun. Lebih baik kita segera pergi menemui dosen pakaian ketatmu itu," ucap Jeongin yang kemudian dibalas anggukan oleh Jisung.

Lupi Frigus; HyunjeongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang