14; Aemulor

2.2K 376 48
                                    

Di antara sekian banyak perasaan yang pernah ia rasakan, cinta adalah sebuah perasaan yang paling tabu. Yang ia tahu, cinta adalah definisi perasaan yang hanya bisa ia pertontonkan kepada Kim Seungmin— kekasih, sekaligus anak kecil menggemaskan yang pernah tersesat di dalam hutan.


Hyunjin ingat betul, bagaimana aroma anak itu. Menenangkan, namun membuatnya mabuk kepayang. Aroma sedap malam. Seungmin memiliki aroma itu, aroma bunga sedap malam yang menenangkan. Lalu bagaimana dengan Jeongin? Bagaimana orang asing itu memiliki aroma yang sama, namun terasa... Lebih memabukkan?

Pertemuan pertamanya dengan Jeongin, diawali oleh tantangan aneh dari seorang Hwang Minhyun. Jika ia bisa memakan Jeongin, maka Minhyun akan memberinya kudapan— daging dan darah— setiap hari. Ini aneh, bahkan terlalu aneh. Aroma sedap malam itu, walau serupa dengan aroma Seungmin, namun memiliki sisi heroin tersendiri. Aroma Jeongin jauh lebih memabukkan, seperti LSD yang akan membuatmu hilang dari dunia.

"Yang Jeongin?" Hyunjin memanggil nama itu dari depan sebuah pintu. Ragu sekali tangannya untuk mengetuk, jadi yang bisa ia lakukan hanyalah merapalkan nama itu sepelan mungkin.

Apa yang dulu ia katakan? "Aku membencimu." Hyunjin menghela napasnya dengan berat. Kenapa juga ia harus mengatakan kalimat itu, jika tahu bahwa hati kecilnya akan bergejolak pada Jeongin. Kenapa ia harus mengatakan kalimat itu jika sekarang, yang ingin ia lakukan hanyalah memandang senyum lebar jodoh manisnya?

Rasa malu itu menjadi satu, membaur dengan perasaan gundah karena tak bertemu.

Krieeett! Pintu di hadapannya terbuka, menampilkan sosok yang sedari tadi membuatnya linglung tiada tara. 

"Ada apa?" Jeongin tersenyum kikuk, tidak mengerti dengan ekspresi dungu yang dikeluarkan oleh Hyunjin.

Hyunjin meneguk ludahnya dengan kasar. Sekarang, apa yang harus ia katakan? 'Bagaimana kabarmu?' Tidak. Hyunjin tidak bisa menampilkan sosok perhatian seperti itu, setelah semua sikap dingin yang ia tunjukkan. Otaknya kembali berpikir, apa yang harus ia lakukan?

"Madam Shinhye memintamu datang ke kedainya." Pernyataan hebat. Hyunjin harus mengasihani dirinya sendiri sekarang. Hei, kapan Madam Shinhye meminta Jeongin untuk datang ke tempatnya?

"Ah, aku akan datang nanti," ucap Jeongin seraya kembali menutup pintu kamar.

Hyunjin membulatkan mata, cepat-cepat menahan pintu itu agar tak ditutup oleh sang pemilik. Ia terbatuk kecil, kembali memasang wajah datarnya.

"Ia memintaku untuk mengantarmu." Hyunjin menatap datar, membuat raut terpaksa yang sungguh berlebihan. "Jadi, cepat bersiap dan kita akan pergi bersama."

Jeongin terdiam, memutuskan untuk mencerna kata-kata Hyunjin. Melihat dari raut terpaksa yang serigala itu lontarkan, jelas Hyunjin tidak ingin mengantarnya— setidaknya, itu yang dipikirkan oleh Jeongin.

Jeongin menghela nafas, tersenyum kecil. "Aku bisa pergi sendiri, kalau kau malas."

"Tidak!" Hyunjin menjulurkan tangan, membuat tanda bahwa ia tidak keberatan. Sedetik kemudian ia terbatuk, menarik tangannya kembali. "M-maksudku, aku memang keberatan, tapi Madam Shinhye sendiri yang memintaku."

"Tapi aku bisa berangkat sendi—"

"Tak bisakah kau diam dan menuruti ucapanku!?" Hyunjin mendesah, menutupi wajahnya sendiri karena kelepasan meninggikan suara.

Yang lebih muda mengerjapkan matanya sejenak. Ikut mendesah. Pada akhirnya mengiakan ucapan Hyunjin untuk berangkat bersama. Percuma saja ia menolak, Hyunjin akan tetap memaksa, bukan?

"Kau tahu? Terkadang aku tidak mengerti dengan jalan pikiranmu," ujar Jeongin seraya menyunggingkan seulas senyuman.

"Apa?"

"Maksudku, bagaimana bisa kau terlihat kikuk dan menyebalkan di saat yang bersamaan? Itu terlihat tak adil. Kau mulai membuatku bingung."

Hyunjin mengerutkan alisnya. "Bingung?"

"Jangan bersikap seolah kau menginginkanku. Aku tahu, Hyunjin. Aku tahu. Aku tahu kau menggenggam tanganku saat aku tak sadarkan diri. Kau bersikap seolah aku adalah orang yang penting dalam hidupmu." Jeongin menekankan kalimat terakhirnya.

"Kau tahu aku membenc—"

"Ya, aku juga tahu kalau kau membenciku dan hanya mencintai Seungmin," ucap Jeongin dengan tatapan kosong. Tak lagi berminat untuk menatap kedua mata tajam Hyunjin.

Satu rahasia lagi. Jeongin selalu memimpikan sosok yang saat ini tengah berdiri di hadapannya. Sosok Hyunjin. Sosok yang entah bagaimana bisa menghantui pikirannya.

Di lain sisi, jantung Hyunjin terasa seolah dicabik. Melihat raut sengsara Jeongin yang jika bisa ia simpulkan, raut sengsara itu disebabkan oleh dirinya. Seseorang yang plin-plan dan tak tahu cara mendefinisikan perasaannya.

Hyunjin meneguk ludah. Memaksakan tangannya untuk terulur ke depan, dan dalam hitungan detik, ia telah merengkuh tubuh kekasihnya. Kekasih yang seharusnya ditakdirkan untuk Hyunjin. Dekapan itu tidak memaksa dan arogan, namun terasa hangat dan penuh penderitan.

Ia memeluk tubuh Jeongin semakin erat, menenggelamkan kepalanya di antara ceruk leher sang kekasih. Bibirnya bergetar, antara malu dan harus mengatakan kalimat ini.

"Maaf... Aku benar-benar meminta maaf. Berhentilah menderita dan mari hidup dengan bahagia. Di sisiku. Selalu."

Hening.

Tak ada lagi yang bersuara selain gemuruh jantung yang beradu. Berlomba-lomba tentang siapa yang berdebar paling cepat.

.
.
.

maaf karena— lagi-lagi— aku telat update.

+bonus tangisan Madam Shinhye yang meratapi ke-super-terlambatanku :')

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

+bonus tangisan Madam Shinhye yang meratapi ke-super-terlambatanku :')

Lupi Frigus; HyunjeongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang