33; Amare

1.3K 247 45
                                    

Pagi, sekiranya pukul sembilan yang terlewat beberapa menit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pagi, sekiranya pukul sembilan yang terlewat beberapa menit. Denting peralatan makan telah beradu di atas meja. Menemani perbincangan santai mereka yang menyertai rasa syukur dari sang ibunda.

Malam ini, Jeongin tidak meracau seraya mencungkil penutup botol minuman. Perubahan yang begitu menyenangkan. Malam ini, putra tunggulnya justru tersenyum tanpa henti. Selalu memandang pemuda Daegu yang ia bawa dengan mata berbinar.

Hyunjin memelototi sebuah radio yang sengaja ibu hidupkan— kebiasaan paginya, mendengarkan radio untuk mengetahui kabar terkini. Matanya beralih, menatap Jeongin yang sibuk menyantap omelette di hadapannya. Lengannya menyenggol kecil, membuat si manis menoleh dengan mulut dipenuhi makanan.

Jeongin mengangkat alis, bertanya–tanya. Hyunjin menunjuk radio usang itu, "keluargamu penyihir?"

Ibu terbahak di tempatnya, tidak sanggup menahan tawa karena tingkah polos Hyunjin. Baginya, celetuk simpul yang Hyunjin keluarkan, hanya sebatas canda. Tidak lebih daripada itu.

"Kenapa kau menyebut kami penyihir?" tanya Ibu. Menghela napas, berusaha meredam tawanya yang berlebihan.

Sebuah lirikan kecil dilontarkan Hyunjin pada radio itu, "benda ini bisa bicara."

Lagi–lagi ibu tertawa, perlahan mulai menyukai Hyunjin. Selera humor bocah di depannya sangat bagus— karena, yeah, baginya itu hanya sekadar canda. Berbeda dengan Jeongin yang lebih sering melontarkan opini berbalik dengan dirinya.

Jeongin melebarkan mata, menyikut lengan Hyunjin secara kasar dan menyakitkan. Yang disikut justru terkekeh, ia tahu maksud dari tatapan Jeongin; kenapa kau bertindak bodoh seperti itu!?


"Jeongin." Ibu memanggil, menyantap omelette dari sebuah garpu perak yang berkilau. "Kapan kau memulai kuliahmu?"

"Aku tidak yakin, mungkin besok?" Jeongin tersenyum, mempertunjukkan kehangatan yang telah lama bersembunyi dalam dinginnya fantasi. Harapan–harapan yang pupus karena rasa kehilangan itu kini kembali secara utuh, dalam bentuk pria berambut gondrong di sebelahnya.

Sejujurnya, ibu selalu waspada dalam topik percakapan sejenis ini. Takut sekali anaknya merasa tertekan, atau bahkan merasa kalau ia tidak diberi waktu untuk menyelesaikan depresinya.

Terkadang ibu akan sedikit menyinggung topik perkuliahan ini dengan samar, berharap Jeongin tertarik dengan topik yang diangkat. Sayangnya, anak itu justru mengerang, kembali menutup kepalanya dengan selimut.

Kemarin, sebuah harapan besar datang dalam bentuk seorang pemuda Daegu dengan selera humor menakjubkan. Hyunjin kembali membawa secercah harapan di mata Jeongin. Bagi seorang ibu, tak ada yang lebih penting dari kebahagiaan anaknya. Maka ia akan dengan sangat bangga menyebut Hyunjin sebagai sebuah anugerah yang dikirimkan oleh Tuhan.

Lupi Frigus; HyunjeongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang