36 [Keputusan]

2.3K 350 66
                                    

Hi, all? *giggles*

Enjoy 3,4k+ words! Semoga gak mengecewakan :)

.

.

.

Cklek!

Guanlin melongokkan kepalanya di pintu ruang kerja Papa. Melihat pria paruh baya itu tengah duduk di kursi kerjanya.

"Masuk, Lin."

Guanlin meremat benda di tangannya, lalu berjalan masuk menghampiri Papa.

"Ada yang mau Linlin omongin, Pa."

Papa mengalihkan pandangan dari layar laptopnya. "Soal?"

Guanlin tidak menjawab, hanya menyerahkan sesuatu yang sedari tadi ia genggam. Amplop putih berisi surat yang tampak kusut karena ia remat. Papa menatap Guanlin dan amplop itu bergantian, lantas mengambil dan membaca isinya.

Tak disangka, seulas senyum terbit di bibir pria paruh baya itu. Dia berdiri menghampiri Guanlin yang tampak gugup. "Ini..."

"Iya. Surat keterangan kalau Linlin diterima disana.", jelas Guanlin dengan kepala menunduk dalam.

"Selamat, jagoan Papa!", ucap Papa tulus sambil menarik Guanlin dalam pelukannya. "Kamu udah yakin mau ambil itu, kan?"

Guanlin menghembuskan nafasnya. "Linlin masih belum tau, Pa."

Papa melepas pelukannya dengan kening berkerut. "Kenapa? Itu kan kesempatan emas kamu. Papa udah sering denger nama universitas itu beberapa kali, dan disana memang sangat bagus.", jelas Papa. "Lagian, Papi kamu dulu nggak mungkin merekomendasi kalau disana nggak bagus."

Memang, Guanlin tidak pernah menyembunyikan pada Papa jika ia dan Mama bertemu di gereja waktu itu. Guanlin memberitahu semuanya, termasuk ketika Mama pergi bersama suami barunya. Reaksi Papa? Tidak terlalu terkejut. Bagi pria itu, tidak ada yang perlu dipikirkan karena mantan istrinya berhak bahagia. Mungkin karena mendengar ucapan Papa itulah, Guanlin perlahan bisa menerima papa tirinya dan bahkan memanggilnya dengan sebutan Papi di sambungan pertama teleponnya. Waktu itu.

"Terus gimana sama Papa? Dengan kantor cabang Papa yang harus aku pimpin nanti? Kalau diterima, Linlin harus pergi beberapa tahun."

"Papa masih cukup kuat buat handle urusan kantor, Lin. Dan soal kamu yang ninggalin Papa, itu adalah hukuman yang harus Papa terima."

"Hukuman?"

"Iya, hukuman karena Papa juga sering ninggalin kamu di rumah sendirian."

Guanlin terkesiap. Bibirnya terasa kaku untuk bicara. "Pa-"

"Pikirin baik-baik, oke? Papa serahin semuanya ke kamu." Sekali lagi, Papa tersenyum menenangkan. "Dan satu lagi. Ini kesempatan kamu buat deket lagi sama Mama kamu. Kalau itu bikin kamu bahagia, Papa nggak bisa ngomong 'nggak'."

Papa benar. Tapi kenapa Guanlin masih terasa berat?


...


Tak terasa, ujian semester genap sudah berakhir. Ya, semester genap atau kenaikan kelas. Jihoon dan kawan-kawan akan memulai tahun ketiga setelah liburan nanti.

Sangat cepat, bukan?

Jihoon juga tidak menyangka hari-hari berlalu secepat kilat. Padahal rasanya baru kemarin Jihoon menghadapi berbagai masalah yang melibatkan Guanlin dan Daniel (meski kedua lelaki keras kepala itu belum menunjukkan tanda-tanda berbaikan sampai detik ini). Lalu kondisi ayah yang dulu membuat Jihoon cemas menunggu kabarnya dari Daniel, kini -syukurlah- sudah melewati masa kritisnya. Meski tetap saja beliau harus berada dalam pengawasan dokter di rumah sakit.

His Dark Side [PanWink] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang