11. Dia, Teman, dan Senja

93 8 1
                                    

Di depan gue si perempuan bahasa gado-gado langsung perintah ini-itu padahal dia siapa gue? Ibu gue saja bukan, ini mengatur mulu kerjaannya. Setiap dia bicara saja gue tidak mengerti sama sekali.

"OH MY GOD YES, BUKAN BEGITU NANA!"

"TEEEROOOSS BEGIMANA, ZOOOEE?!"

"Udah, udah. Lagian gak terlalu penting kok ini."

Perempuan bahasa gado-gado berkacak pinggang sambil mengibas-ngibaskan bajunya-gerah. Dalam hati gue juga gerah, ya ampun.

"Nda bisa begitu, Shil. Aing nda mau maneh di cap jelek sama anak sini, aing always percaya sama maneh."

Kalau kalian penasaran apa yang dikerjakan si tukang gado-gado itu sampai minta tolong ke gue adalah temannya-Shilla-dijadikan babu oleh satu kelas lesnya. Gue tidak tahu masalahnya apa, dunianya Shilla berbanding terbalik dengan di sekolah.

"Udahlah, Zoy. Kasian Naelnya itu, lagian ini tugas gue."

"Tugas naon? Mana ada tugas sendiri yang bejibunnya kayak begitu. Aing tau pasti lu dikerjain lagi, kan?"

Gue menghela napas sambil memandang mereka berdua. "Sebenernya gue kagak ikhlas bantuin lu tap-"

Omongan gue diputus sebelah pihak oleh Zoe. "YA UDAH KALO GAK IKHLAS, BIAR AING YANG-AAAA SAKIT!!" teriak Zoe yang gue cubit bibirnya.

Banyak oceh nih sama seperti Sandi si ikan paus. Heran ibunya memberi makan apa sampai berisik banget.

Zoe mengusap bibirnya yang gue cubit tadi dengan wajahnya yang ditekuk marah. "Kasar sih jadi cowok."

"Diem makanya, atau bibir lu gue cium, hah?"

"Kalimat lu frontal banget, sih. Sering nonton anu, ya," tuduh Zoe menunjuk gue.

"Iya, emang ngapa? Lagian lu mau nonton bareng gue."

"Jijik. Heh, umur lu tuh masih dibawah 17 tahun, ngapain nonton," omel Zoe.

"Lah lu kok tau nonton anu? Emangnya-"

Ketiga kalinya seorang Nathanael Na membuat anak gadis menangis, bung.

Otomatis gue panik dan berusaha bagaimana pun biar dia tidak jadi menangis. Istilahnya seperti kalian membuat adik menangis kemudian bujuk dia biar tidak ketahuan ibu kalian, 'kan?

Karena gue pernah waktu rebutan remote televisi dengan Hazel. Dia ingin menonton Barbie, tapi gue ingin menonton Naruto.

Shilla mengelus punggung Zoe yang hanya sesegukkan. Kalau kata gue dia menangis, tapi tidak keluar air matanya. Mata Shilla beralih menatap gue yang bingung ingin berbuat apa. "Nael, kalo ngomong difilter dulu. Asal lu tau Zoe tuh-"

"Aing gak apa-apa, Shil. Santai aja kayak di pantai hehehe."

Tadi menangis, tapi sekarang malah tertawa-tawa, tak jelas banget. "Iya deh gue minta maaf, ngomongnya kagak difilter dulu. Lagian gue kagak punya filternya gimana, dong?"

"Najis, receh," ucap mereka berdua bersamaan.


🍃🍃🍃

Pukul lima lewat sembilan gue keluar dari tempat les, ya sebelum itu ada kuis matematika yang harus benar jawabannya. Sementara gue saja lemah dengan matematika, lah bagaimana ingin jawab yang benarnya?

Sekarang gue pulang urutan kelima terakhir dan itupun dibantu oleh Sandi karena saking kebodohan yang hakiki melekat di otak gue. Kaki gue jalan tak tahu arahnya ke mana, masalahnya ini masih sore dan kalau langsung pulang tidak seru.

Maka gue memutuskan untuk jalan ke taman sekitar Perumahan Erajin. Di sana tamannya lebih bagus dari pada taman Perumahan Omelas-tempat gue tinggal. Kelebihan lainnya juga karena bersih lalu banyak pohon yang rindag banget. Puitis banget si Nathanael memang.

Keluar dari gerbang utama sebenarnya langsung saja gue belok ke kiri, tapi satu pemandangan membuat gue pindah haluan, jadi langkah kaki gue ke kanan.

Lagipula ini bukannya malam Jumat Kliwon atau detik-detik menuju maghrib, curiga dengan setan juga tidak mungkin. Dia sedang berdiri lalu wajah dari samping tertutup rambut, matanya fokus dengan layar ponselnya, pakai jaket denim dan jogger pants merah.

Tidak salah kalau itu si bahasa gado-gado.

Ditambah pakai sendal jepit ke tempat les. Memang dikira hendak wudhu ke masjid?

Gue ragu ingin samperin, tapi nanti membuat anak orang menangis lagi kemudian gue dilaporkan oleh orang tuanya lalu gue dipenjara. Khayal mulu.

Tapi ada yang samperin dia. Lelaki rambut hitam, wajahnya datar banget, kemudian toyor-toyoran dengan dia. Sepertinya itu pacarnya kalau tak salah. Pacarnya lebih tua, suka dengan om-om dia.

Tak lama mereka pergi pakai motor lelakinya. Dan motornya melewati gue yang sedang berdiri tanpa melihat gue si bahasa gado-gado itu. Ya peduli apa sih gue, lagipula dia aneh dan tak jelas. Jangankan itu bahasa saja masih remedial omongnya.

"Udah khayalnya, Nathanael Na?" tanya seseorang.

Gue balik badan dan melihat Shilla bawa berkas yang kita-gue kerjakan, maksudnya. Sambil tersenyum simpul dia jalan mendekat ke arah gue. "Ini udah sore banget, gak langsung pulang?" tanyanya lagi.

Mata gue menatap langit cari alasan dan DAMN! alasannya adalah, "Mau lihat senja," jawab gue asal.

Shilla melihat apa yang gue lihat. Langit yang berwarna oranye serta semburat ungu dan merah muda mendominasi sore ini serta hati seseorang, siapa tahu.

Sedang enak-enaknya melihat karya Tuhan yang sangat bagus, ada kalimat yang membuat gue bengong setengah mati. Yang tidak akan kalian pikirkan sebelumnya dan hal-hal rumit terjadi.

Dengan lantang dan intonasi yang meluap ke mana-mana si perempuan di samping gue mengungkap sesuatu hal.

Untuk itu pertama kalinya teman se-rival gue membuat luka yang lumayan membekas sampai ke rahang. Iya, dia orang yang menyuruh perempuan permen karet mendekati Peter. Noah Lee.

"GILA LO, YA?!" Gue tak terima dipukul oleh Noah yang tidak tahu dari mana dia datangnya.

Napasnya tak beraturan lalu ia mulai berani menunjuk gue. "GUE GAK SUKA GAYA LO."

"Alasannya apa? Lo gak suka gaya gue, hah? BILANG! GAK USAH CUPU!" Tangan gue hendak ancang-ancang meninju balik Noah di rahangnya. Tapi sebuah penghalang yang sudah menangis membuat gue kehilangan nyali.

"KALIAN, KAN, TEMENAN. JANGAN BERANTEM DONG."

Noah berdecih. "Gue gak mau temenan sama cowok penikung kayak dia."

"Gue juga gak mau temenan sama orang yang main fisik dan gampang kesulut emosinya," ucap gue sambil buang ludah yang sudah bercampur dengan darah ke jalan.

Niat ingin nongkrong tak jadi karena ulah Noah. Hendak pulang nanti ditanya mulu oleh Ibu. Gue putuskan untuk ke rumah Peter yang tak jauh dari sini.

Sejujurnya gue tidak suka permusuhan, tapi kalau dia yang mulai apa boleh buat?

[2] Favorite ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang