24; Profligat

1.3K 256 15
                                    

Splash!

Jeongin dan Jisung sampai pada sebuah hutan belantara. Tidak, jelas sekali ini bukan Amissa. Dari jauh, terlihat cahaya–cahaya terang dari gedung pencakar langit. Sayang sekali, Jeongin tak memiliki ide tentang dimana lokasi mereka saat ini.

Hela napas berat terdengar. Pandangan mata Jeongin mengabur, sembab setelah dibuat menangis selama proses kepulangan. Dadanya sesak, masih terasa ganjil kala harus meninggalkan Hyunjin dan rintihannya di Amissa.

Siapa yang membawaku pulang? Jeongin membatin. Matanya melirik ke arah Jisung yang masih tak sadarkan diri. Ah, kondisi Jisung sangat buruk. Setidaknya, ia harus mencari jalan raya atau menemukan perkampungan untuk dimintai tolong.

Tangan Jeongin terangkat, lalu mengangkat Jisung agar naik ke punggungnya. Menggendong Jisung mungkin terasa sedikit berat, tapi ia tidak memiliki pilihan lain. Perlahan, Jeongin mulai melangkahkan kaki. Sepuluh langkah pertama, ia gunakan untuk membiasakan diri dengan beban di punggung. Selebihnya Jeongin mulai terbiasa.

Gelap gulita. Tidak ada satu pun pencahayaan yang membantu— tolong kecualikan sinar purnama nan setia menemani. Jeongin menyipitkan mata, berusaha memperluas jarak pandang.

Pohon–pohon pinus berdiri gagah, seolah bersedia menjadi penyambut kepulangan Jeongin. Harumnya yang khas— astaga! Bahkan belum beberapa jam, Jeongin sudah teringat akan kamarnya di kastil sana. Hutan Pinus selalu menjadi pemandangan indah dari jendela kamar, bukan?

Ini perasaan yang janggal.

Jeongin pulang ke rumah, namun terasa seperti ia yang baru saja pergi meninggalkan rumah.

Jeongin terus merengsek maju, menelusuri hutan demi mencari jalan keluar. Tak jarang kakinya tercebur ke dalam genangan lumpur. Becek dan tidak nyaman. Tapi, Jeongin tidak akan merasa kelelahan semudah itu.

Dia jodoh serigala terkuat di Amissa. Akan dikemanakan wajahnya jika melewati lumpur becek saja sudah mengeluh tak terima?

Tidak pantas.

Berhelai–helai daun telah disibak, dijauhkan dari jalannya. Jeongin mendesah sebal. Andai kata Felix ada bersamanya saat ini, mungkin saja dia sudah sampai di rumah sakit. Tidak. Bahkan dia sudah tidur–tiduran di rumah, sambil memeluk Ibu saking rindunya. Andai.

Ya, bagaimana pun, semua itu tinggal sebuah angan. Imaji belaka yang entah kapan akan terealisasi kembali.

"Tunggu sebentar," ujar Jeongin sembari mendekati sebuah pohon besar. Akarnya menjulang, timbul di atas tanah. Tangan Jeongin mulai menyisir batang pohon besar tersebut.

"Kita—" Kini, pandangannya mengedar. Meneliti sekitarnya, menyorot pepohonan, rumput, hewan malam, serta indahnya langit malam. "Kita kembali ke tempat semula," gerutunya.






Aaauuuu!

Lolongan serigala menggema dari berbagai arah. Sahut menyahut, meneriaki satu kawanan menuju kawanan lain. Jeongin tercekat di tempat kala suara–suara itu bersorak semakin gaduh.

Tak kehabisan akal, Jeongin sigap mengeratkan kalung tangan Jisung di lehernya. Kakinya mundur beberapa langkah, mulai memantau situasi. Lolongan para serigala terdengar semakin mendekat. Keringat dingin bercucuran.

Hap! Tubuhnya melaju kencang, melawan angin yang menyambar dengan kerasnya. Jeongin berlari, pergi sejauh yang ia bisa untuk menghindari area itu. Sesekali, tubuh Jisung nyaris merosot dan terjatuh ke lembabnya tanah. Tapi, tetap dengan fokus yang terasah tajam, Jeongin mampu mengendalikan keseimbangan pada tubuh Jisung. Seolah menjadi satu tubuh, bersatu padu.

Lupi Frigus; HyunjeongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang