12; Attenden

2.3K 441 48
                                    

Jeongin tidak tahu apakah ia harus mensyukuri kenyataan ini atau tidak. Pasalnya, Hyunjin yang ia kenal kini telah berubah. Mendadak cerewet. Suka sekali mengatur keseharian Jeongin. Sejujurnya ia merasa sebal akan hal itu, tapi Madam Shinhye bilang, dirinya harus mensyukuri perubahan yang satu ini.

"Kau tidak boleh makan ini!" Hyunjin menjauhkan piring berisi belasan truffle dari pandangan Jeongin. "Sayur lebih baik untuk kesehatanmu," lanjutnya sambil memakan semua truffle di dalam piring itu.

"Tak enak makan menjadi alasanku untuk menghabiskan truffle-truffle itu." Jeongin mendengus kesal. Enak saja Hyunjin memakan semua truffle lezat buatan Madam Shinhye tanpa ijin darinya.

"Dengarkan aku; jika kau berada dalam performa yang tidak bagus, maka," ucap Hyunjin menggantung. Ia menunjuk dada sebelah kirinya, di bagian jantung. Matanya menatap Jeongin meremehkan dengan mulutnya yang dipenuhi truffle. "Jantungku akan sakit."

"Itu tidak menjadi alasan untuk memakannya, bodoh."

"Kau tidak terlalu pintar untuk mengataiku bodoh, Yang Jeongin." Hyunjin memutar bola mata. Tangannya mengambil satu lagi truffle di atas piring.

"Aku memperoleh skor 40 untuk IPK." Jeongin mengangkat kepala, membanggakan pencapaiannya selama di kampus.

"Hanya 40, itu rendah." Hyunjin menatap datar, masih sibuk mengunyah.

Tunggu dulu, IPK 40 adalah pencapaian yang hebat. Sangat sempurna. Semua orang di kampus selalu mengagumi Jeongin, mengelu-elukan nilainya yang luar biasa.

Ah, iya! Jeongin menghela napas berat. Benar juga, bagaimana bisa ia lupa jika Amissa bukanlah dunianya? Sistem pendidikan di sini pasti berbeda juga, bukan?

Jeongin mengerjap. Tiba-tiba teringat akan sesuatu. Ia mengeluarkan sebuah seringai jahil.

"Madam Shinhye bilang kau itu bodoh." Jeongin memicing, meledek pelaku penghabisan truffle. Hyunjin nyaris tersedak mendengar hal itu. Namun demi menjaga harga dirinya, ia berusaha menahan semua truffle yang mengganjal di kerongkongan.

"Aku tidak bodoh!" Hyunjin berdecih tidak suka. Lebih tepatnya, tidak suka nilai buruknya diungkit-ungkit.

"Katakan padaku, berapa banyak bulu yang menempel di tubuhmu?" Jeongin tertawa. Ini pertanyaan hebat, hanya orang-orang dengan tingkat ketelitian tinggi yang bisa menjawabnya. Bagi Jeongin, pertanyaan ini jelas terasa mudah.

Aku yakin sekali, si bodoh ini tak akan bisa menjawabnya, batin Jeongin membanggakan diri.

Dugaan Jeongin tepat mengenai sasaran. Hyunjin hanya menggigit bibir, tak sanggup menjawab pertanyaan hebat---walau terdengar seperti jebakan---itu. Ia mendengus kesal, melirik ke arah Jeongin.

"Itu pertanyaan aneh, jelas tidak ada yang bisa menjawabnya!" Hyunjin memalingkan muka, mulai mengabaikan truffle yang tersisa di piring.

"Kau tidak memiliki bulu, Hwang." Jemari Jeongin mulai menari di atas meja, menarik piring dengan truffle yang tersisa secara diam-diam. "Yang menempel di tubuhmu itu rambut, bukan bulu." Jeongin tertawa.

Hyunjin melotot, pura-pura sebal dengan tawa Jeongin. Ada satu hal yang harus Hyunjin akui untuk saat ini. Jeongin manis saat tertawa. Bukannya Jeongin tidak manis sebelum ini, tapi... Astaga! Kemanisan itu bertambah berkali-kali lipat.

"Aku tidak yakin apa aku bisa menanyakan hal ini, tapi... Apa jantungmu benar-benar sakit saat aku kesakitan?" Jeongin menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Hyunjin mengangguk mantap. "Sangat sakit, asal kau tahu."

"Bahkan saat aku melakukan ini?" Jeongin tersenyum jahil, mulai mencubit lengannya sendiri. Hyunjin diam, tidak memberi reaksi. "Kenapa kau tidak kesakitan?"

Lupi Frigus; HyunjeongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang