3. Hilang Arah

54K 2.5K 16
                                    

Olive termangu, kedua bola matanya menatap nanar apa pun yang berlalu lalang di depannya. Para pelayan memakai tudung hitam, tradisi Kerajaan Lowind ketika keluarga kerajaan maupun bangsawan telah meninggal. Dia tidak mau memakai baju hitam maupun tudungnya. Jauh di lubuk hati, dia yakin betul Raja Kenneth tidak meninggal. Ayahnya masih hidup, sebentar lagi pulang dan memeluk Olive seperti dulu.

Ayahnya tidak mungkin terbunuh dengan mudah. Tidak ... Olive yakin, sangat yakin.

"Putri Olive," panggil Kyle seraya memberi hormat layaknya ksatria setelah para pelayan meninggalkan ruangan, "Para perwakilan keluarga bangsawan sudah menunggu Anda."

"Aku tidak mau bertemu mereka," balas Olive, "mereka semua pembohong."

"Maaf, tapi pemakaman—"

Olive memicingkan mata. Air matanya mulai menggenang di pelupuk mata, memberi efek hangat yang tidak semestinya. Hatinya terus menolak meski logika pada otak sudah menyatakan hal serupa. "Tidak ada yang mati. Semua pembohong. Kamu juga, Kyle. Aku mohon hentikan lelucon ini!"

"Putri, Raja Kenneth benar-benar tiada," lirih Kyle. Dia berusaha memahami perasaan Olive dan memendam rasa bencinya pada para penyihir. Jujur saja hatinya pun turut berduka bahkan memarahinya.

Apanya yang panglima termuda? Melindungi Raja saja tidak bisa! Kyle tidak tahu harus ditaruh ke mana mukanya saat ini. Bahkan jika kakek dan keluarganya ingin menurunkan jabatannya, Kyle akan sukarela untuk melakukan hal tersebut.

Olive masih bergeming di kamarnya. Jika dilihat dari dekat, mata Olive bengkak. Kyle tidak ingin berasumsi lebih jauh, tetapi nyatanya gadis itu memang menolak kenyataan dari kematian. Tanpa izin, Kyle masuk ke kamar yang didominasi warna kuning cerah dan ubin dengan ukiran bunga-bunga mawar.

Kyle tahu apa yang diperbuatnya salah. Tangan kanan digunakan untuk mengusap air mata Olive. Sementara tangan kiri sibuk mengelus rambut pirang halus gadis tersebut. Saling mengirim perasaan sakit dan duka bersama-sama.

"Aku tahu sulit untuk mengikhlaskan kepergian orang yang dicintai." Olive membuka mata, hanya ada gambaran buram dari sosok lelaki yang baru saja bicara. Refleks dia memalingkan muka.

"Aku bilang ayah belum mati, Kyle. Kamu tahu bagaimana ayahku suka bercanda. Ingatkah bagaimana dia membuat kita berdua berpikir jika ada rusa bertanduk emas dan burung nuri yang bicara, nyatanya dia berbohong...," balas Olive "... dan gurauannya tentang para penyihir yang ternyata bisa melakukan apa pun."

Kyle menjauhkan kedua tangannya dari Olive. "Maaf."

"Ini lelucon terburuk yang pernah kudengar, Kyle."

Kyle mengembuskan napas, dia mendongak melihat atap-atap kamar seorang putri yang diukir dengan berbagai batu alam. Raja Kenneth selalu membahagiakan anaknya. "Tidak ada satu orang pun yang bahagia mendengar kematian ini, Putri."

"Ayah belum mati!" Olive bersikeras. Dia mengeratkan pegangan pada bagian gaunnya. Air mata telah bercucuran dan membasahi gaun indahnya. Tidak, gaun hitam ini tidak indah. Bahkan ahli jahit dari manapun tidak dapat membuatnya indah.

Kyle memberanikan mengangkat ujung-ujung bibirnya untuk tersenyum setulus mungkin. "Namun, Raja Kenneth sudah melakukan yang terbaik demi Kerajaan Lowind."

"Memang seberapa berbahayanya Kerajaan Ranhold?! Kita hanya tidak perlu menyerang balik dan semua beres. Tidak akan ada yang terluka." Olive menatap Kyle marah, kedua tangannya dia gunakan untuk memukul dada pria tersebut.

"Ranhold berisi para penyihir, Raja mereka penyihir tingkat atas. Tidak seperti cerita dongeng Cinderella, mereka berniat busuk. Nyatanya raja mereka membunuh Raja Kenneth.

Hortensia's Tears (END) [dalam Revisi]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang