41 [Time] -END{2/2}-

3.3K 331 37
                                    

.

.

.

FLASHBACK

Lima tahun lalu...

Jihoon merasa dunianya hancur. Tidak pernah menyangka jika diumurnya yang belum genap dua puluh tahun, ia harus kehilangan dua orang berharga dihidupnya. Dulu, beberapa tahun lalu, ibu kandungnya meninggal dunia. Dan beberapa jam yang lalu, sang ayah menyusul pergi ke surga. Jihoon tidak bisa memungkiri, jika orangtua kandungnya memiliki tempat lebih spesial daripada Ayah-bundanya.

Ayah meninggal dunia. Nafasnya terhenti berhembus setelah tujuh hari mendapat perawatan intensif di Rumah Sakit. Kondisinya semakin menurun dan menurun, terenggut oleh penyakit kanker yang dideritanya. Dan sebelum ayah berhasil melewati masa kritis, Tuhan lebih dulu memanggil beliau.

Meninggalkan dua putranya yang tak berhenti berdoa dan menemaninya sepanjang hari. Menghiraukan penampilan yang berantakan dan kehilangan rasa lapar. Kalau tidak diingatkan Bunda dan dibekali makanan bergizi, mungkin Jihoon dan Daniel tidak akan mendapatkan asupan energi sama sekali.

Di malam hari, rumah duka mulai ditinggalkan oleh para pelayat. Sebuah ruangan yang digunakan sebagai tempat penghormatan terakhir pada mendiang ayah telah sepi. Hanya tersisa peti putih yang dihiasi rangkaian bunga dan foto besar di tengahnya. Foto ayah yang tengah tersenyum dan masih tampak segar bugar. 

Dan jangan lupakan keberadaan Jihoon yang terduduk lemas di samping peti ayah. Sendirian. Terlalu keras kepala untuk tetap berada di ruangan itu ketika setiap orang memintanya untuk beristirahat sebentar di ruangan lain yang lebih nyaman. Entah itu ayah Heojoon, Bunda, Daehwi, Hyungseob, Daniel dan Seongwu sekalipun tidak dihiraukan oleh Jihoon.

Mata Jihoon tampak sembab, pipinya basah oleh air mata yang tak kunjung berhenti mengalir. Tubuhnya yang dibalut pakaian hitam itu sangat lelah, namun beristirahat berada di daftar terakhir Jihoon saat ini.

Jihoon belum ingin tidur. Belum ingin meninggalkan tubuh tak bernyawa ayah yang tertidur di dalam peti putihnya. 

"Jihoon-ah...", panggil Daniel, untuk kesekian kalinya. Daniel mulai putus asa membujuk Jihoon. Yang jelas, baik dirinya maupun Jihoon perlu istirahat malam ini, sebelum besok pagi mempersiapkan pemakaman ayah. Terlebih Daniel tidak ingin Jihoon nge-drop esok harinya.

"Hyung tidur duluan aja. Aku masih pengen disini.", ucap Jihoon, seakan tau mengapa Daniel memanggilnya. Suaranya serak karena menangis seharian. 

Daniel tidak lagi bicara. Ia berbalik dan pandangannya langsung tertuju pada seseorang yang berdiri tak jauh darinya.

"Jihoon masih belum mau keluar?", tanya Seongwu sambil mendekati Daniel meski langkahnya masih sedikit tertatih. 

 Daniel menggeleng pelan. "Aku nggak tau gimana cara mbujuk dia. Jihoon perlu istirahat, Wu."

"Aku tau. Tunggu bentar lagi, ya. Jihoon pasti mau istirahat setelah ini."

Kening Daniel mengerut. "Setelah ap-"

Srek!

"Hyung!"

Daniel dan Seongwu refleks menoleh ke asal suara. Seongwu tersenyum lega, sementara Daniel tampak terkejut.

"Guanlin?", panggil Daniel tak percaya. Yang ia tau dari Daehwi, Guanlin telah pergi ke Taiwan satu minggu lalu. Tapi kenapa dia ada disini?

"Udah nyampek dari tadi?" Sebenarnya Seongwu masih tidak percaya kalau Guanlin benar-benar datang kemari. Padahal maksud Seongwu memberi kabar tadi siang hanya agar Guanlin tau, tanpa meminta Guanlin terbang ke Seoul. Seongwu sudah bilang agar Guanlin tidak perlu khawatir, Jihoon baik-baik saja bersama mereka -Seongwu, Daniel dan lainnya-. Namun entah bagaimana Guanlin keukeuh mencari jadwal penerbangan tercepat. Tentu Seongwu tidak bisa melarangnya.

His Dark Side [PanWink] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang