17; Persona

1.6K 253 4
                                    

"ESCANDER ELAMA!" Felix berteriak lantang. Tangannya teracung, meraba udara kosong yang kini dipenuhi dengan cahaya keunguan. Seperti kunang-kunang, cahaya itu mengelilingi tubuh Felix. Wajahnya yang tertekuk dengan mata terpejam, dan rasa sakit yang masih menjalar di kepalanya, membuatnya bekerja lebih keras untuk mantra itu.

Sebuah lingkaran muncul dan memutarinya. Lingkaran itu mengeluarkan cahaya terang, warnanya tetap saja ungu. Sekarang, saat cahaya yang dikeluarkan lingkaran itu meninggi dan membungkus Felix, perlahan ia dapat membuka matanya.

Hatinya mengharapkan hasil yang setimpal. Mantra ini nyaris tidak pernah digunakan, namun Felix berhasil melakukannya saat ini. Escander Elama merupakan mantra yang biasa digunakan oleh salah seorang penyihir. Ia menggunakannya untuk melihat masa lalu atau pun masa depan. Sayangnya, diantara banyaknya penyihir, hanya satu orang yang dapat menggunakannya.

Penyihir yang dimaksud adalah satu diantara tujuh penyihir agung.

Blam! Sebuah ledakan kecil menghantam tubuh Felix. Membuatnya terpental dua meter ke belakang. Punggungnya tergores sudut meja, tidak berdarah, namun tetap saja terasa perih. Dalam batinnya, ia tidak akan menyerah semudah itu. Kedua kakinya dipaksa untuk berdiri. Kembali melangkah masuk ke dalam lingkaran.

Ia kembali duduk, mulai meningkatkan konsentrasi yang lebih melimpah dari sebelumnya. Tangannya kembali terangkat seraya mata yang ikut memejam. Bibirnya siap membaca mantra yang entah bagaimana mulai membuatnya kelu. "Escander Elama!" Felix mendesis, mempertegas setiap suku katanya.

Cahaya yang bertebaran itu bertambah. Semakin banyak, semakin memenuhi ruangan. Jika dilihat dari luar ruangan, mungkin pintu masuk ruangannya telah menyelipkan sinar terang yang mampu menyilaukan mata.

Dua puluh detik berlalu, Felix belum merasakan apa pun yang memungkinkannya untuk melihat apa yang ingin ia lihat.  Napasnya terengah, sejenak ia menghela napasnya panjang, lalu mengeluarkannya dengan berat. Kembali, ia membuka netranya secara perlahan.

Tidak.

Tak ada apa pun. Apa yang berdiri di hadapannya tetap sama---- sebuah almari yang berisikan 60 tanaman wizard---- bukan seseorang yang mungkin saja bagian dari masa lalunya.

Kali ini, hatinya benar-benar kebas. Rasa sakit tiada tara yang menyiksa kepala, membuatnya lebih memilih untuk berdiri dan berjalan pada tumpukan bantal empuk di atas kasur. Sorot matanya yang selalu bersemangat, kini meredup perlahan-lahan.

"Sebenarnya, mengapa dia hadir dalam pikiranku?" Tanyanya dengan berbisik pada diri sendiri. Felix kembali menghela napas. Tubuhnya merosot, posisinya kini berbaring di atas ranjang. Tidak terlalu lama, kini ia berbalik, tidur menyamping ke arah kiri.

Lilin tua yang telah berumur panjang---dilihat dari betapa banyak bagian tubuhnya telah meleleh--- menjadi temannya dalam sepi. Bersama dengan pikirannya yang larut oleh hal-hal aneh, dan kegagalan mantranya untuk menemukan jawaban itu. Ah, mungkin dia akan menemukan jawaban atas pertanyaan itu. Jawaban atas sakit kepalanya yang tak tahu diuntung. Ya, tapi mungkin tidak dengan cara itu.

Matanya kini mengerjap, membayangkan apa yang mungkin terjadi setelah ia mengetahui jawaban itu. Jam selalu berdetak, lambat sekali detiknya berjalan. Suaranya sedikit mengintimidasi, namun Felix seolah tidak peduli. Seharusnya, Felix menjadi seseorang yang sentimen pada hal-hal kecil bahkan detak jam sekali pun. Biarlah, hari ini ia sedang sakit kepala. Jadi, tak berminat melakukan atau memperhatikan apa pun.

Perlahan, matanya tertutup. Felix mulai mengantuk. Kelopaknya terasa berat untuk dibiarkan terbuka, sayangnya matanya lelah bekerja ekstra untuk hari ini----sebenarnya, semalam ini. Jadilah ia memejamkan matanya, namun tetap dengan pikirannya yang berkelana kemana-mana. Napasnya mulai teratur, namun ia masih terbangun.

Lupi Frigus; HyunjeongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang