06; Scitote

2.5K 426 5
                                    

Satu jam telah berlalu, namun Jeongin tetap tidak memahami dirinya sendiri. Bagaimana aku mengenal Hyunjin? Bagaimana mungkin aku tahu dia HyunjinKami belum pernah bertemu, Ya Tuhan. Setidaknya, itu adalah kata-kata yang paling sering dirapalkan Jeongin dalam benaknya.

Berkali-kali ia melirik tajam ke arah Minhyun, namun laki-laki itu justru mengangkat bahunya. Terlihat tidak peduli dan tidak berminat untuk peduli. Sial. Jeongin sudah bertanya sejak tadi, tapi Minhyun benar-benar tidak membantu. Apa pula salahku? Geram Jeongin kala otaknya seolah tidak ingin diajak bekerja sama.

Di hadapannya, Hyunjin tengah tertidur pulas dengan napas berat. Di sebelahnya lagi, tampak seseorang yang sibuk mengganti kain basah di kepala Hyunjin. Sorot matanya terlihat begitu khawatir. Jika Jeongin perhatikan, orang itu terus membisikkan doa di telinga Hyunjin.

"Kau khawatir sekali, ya?" Jeongin tersenyum, menatap kedua iris orang itu. Yang ditatap langsung menunduk dalam. Mulutnya bungkam dan tangannya bergetar. Jeongin pikir orang itu gugup demi menjaga kesopanan. Tapi pada faktanya, Minhyun menatap tajam pada orang itu---tanpa Jeongin sadari.

"Kau boleh pergi, tinggalkan kami di sini," ucap Minhyun datar sambil berjalan mendekati Jeongin. Orang itu membungkuk, memberi penghormatan, kemudian berlari kecil meninggalkan tempat.

"Dia manis," ucap Jeongin sambil menatap kepergian orang itu. "Aduh, aku belum sempat mengenalnya."

"Dia Seungmin. Kim Seungmin. Dia seorang tabib, dan aku tidak menyukainya." Minhyun menghela napas, ikut menatap kepergian Seungmin dengan jengah. Beberapa saat kemudian ia menoleh pada Jeongin. Bersiap menjelaskan sesuatu, karena Jeongin telah mengeluarkan banyak pertanyaan dari tatapannya. "Ia hidup bersama kami, keluarga kerajaan. Semua orang menyayanginya, terutama Hyunjin. Anak itu... Ugh, bahkan Hyunjin tidak akan membiarkan seseorang menyentuh Seungmin."

"Aku juga memiliki sahabat, dia juga seperti itu. Menurutku itu sesuatu yang baik," ucap Jeongin---tetap dengan pandangan bingungnya. Di dalam benaknya, sosok Han Jisung muncul dengan senyum ceria. Mendadak Jeongin terpikirkan sesuatu, apa Jisung tidak akan mencariku?

"Aku tahu persahabatanmu dan Jisung adalah hal yang indah. Tapi mereka berbeda. Apa kau tidak melihat tatapan Seungmin?" Minhyun memijit pelipisnya, tiba-tiba ia merasa pusing.

Jeongin tersenyum simpul. Benar juga. Bahkan tanpa diberi-tahu pun, ia sepatutnya tahu. Tatapan Seungmin memang berbeda. Sorot kecemasan yang sama kala sahabatnya Jisung melihat Minho terbaring lemah di atas ranjang. Tanpa diberi-tahu pun, harusnya Jeongin mengerti kalau Seungmin tengah jatuh cinta.

"Omong-omong, bagaimana kau tahu kalau aku memikirkan Jisung?" Jeongin berjalan. Mendekati sofa, untuk kemudian duduk di atas dan menikmati rasa empuknya. Minhyun turut duduk di sebelah Jeongin.

"Aku selalu mengikutimu," ucap Minhyun sembari menyisir anak rambutnya dengan jari.

"Ah, benar juga. Itu... Sebenarnya aku tidak berpikir kalau Seungmin memiliki perasaan lebih pada Hyunjin. Apa itu hal yang buruk?" Jeongin bertanya. Sedikit khawatir dengan kemungkinan jawaban yang akan Minhyun berikan.

Hari itu Jeongin belum mengenal Hyunjin, maka dari itu ia menganggap perasaan Seungmin sebagai sesuatu yang sah.

"Kau percaya dengan kata jodoh dan benang merahnya?" Minhyun mengadah, menatap langit-langit ruangan yang remang karena hanya di sinari oleh lilin.

Jeongin mengangguk sebagai jawaban. Benar, bukan? Setiap orang bilang kalau jodoh bukan ketentuan kita. Jodoh adalah ketentuan Tuhan, dan kita tidak berhak bahkan tidak kuasa menentangnya.

Lupi Frigus; HyunjeongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang