"Desa Stowe! Kyle lihat!"
Pandangan Kyle buram. Tangan kanannya memegang erat dahan pohon. Kepalanya berat. Apa dia salah makan? Tidak.
Jantungnya berdetak kencang dan begitu mengerikan. Semakin lama napasnya tersengal-sengal. Sulit menghirup udara sedikit pun, dia hanya bisa memanfaatkan mulutnya. Gadis di depannya tidak boleh tahu, dia harus menahan rasa sakit ini.
"Kyle? Kenapa kamu diam saja?" panggil Olive yang lalu berbalik.
Mata Olive membelalak ketika sadar keringat dingin keluar dari laki-laki di hadapannya. Kyle memegang dada kirinya. Perlahan-lahan laki-laki itu terjatuh.
"Kyle!" Olive segera menghampiri dan memeluk Kyle agar tidak tumbang.
"Putri ... pergilah, aku akan menyusulmu," balas Kyle.
"Tidak, tidak, Kyle. Aku tidak akan meninggalkanmu, bertahanlah!" Deru napas Kyle yang Olive dengar dekat telinganya. Semakin berulang napas itu terdengar, Olive makin mengeratkan pegangannya. Berulang kali meyakinkan hati sendiri bahwa Kyle akan baik-baik saja.
Olive menahan segalanya dalam pelupuk mata. Napas Kyle semakin tipis, bahkan tidak mampu untuk membalasnya dengan satu huruf sekali pun. Badan yang tengah Olive peluk mulai dingin, tidak lagi hangat.
"Oli ... ve." Panggilan itu terdengar sangat lirih. Bahkan Olive hampir berasumsi jika itu hanyalah khayalannya. Dia tahu, Kyle mencoba mengatakan sesuatu tetapi tertahan.
"Kyle, aku mohon bertahanlah! Aku akan ... akan ...."
Kyle tiba-tiba bergeming. Tidak ada lagi deru napas, begitu juga jantungnya yang seakan berhenti berdetak. Di tengah teriknya panas, Olive harap ini hanya ilusi. Kyle masih berdiri di belakangnya, sibuk meledek dan tertawa menyebalkan. Dia tahu itu.
Sayangnya, harapannya itu kandas. Lebih dari lima menit posisi mereka berpelukan dan Kyle tidak bicara. Air matanya seakan tahu. Membiarkan gerbang terbuka, waktu tepat untuk air matanya jatuh dari pelupuk.
"Kamu tidak boleh meninggalkanku, Kyle! Ini pasti bercanda? Bukankah sejak kemarin kamu baik-baik saja?" tanya Olive putus asa. Dadanya sesak.
Olive memeluk tubuh lelaki itu lebih erat lagi. Di hadapannya tiba-tiba muncul bunga bokor berwarna biru. Dia tidak ingin peduli. Kyle lebih penting, menurutnya. Bahkan jika dia harus mati untuk laki-laki baik di hadapannya pun tidak masalah.
Olive menatap ke bawah lalu melihat bunga bokor itu kembali bersinar. Sesuatu muncul setelah bunga bokor tersebut hilang. Manusia? Olive pikir bukan. Terlalu kecil untuk ukuran manusia pada umumnya.
Dari bunga bokor tersebut muncullah makhluk kecil berukuran lima sentimeter. Rambut cokelat dikucir sehingga menampilkan telinga yang runcing. Baju berwarna hijau dan biru yang begitu indah serta sayap yang menyerupai sayap kupu-kupu hinggap di bagian punggung. Roknya menyerupai bentuk bunga bokor itu sendiri. Dengan wajah mungil, makhluk itu tersenyum.
"Halo! Aku peri bunga bokor, aku akan membantumu!" ucap makhluk kecil tersebut.
Olive mengangguk. "Tolong bantu aku! Bawa Kyle ke Desa Stowe."
Peri tersebut terbang mengitari Kyle dari atas. Bubuk-bubuk emas mulai berjatuhan. Tidak hanya pada Kyle, dia juga menyebar bubuknya pada Olive. Sehingga semakin lama sekitar mereka menjadi lebih terang.
Terlalu menyilaukan hingga Olive pun turut menutup mata. Sampai dia mendengar suara imut menyadarkannya, "Kita sampai."
Olive membuka matanya perlahan. Pemandangan menyejukkan mata. Rumah-rumah yang dibangun sederhana, tetapi begitu kokoh. Warna hijau yang ditapakinya sangat menenangkan. Serta pandangan orang-orang yang sangat khawatir. Semua mendatangi Olive dan Kyle.
"Tolong kami," pinta Olive pada orang-orang di depannya. Para pria mengangguk. Menarik tubuh Kyle dan membopongnya ke dalam rumah salah satu warga. Sementara para wanita mencoba membawanya pergi ke tempat lain.
Olive terus menoleh, memastikan keberadaan Kyle. Hatinya meronta-ronta, meminta unuk lebih dekat dengan lelaki yang menemaninya selama beberapa hari ini. Namun, dia tidak bisa. Tubuhnya lunglai dan memilih untuk berjongkok. Para wanita pun turut memeluknya, mengelus punggung demi menenangkan hatinya.
"Mengapa ribut-ribut?" Olive menengadah dan menemukan seorang pria tua menghampirinya.
"Pak Tua, gadis ini datang tiba-tiba bersama seorang pria yang kelihatan sedang sakit," jelas seorang wanita di sampingnya.
Pak Tua mengangguk. "Sudah ditangani?"
"Sudah!" balas peri kecil yang muncul tiba-tiba di depannya.
"Halo peri kecil, apa kamu datang bersama dua manusia itu?"
"Ya, Pak Tua. Aku hadir karena perempuan itu menangis." Peri kecil itu menunjuk pada Olive.
Setelah menyuruh para wanita kembali melanjutkan aktivitas Pak Tua melanjutkan langkahnya dan menuntun Olive berdiri. Karena bingung gadis itu langsung menuruti. Pak Tua meraba tangan Olive lalu kembali menatapnya.
"Dahulu, seorang wanita yang menumbuhkan bunga bokor datang ke mari membawa bayinya. Lalu, dia meramal jika salah satu anggota keluarga kerajaan akan mengalami hal serupa, menumbuhkan bunga bokor," ucap Pak Tua pada Olive.
"Eh? Maksud Tuan apa?" Olive kebingungan. Pak Tua berbalik dan kembali tersenyum. "Tidak aku ...."
"Putri Olive tidak perlu takut, kami tidak memihak kerajaan mana pun. Manusia dan penyihir hidup berdampingan di sini. Namun, apa yang Kerajaan Lowind percaya tentang bunga bokor itu hanyalah kepalsuan dari para keluarga bangsawan," balas Pak Tua.
"Palsu?" Olive berucap lirih. "Artinya bunga bokor bukan berarti penyihir?"
"Ya, benar. Bunga bokor berarti ikatan takdir dengan penyihir. Wanita itu menumbuhkan bokor karena melahirkan penyihir lainnya. Itu hal lumrah di Kerajaan Ranhold. Bisa juga sebagai pertanda yang mengikat di antara penyihir denganmu." Olive menyimak bagaimana pria tua tersebut menjelaskan begitu detail.
Peri kecil itu mengangguk pada Pak Tua. Dia lalu duduk di bahu Olive dan berbisik pelan, "Mama."
Olive langsung melompat ke belakang. Menelan ludah dari apa yang didengarnya. Pasti halusinasi! Pak Tua lalu tertawa.
"Wajar jika peri itu melihat Anda sebagai sosok ibunya. Layaknya anak, peri juga lahir atas kehendak Putri dan Jodoh Putri sendiri," jelas Pak Tua lagi.
"Kehendak? Memangnya jodohku siapa?"
"Saya hanya bisa berasumsi, Putri. Jodohmu adalah penyihir di Kerajaan Ranhold."
Olive bergeming beberapa saat. Seakan mulutnya terkunci. Seiring dengan halusnya angin menyentuh pipi, Olive kebingungan. Haruskah dia meratapi nasib disaat dia mencoba mensyukuri hidupnya?
"Pak Tua benar, Mama! Papa ... Papa sedang menunggu kita."
Olive menutup mata, membiarkan sesak di dada menguasai pikirannya sejenak. Dia harus apa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Hortensia's Tears (END) [dalam Revisi]
FantasyHortensia's Tears : I love you to the moon and back Dalam kehidupan yang ditinggali oleh berbagai makhluk hidup, cinta dan tahta menjadi paling agung. Semua diatur oleh sang penenun takdir, Dewa Agung. Namun, tidak semua cinta akan berjalan mulus...