19 [Permintaan Papa]

3.2K 452 8
                                    

.

.

.

"Whoa!! Es kriiimm!!"

Jihoon berteriak heboh sampai tepuk tangan melihat kantung kresek berisi beberapa buah es krim dengan flavor berbeda terlempar di hadapannya. Jihoon yang semula asyik bermain game di ponselnya di atas karpet kamar Guanlin mendadak melupakan game-nya begitu saja, lantas mengambil salah satu es krim cone dan memakannya dengan senyum yang tidak luntur sedikitpun.

"Makasih ya!", ucap Jihoon menatap es krim dan orang yang memberinya es krim sebanyak itu. "Tapi kenapa banyak banget?"

"Ucapan terima kasih.", jawab Guanlin sambil menyalakan laptopnya. Ngomong-ngomong Guanlin belum berani menatap Jihoon pasca kejadian di kelas tadi.

Guanlin merutuki kebodohannya yang dengan mudahnya mengungkapkan sesuatu yang baru-baru ini disadarinya. Sesuatu yang seharusnya ia pendam tanpa harus ia ungkapkan -dihadapan Jihoon pula.

Guanlin tidak sengaja mengungkapkan isi hatinya, salahkan Jihoon yang terlampau indah dengan senyumannya, membuat jantung Guanlin berdebar hebat mengalahkan debaran yang ia rasakan ketika gugup. Alhasil Guanlin tidak mampu mengontrol bibirnya untuk bergerak, mengucapkan sebuah kalimat paling memalukan bagi seorang manusia kutub sepertinya.

'Jihoon, gue sayang lo.'

Mengingatnya saja sudah membuat pipi Guanlin memerah hingga cuping telinga. Menatap Jihoon-pun sepertinya sangat sulit. Padahal Jihoon tidak menunjukkan reaksi apa-apa sampai saat ini. Sepertinya Jihoon tidak memahami isyarat yang Guanlin berikan. Dan semoga saja, iya. Guanlin tidak ingin hubungannya dengan Jihoon menjadi canggung, atau lebih parah, Jihoon akan menjauhinya.

Tidak, tidak! Guanlin hanya punya Jihoon saat ini. Dia tidak akan membiarkan Jihoon menjauh hanya karena perasaan bodoh yang ia miliki.

"Sumpah! Lo hebat banget tadi."

Guanlin tersentak saat sebuah tangan meremas bahunya. Tidak menyakitkan namun justru membuat nyaman. Entah sejak kapan Jihoon berdiri dari karpet bulu yang semula diduduki, lalu menghampiri Guanlin dari belakang.

"A-apaan? Biasa aja."

Jihoon berdecak, lalu membuang bungkus es krim yang baru saja habis dimakannya ke tempat sampah di samping meja belajar Guanlin.

"Beneran! Aura lo keluar gitu waktu presentasi tadi. Kayak CEO di drama yang mimpin rapat di hadapan bawahannya. Percaya atau nggak, tadi gue liat anak-anak berdecak kagum sama penampilan lo. Mungkin sebagian juga nggak nyangka kalo lo nggak semenakutkan kayak biasanya.", jelas Jihoon dengan semangat sambil menepuk pundak Guanlin berulang-ulang. Tidak tahu saja kalau kini wajah Guanlin semakin memerah dan berusaha untuk menyembunyikannya dari Jihoon.

Jihoon terbiasa menyentuhnya dengan akrab, namun entah mengapa kali ini Guanlin merasa lain. Dia gugup.

"Eh? Kok wajah lo merah banget? Sakit lagi?" 

Sayangnya, Jihoon melihatnya. Dia kini berlutut di samping Guanlin, mengangkat tangannya berniat memeriksa suhu tubuh Guanlin.

"Enggak!" Guanlin menjauhkan tubuhnya dari Jihoon. Dia berdiri, menyambar kunci motornya dan jaket di lemari dengan asal. Membiarkan Jihoon melongo dan mengikuti gerakannya yang terlampau aneh.

"Sana pulang! Gue mau pergi.", usir Guanlin tanpa melihat Jihoon. Sudah tahu kan kalau Guanlin masih tidak bisa memandang Jihoon secara langsung? Kalau Jihoon tidak mampir ke kamarnya, mungkin Guanlin juga tetap menghindar.

"Kemana?"

"Bukan urusan lo." Guanlin tidak bermaksud kasar, tapi dia tidak tahu lagi bagaimana cara agar Jihoon tidak bertanya macam-macam. Toh pergi keluar hanya alibi Guanlin agar dirinya tidak berlama-lama berdekatan dengan Jihoon. Bisa berdampak buruk bagi kesehatan jantungnya.

His Dark Side [PanWink] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang