10; Cormeum

2.3K 431 104
                                    

Lepas tiga hari Jeongin tertidur di ranjangnya. Maka lepas tiga hari itu pula Hyunjin tidak melepaskan tangannya untuk berhenti menggenggam jemari dingin Jeongin. Kekasih manisnya itu tengah tertidur, pulas sekali hingga rasanya ia dapat tertidur selamanya.

Bahkan sekarang, Hyunjin berharap agar ia dapat bertukar tempat dengan Jeongin. Karena setidaknya aku tak akan merasakan sebuah kondisi dimana jantungku melemah. Tentunya tidak secara harfiah.

Ia menyentuh dadanya, merasakan tempo detak yang tidak normal. Sesak. Hyunjin menghela napas berat. Semakin hari, napasnya semakin tidak terlepaskan. Seolah jantungnya dipaksa berhenti sehingga paru-parunya pun ikut meliburkan diri. Hyunjin hanya ingin bernapas dengan lega, dan itu akan terjadi jika Jeongin telah pulih dari tidurnya.

Sebuah fakta yang ia ketahui tentang rasa sakit di dadanya adalah; jika Jeongin merasa sakit, maka jantungnya pun ikut merasakan kesakitan itu. Hyunjin tak tahu pasti tentang kebenaran fakta ini, tapi... Rasa sakit yang ia rasakan sekarang menjadi bukti yang cukup kuat. Bahkan terlalu kuat.

Ia menghela napas panjang. Memanjatkan jutaan doa agar Jeongin terlepas dari kutukan ini. Hyunjin tak pernah peduli pada kondisi orang lain. Ia hanya peduli pada dirinya sendiri. Jadi, bukan salahnya jika ia berpikir bahwa mendoakan Jeongin sama saja dengan menyelamatkan dirinya sendiri.

"Jika kau tidak bangun, aku akan terus membencimu," gumam Hyunjin tepat di telinga Jeongin. Percuma, ancaman itu tidak berhasil. Jeongin tetap pulas di ranjangnya. "Kenapa kau begitu egois? Lihat, nikmat sekali kau tertidur pulas sedang jantungku seperti diremas-remas."

Tak ada jawaban, hanya tersisa keheningan. Hyunjin mengadah. Tersenyum getir. Teringat bahwa ini adalah kali pertamanya meminta bantuan pada Tuhan. Hyunjin kembali mengingat saat-saat kala Minhyun menantangnya untuk memakan Jeongin.

Tidak... Aku tidak bisa memakannya.

Lelaki itu kembali menyentuh dada, kembali merasakan degup yang tidak teratur. Ia memejamkan mata, tersenyum getir sambil menghina dirinya sendiri. Jika saja ia bisa menjaga Jeongin dengan baik, apa semua ini tetap akan terjadi? Apa jantungnya dapat berdetak normal kembali?

Apa sekarang adalah saat bagiku untuk meyakini takdir? Meyakini bahwa manusia aneh ini memang jodohku? Batin Hyunjin, setelah menyadari betapa lumpuh jantungnya kala melihat Jeongin kesakitan seperti ini.

"Hyunjin?"

Sebuah suara menginterupsi Hyunjin, namun tak kunjung membuatnya menoleh. Hyunjin menghela napas berat, kemudian melepaskan genggamannya dari jemari Jeongin. Dengan segenap kekuatan yang ia miliki, sebuah senyum terpaksa ia ulaskan---hanya untuk orang ini.

"Kenapa kau kemari?" Hyunjin memutar tubuh, berpaling ke arah tabib manis di hadapannya. Hyunjin berdiri, mendekati Seungmin yang menatapnya khawatir.

"Kau tidak menemuiku," ucap Seungmin sambil memandang ubin yang terlihat dingin, bagai perasaannya tiga hari belakangan. "Kau... Kau lebih memilih untuk menemaninya."

Hyunjin meringis, mengamit tangan Seungmin. Menggiringnya menuju kursi di sudut ruangan. Mereka berdua duduk di sana, menghadap ke jendela yang menyajikan pemandangan rembulan. Seungmin tersenyum. Sejujurnya, ia merindukan saat-saat ini. Saat dimana hanya ada dirinya dan Hyunjin.

Rembulan berpendar indah, menampilkannya cahaya terbaiknya. Bulat total, ini malam purnama. Hyunjin selalu menyukai malam ini. Malam ketika bulan ini hadir. Hatinya menghangat, dan senyum indah tak ingin berpaling dari bibir tebalnya.

Lupi Frigus; HyunjeongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang