18. Senyumnya Luntur

68 7 0
                                    

"SOREEE DEK SANDRA!"

"Malu woi malu, ngapel pulang sekolah."

Ini sudah seminggu Peter mendekati adik kelas bule, tapi tak ada perubahan pada hubungan mereka.

Yang jelas masih main-main seperti adik-abang, kalau kata gue sih mereka cocok jadi adik-abang saja. Yang satu hyper active dan satunya kalem adem.

Bukan seperti gue dan Hazel yang bertemu langsung marah-marahan. Padahal dulu tidak, tapi sekarang dia kalau marah seramnya melebihi Ibu kehilangan tupperware. Mungkin faktor puberty kali, ya.

Sandra keluar dari kelasnya sambil misuh-misuh, karena satu kelas melihat mereka mulu. Risih banget.

"Duh, Kak Peter, Sandra malu tahu diteriakin gitu." Sandra menutup mukanya dengan telapak tangan kemudian Peter menurunkan tangannya.

Mau pulang saja daku, teman :)

"Hehehe maap-maap, nanti Babang Peter gak bakalan teriak lagi, kok." Peter menyengir sambil membenarkan rambut Sandra ke belakang telinga.

"Rambut kamu panjangan, ya," lanjut Peter.

Mata Sandra membulat sambil pegang ujung rambutnya. "Apaan, sih, Kak? Orang segini aja kok dari seminggu lalu aku potong rambut."

"Maksudnya, lebih panjang satu centimeter."

Sandra mengeluarkan ikat rambut dari tasnya, tapi ditahan oleh Peter. "Eeehhh mau diapain? Dikuncir? No, no, no, lebih cantik Sandra digerai rambutnya. Sini ikat rambutnya biar aku pegang."

"Iiihhh nggak. Ini cuacanya panas banget, Kak Peter. Rambut aku cuma dipotong sepunggung aja masih gerah dari pada rambut sepinggang."

"Ya udah sini aku pegangin rambutnya biar gak gerah."

"Tangan Kak Peter pegel nanti."

"Nggak dong. 'Kan—"

"PAHIT WOI PAHIT BANGET DAH DISINI. GUA CARI ANGIN AJA KALI, YA. YA ALLAH GERAH BANGET, NERAKA BOCOR KALI YA." Gue mendumel sambil keluar dari koridor kelas delapan.

By the way, kenapa gue bicara seperti tadi, ya? Ah tidak peduli. Lagipula siapa juga yang ingin dengar kalimat menjijikkan ala Peter Lee.



Line!


Sebentar ada notifikasi masuk.

Peter Lee : gw pulang bareng Sandra.

He-he-he gue ditinggal kedua kalinya. Apes banget kalau punya teman yang sudah ada gebetan, tiap saat pasti sibuk.

Hari ini gue ada les sore jadinya tidak aoa-apalah kalau tanpa Peter. Biarkan dia bersenang-senang bersama gebetannya. Semoga jadianlah mereka, kasihan Peter jamuran nanti.

Sekarang gue di halte bus. Bingung ingin melakukan apa, jadi gue hanya bengong—tepatnya, memikirkan PAS semester 2.

Busnya eudah sampai dan gue mengakhiri bermonolog di sini.



🍃🍃🍃



Tap.

Gue turun dari bus lalu menyebrang. Di sana tumben ramai biasanya sepi.

Dan kebetulan banget bertemu Sandi di depan gerbang les. Sama-sama baru datang. "Oi, San!" apa gue.

Sandi tersenyum. "OI, NAEL! TUMBEN DATENG JAM SEGINI?"

Duh, please kek gak usah toa. Sakit kuping gue.

[2] Favorite ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang