Unspoken truths

1.6K 244 81
                                    

Jimin tidak menyangka pertemuannya kembali dengan Jeon Jeongguk akan secepat ini, bahkan lebih cepat dari perkiraannya. Namun tidak menjadi masalah besar juga bagi Jimin, karena ia merasa lebih cepat bertemu akan jauh lebih baik. Mau berbicara soal desain? Atau berbicara mengenai Taehyung? Atau mungkin keduanya? Akan Jimin layani dengan hangat, selama Jeongguk tidak melarangnya untuk mendekati Taehyung.

Langkah kaki supervisor muda tersebut mengantar mereka sampai pada sebuah bar sederhana, dan Jimin menaikkan sebelah alis sebagai respon, sedikit merasa heran. Tumben-tumbenan golongan elit sepertinya mau mampir ke tempat seperti ini?

"Kita tidak sedang berkencan, jadi aku rasa tidak perlu membawamu ke tempat mahal ataupun romantis," seolah bisa membaca pikiran, Jeongguk menjawab isi kepala Jimin tanpa sedikitpun menoleh.

Jimin mendengus. Lelaki Alpha itu ternyata punya selera humor sarkas yang bagus juga. Sebelas dua belas lah dengan hyung favoritnya, Min Yoongi.

"Bir? Atau tequela, mungkin?"

"Mocktail saja, terima kasih." Jimin tersenyum dan menarik stool terdekat, lalu duduk di atasnya. Suasana menjelang malam di bar tersebut tidak terlalu ramai, kebanyakan adalah pria paruh baya yang melepas lelah seusai bekerja.

"Kupikir kau peminum yang handal," Jeongguk menyeringai.

Jimin membalasnya dengan senyum kalem. "Seseorang yang aku sayang selalu mengingatkanku untuk mengurangi minum-minuman beralkohol karena dia tidak ingin aku sakit. Jadi kuturuti saja permintaannya, kasihan kalau dia khawatir terus padaku."

Jawaban simpel, namun cukup untuk membuat seringai di wajah tampan Jeongguk turun pangkat. Jeongguk memang tidak tahu siapa yang dimaksud Jimin dengan 'seseorang' itu, namun jelas hati Jeongguk tidak senang mendengarnya. Pria bertubuh atletis itu menatap datar sejenak, kemudian memutar tubuh menghadap meja bar, melambaikan tangan pada bartender. "Satu black russian, dan virgin colada."

"Baik."

Setelah bartender berbalik badan, Jeongguk menoleh lagi pada Jimin yang sedang sibuk dengan ponselnya.

"Sudah terima e-mail dariku?"

"Sudah, dan sekarang masih dalam masa pengerjaan, Jeongguk-ssi," jawab Jimin, dengan fokus yang berpindah dari ponsel menuju pria di sampingnya. "Masih ada waktu seminggu sebelum deadline yang kau berikan. Kau memilih alternatif pertama, bukan? Kalau boleh tahu, apa alasannya?"

"Roman Imperium. Lebih menggambarkan karakterku. Lagipula desainnya lebih masuk dengan eksterior rumah, bukankah begitu, Jimin-ssi?"

Jimin tersenyum tipis, lalu mengangguk. Jeongguk ini pria yang cerdas. Dia tahu tentang desain. Namun begitu, Jimin bisa membayangkan bagaimana wajah kecewa Taehyung ketika alternatif Pina Colada ternyata tidak dipilih, karena yang ia tahu, Taehyung sangat menyukai ide tersebut. "Kau benar. Roman Imperium memang cocok dengan eksteriornya. Tapi Pina Colada juga cukup menarik, menurutku. Toh desainnya bisa membawa warna baru di rumah Anda."

"Terlalu ceria."

"Namun cocok dengan kepribadian Taehyung."

Mata Jeongguk berkilat sekilas, dan ia memandang Jimin tanpa senyum sedikitpun. "Taehyung? Kau menyebut kekasihku?"

"....um, ya? Apa kata-kataku ada yang salah, Jeongguk-ssi?" Dilihatnya Jeongguk tidak kunjung merespon. Dan Jimin bertanya lagi. "Bukankah kamar itu nantinya akan kalian tempati berdua? Kurasa wajar saja kalau Taehyung menginginkan ruangan yang nyaman baginya, juga sesuai dengan apa yang menjadi karakter dan kegemaran-nya."

Love Cycle ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang