37; Ensure

907 175 13
                                    

Setelah dirasa seluruh barang–barangnya——terlepas kalau dia hanya membawa sebuah note book dan sebatang pena—— Jeongin segera menutup ranselnya rapat. Tersenyum singkat, melambai kepada Hyunjin yang duduk termenung seraya mencebik karena tak diizinkan ikut. Serius, wajahnya terlalu melas, sehingga Jeongin dengan ribuan perasaan tak tega di dalam dada, harus mendekati pria itu sembari mengacak rambutnya lembut. "Kampus itu tempat yang menyebalkan. Kau tidak akan betah, serius," ucap Jeongin dengan senyum yang tercetak di wajah mungilnya.


"Lalu kau akan meninggalkanku di sini sendirian?" Hyunjin mendengus, memalingkan wajahnya geram. Sekalipun dia ingin berteriak gembira tatkala tangan Jeongin mengusak kepalanya, tetap saja dia harus menjaga ekspresi agar terlihat garang. "Dengar Yang Jeongin, jangan pernah menganggapku sebagai 'orang merepotkan' karena aku jelas tidak akan melakukan hal yang aneh–aneh."

"Kau merepotkan, sungguh. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana memalukannya diriku ketika kau terus–menerus bertanya tentang ini dan itu," ujar Jeongin menjelaskan. Lalu, setelah ia melihat perubahan raut wajah Hyunjin yang berubah sendu, ia melanjutkan, "kita akan dianggap gila. Lebih tepatnya kau yang akan dianggap gila."

"Kau tidak serius akan meninggalkanku di rumah membosankan ini, bukan? Maksudku, kita tidak tahu kapan aku akan pergi dari tempat ini. Jadi—"

Hela napas panjang terdengar dari bibir Jeongin yang kelelahan untuk mendebat. Sejujurnya, dia tetap enggan mengizinkan si biang kerok——dia menyebutnya seperti itu sejak Hyunjin mulai bertengkar dengan asisten google di rumahnya——namun, berhubung ucapannya barusan sedikit menyakitkan dan perlu dikhawatirkan, Jeongin pun mengangguk, "baik. Ayo berangkat."

Jangan tanya bagaimana senangnya Hwang Hyunjin, karena saat ini dia sedang sibuk menari kecil dan menarik perhatian tetangga.

.
.
.

Memasuki area kampus, Jeongin dan Hyunjin sama–sama tahu kalau mereka tengah menjadi pusat perhatian. Untuk spesifikasinya, Jeongin yakin bahwa Hyunjin lah si penarik perhatian itu. Bahkan tanpa perlu menoleh pun, telinga Jeongin dapat mendengar bisik–bisik histeria dari mulut para mahasiswi. Katanya, "siapa dia? Mahasiswa baru?"

Lalu, temannya yang berambut panjang dengan bahu kurus yang memiliki cekungan membalas, "tidak mungkin. Lihat saja penampilannya. Mahasiswa bau kencur tak mungkin terlihat maskulin seperti laki–laki itu." Dia berkata tanpa tahu malu—— atau mungkin dia tidak menyadari kalau suaranya mencapai 8 oktaf dan semua orang bisa mendengarkan. Gadis itu memainkan rambutnya sehingga dia dapat meyakini diri bahwa penampilannya terlihat menggoda. Padahal tidak, dan itu membuat Jeongin geram setengah mati. "Kau tanyakan saja pada Jeongin," ujar gadis itu, untuk kemudian disanggupi oleh temannya.

Mereka berdua mendatangi Jeongin——atau lebih tepatnya mendatangi sang pangeran Hwang——dengan langkah yang dibuat–buat agar bokong mereka menyembul secara menggairahkan. Ketika mereka telah sampai di hadapan Jeongin, senyum ceria mulai tertampil dari bibir mereka yang dipenuhi lip balm. Sedangkan Jeongin justru menatap sangsi pada keduanya. Salah satu dari mereka bertanya, "bagaimana kabarmu, Jeonginnie?"

Sejak kapan dirinya dipanggil Jeonginnie?

"Baik," jawab laki–laki itu singkat.

"Uhm, dia temanmu?" Salah satu dari bertanya. Menunjuk Hyunjin dengan malu–malu. Para gadis itu kehilangan napasnya ketika Hyunjin melontarkan pandangan tajam ke arah mereka——merasa risih. Sayangnya, menurut mereka, tatapan setajam elang itu justru meningkatkan pesonanya berkali–kali lipat. "Kau tidak ingin memperkenalkannya pada kami?"

"Tidak," ketus Jeongin seraya jemarinya mulai menyelipkan diri ke lengan kiri Hyunjin. Dengan bibir terangkat penuh kemenangan, Jeongin mengangkat kepalanya. Seolah hendak menyombongkan diri. "Dia bukan temanku, dia pacarku. Omong–omong aku ada kelas lima menit lagi. Jadi, sampai jumpa!" Tanpa banyak cakap, Jeongin segera menarik Hyunjin agar mereka dapat menjauhi kedua gadis itu secepat mungkin.

Hyunjin menghela napasnya lega, sebelum menenggerkan lengannya pada bahu Jeongin. Netra miliknya melirik bocah itu sekilas. Tersenyum. "Wah, ternyata kau cukup cemburuan," ejeknya, meskipun dia sangat menyukai bagaimana wajah Jeongin tertekuk masam jika miliknya diinginkan orang lain.

"Diam atau aku akan memukulmu," ancam Jeongin tak terima dikatai cemburuan.

"Serius, kau benar–benar menggemaskan."

.
.
.

"Dosen itu sudah gila," ujar Jisung seraya meremas ujung kemeja Minho dengan kasar. "Aku harus disuntik anestesi agar tidak perlu repot-repot sakit hati saat dia merobek laporanku."

"Jinyoung Park lagi?" tanya Jeongin sambil menepuk bahu Jisung perlahan. Hendak mengirimkan sinyal agar temannya itu mampu merelaksasikan diri. Bukan masalah besar kalau Jisung hanya mengomel sekilas, tapi bocah itu sudah memaki sejak lima belas menit yang lalu. Intinya seputar laporan terbarunya yang disobek–sobek karena——sebagaimana Jisung adanya——yang tidak pernah memberi detail permasalahan pada topik, dan justru terkesan sedang mencurahkan isi hati.

Mengangguk lemas, tubuh ringkih Jisung pun merosot dan jatuh di hamparan pualam dingin. Geraman demi gerakan frustasi terdengar. Beruntung ada Lee Minho yang terus mengelus pundak kekasihnya itu, dan tak pernah berhenti untuk mengatakan bahwa semuanya akan berjalan dengan baik. Seraya membuka kaleng soda yang telah ia genggam sedari tadi, dia berujar, "apa aku salah masuk jurusan? Berapa biaya yang harus kubayar untuk pindah fakultas?"

"Mahal sekali. Lagipula ini sudah tahun ketiga, jangan pesimis seperti itu." Minho, entah mendapat kesabaran dari dimensi mana, tetap optimis dalam urusan membangun semangat Jisung.

Ketika mereka bertiga sibuk dalam pergulatan penenangan jiwa Han Jisung, Hyunjin justru terlihat melamun akan sesuatu. Mendadak terlihat linglung, bingung sendiri. Menggaruk tengkuk, ia ragu–ragu bertanya pada Jeongin, "namanya Jinyoung Park? Sedikit tidak asing di telingaku."

"Kau mengenalnya?" tanya Jeongin. Mengingat bagaimana Hyunjin berasal dari dunia yang berbeda dengannya, kemungkinan untuknya mengenal sang dosen pun dirasa ganjil. "Aku rasa itu mustahil."

Ini firasat yang asing. Instingnya kuat, dan dia jelas merasakan sesuatu yang tidak beres telah terjadi di tempat menimba ilmu yang satu ini. Terlebih ketika Lee Minho mengangkat panggilan dari dering teleponnya seraya berujar, "oh Mr. Jinyoung? Kau ingin agar aku pergi ke ruanganmu? Hm, baik. Aku akan tiba dalam sepuluh menit."

Hyunjin mengangkat alis, bertanya dengan intonasi yang tajam dalam pemastian atas pertanyaannya. "Apa itu dosen yang tadi?"

"Iya, kenapa?"

"Aku akan ikut bersamamu, menuju ke ruang kerjanya." Hening beberapa saat sebelum ia melanjutkan, "aku ingin memastikan sesuatu."

Back Door Opening Video itu salah satu penyebab keolengan tak berujung, i mean KAYAKNYA AKU MULAI OLENG KE MAS LINO INII 😭

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Back Door Opening Video itu salah satu penyebab keolengan tak berujung, i mean KAYAKNYA AKU MULAI OLENG KE MAS LINO INII 😭

Lupi Frigus; HyunjeongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang