20; Patrem

1.4K 211 7
                                    

Di dalam ruang dengan kegelapan yang menggelora di atmosfernya. Lima pilar bercahaya itu tetap berdiri kokoh. Tak pelak seorang lelaki berlengan dempal, dan tubuh tegap berdiri di tengah lima pilar cahaya itu. Matanya lurus, terhunus pada kursi tinggi yang biasanya ia duduki dalam pertemuan besar.

Park Jinyoung mulai mengangkat tangannya, menerawang udara kosong. Matanya terpejam rapat. Dalam pikirannya, ia membayangkan sesuatu yang benar-benar ingin ia lihat. Kenangan lama tentang putrinya, Shin Ryujin.

"Escander Elama," desisnya. Keningnya berkerut. Lima detik berlalu dengan keheningan.

Cahaya keunguan mulai berpendar, memenuhi ruang perkumpulan para penyihir. Disusul dengan lingkaran bercahaya yang melingkari dirinya. Lingkaran itu mulai mengeluarkan sinar. Pelan sekali sinar itu keluar. Tapi, ketika waktunya telah tiba, sinar itu berpendar hingga menggapai tinggi badan pimpinan tertinggi para penyihir itu.

Terdengar hembusan angin. Samar sekali suaranya. Ketika hembus angin itu menggapai telinganya, ia mulai membuka kedua matanya dengan perlahan.

Visual-visual 3 dimensi mulai tertampil di ruangan. Mempertontonkan potongan adegan dari masa lalunya. Walau terasa nyata, terlihat oleh mata dan dapat didengar, sayangnya gambar-gambar itu tak dapat disentuh. Semuanya hanya sekedar visualisasi, bukan sesuatu yang nyata. Bukan pula sesuatu yang dapat menghidupkan gadis itu kembali.

"Paman," panggil gadis berusia enam tahun---- anak perempuannya---- bernama Shin Ryujin. "Paman! Paman! Kalau Ryujin sudah besar, paman buatkan taman bunga seluas ini, ya!" Kedua tangannya membentang, membuat ukuran luas dengan gerak tangan mungilnya.

"Tentu saja." Dirinya---- di masa sekarang---- membalas perkataan bocah itu. Gadis itu tersenyum lebar, memamerkan gigi depannya yang ompong. Sekejap, matanya mulai berkaca-kaca.

Sekuat apa pun, ia tetaplah seorang ayah yang kehilangan putrinya. Dan sekarang, ia benar-benar merindukan anak gadisnya.

.

Enam belas tahun lalu, di dalam ruangan dengan jendela maha besar di tengah ruangan. Membuat seseorang dari atas kasur dapat langsung melihat ke indahnya pemandangan di luar sana.

Pria itu berdiri di sana. Dengan rahang keras dan tegas. Matanya menatap tajam ke luar jendela. Keriput yang tercetak di garis mata dan area sekitar mulutnya, jelas tak mampu menampik usia orang itu.

Di belakangnya, seorang wanita tengah mengejan mati-matian. Peluh keringat membasahi pelipisnya. Air matanya mengalir. Ia kesakitan. Beberapa wanita menahan tangan dan kakinya agar tetap terbuka lebar.

Persalinan dengan konstraksi yang menyiksa. Normal sekali rasa kesakitan itu hadir. Sayangnya, ini persalinan pertama yang ia hadapi.

Setengah jam berlalu, wanita itu tetap gigih untuk mengeluarkan buah hatinya. Kerutan di dahinya tak pelak menunjukkan siksaan yang ia rasakan. Air matanya kembali mengalir. Namun, ia tetap tidak akan menyerah. Demi anaknya.  Bagaimana pun, anak ini harus hidup untuk menyambut dunia. Menyebarkan kebahagiaan pada orang-orang di sekitarnya.

Setengah jam lagi telah terlewatkan. Kini, darah segar membasahi kasur yang ia tiduri. Pendarahan hebat. Para wanita di sekitarnya mulai berteriak khawatir, begitu pun dengan pria yang berdiri di depan jendela.

Ia beranjak mendekat, menatap khawatir. Kemungkinannya untuk selamat benar-benar tipis. Demi mendengar pekikan menyakitkan dari bibir ranum wanita itu, pria itu langsung menyambar tangannya. Menggenggamnya erat-erat. Takut kehilangan.

Lupi Frigus; HyunjeongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang