37 [Bahagia]

2.2K 331 27
                                    

Sambil nunggu buka puasa. Enjoy!
Attention! Nggak diedit.

.

.

.

Guanlin keluar dari pintu utama rumahnya bersama sebuah ransel besar berisi keperluannya untuk beberapa hari di Taiwan. Tentu urusan studi-nya tidak akan berakhir dalam satu hari, terlebih Mama pasti tidak akan membiarkannya langsung pulang ke Korea. 

"Paspor kamu jangan sampai ketinggalan, Lin.", ucap Papa memperingati. Pria itu mengantar Guanlin hingga ke depan teras, memastikan jika tidak apapun yang dilupakan Guanlin hingga menimbulkan penyesalan nanti disana. Bagaimanapun jarak Seoul-Taipei cukup jauh untuk bolak-balik mengambil sesuatu jika tertinggal.

"Udah, Pa. Udah Linlin siapin semuanya kok.", balas Guanlin membuat Papa bernafas lega. Pria paruh baya itu lantas tersenyum, mendongak untuk mengacak puncak kepala Guanlin yang juga balas tersenyum tipis. 

"Hati-hati di jalan."

Guanlin mengangguk. Tanpa aba-aba, Guanlin memeluk Papa dengan erat, hingga membuat ayah kandungnya itu sedikit berjingkat karena terkejut. "Makasih, Pa. Linlin janji nggak akan bikin Papa nyesel karena relain aku pergi."

Papa tersenyum lembut. Membalas pelukan Guanlin dan mengusap punggung putranya perlahan. "Iya, Lin. Sampai kapanpun Papa nggak akan pernah nyesel. Inget, Papa akan terus dukung pilihan kamu. Selama itu yang terbaik buat kamu."

Pelukan itu terus berlanjut sampai Papa teringat oleh sesuatu.

"Kamu udah ngomong sama Jihoon perihal kepergian kamu nanti, kan?"

Senyuman Guanlin menghilang. Ah ya, Jihoon. Guanlin melirik rumah Jihoon di sampingnya.

Sebenarnya, sejak tadi malam Guanlin tidak bisa tidur nyenyak. Memikirkan Jihoon yang berada di kamarnya yang gelap. Pikirannya berkecamuk. Jihoon mengizinkannya pergi atau tidak? Bagaimana jika Jihoon melarangnya pergi? Memangnya Guanlin bisa berkata tidak? Lalu bagaimana dengan Mama, Steve, dan Papa? Meski Guanlin juga sangat berat meninggalkan Jihoon, namun ia juga tidak ingin mengecewakan orangtuanya. Dan masih ingin mewujudkan keinginannya untuk menjadi seorang Lai Guanlin yang berbeda.

Sepanjang malam hanya Guanlin gunakan untuk berspekulasi, tanpa berniat menghubungi Jihoon untuk sekedar meminta maaf atas keputusannya. Satu-satunya yang Guanlin pahami, Jihoon perlu waktu untuk sendiri.

"Udah, Pa.", jawab Guanlin akhirnya, dengan lesu.

"Dia bolehin kamu pergi?"

"Nggak tau."

Papa menggelengkan kepala tak habis pikir. "Coba kamu omongin lagi baik-baik. Pelan-pelan Jihoon pasti ngerti, kok. Jihoon cuma nggak mau jauhan sama pacarnya."

"Papa... tau?" Guanlin terkejut. Seingatnya, ia tidak pernah sekalipun membahas hubungannya dan Jihoon di depan Papa.

Papa terkekeh. "Walaupun sibuk, jangan dikira Papa nggak tau apa-apa soal hubungan kalian. Papa juga tau alesan lain kenapa kamu ragu masuk sekolah itu karena nggak mau ninggalin Jihoon. Papa bener, kan?"

Guanlin mengangguk pelan -jujur. Tak lama kemudian, terdengar suara mobil terhenti di halaman rumah. 

"Papi udah dateng. Linlin berangkat ya, Pa.", pamit Guanlin, bersiap membawa perlengkapannya.

"Hm. Jangan lupa telpon Papa kalau udah nyampek."

Steve turun dari mobil. 'Dua ayah' Guanlin saling melempar senyum lalu menyapa akrab. Guanlin lalu masuk ke kursi penumpang di belakang bersama ranselnya. Tak lama kemudian, Steve ikut masuk dan duduk di samping Guanlin.

His Dark Side [PanWink] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang