Aksioma #3

110K 8.4K 748
                                    


SHAFAY
Ketika aku masih di rumah dan bersiap ke sekolah, Mario sudah meminta agar semua pengurus inti berkumpul di ruang marching band sebelum bel masuk berbunyi. Mario adalah ketua marching band tahun ini, dan dia merasa bertanggung jawab untuk kejadian sore kemarin ketika latihan.

"Kita nggak mungkin minta diganti pelatih, kan? Lagian, Kak Agni bersedia nggak dibayar untuk ngelatih CG selama Kak Tessa cuti melahirkan," ujar Mario ketika kesepuluh pengurus inti marching band sekolah sudah berkumpul di ruang sempit dan harus membaginya juga dengan peralatan marching band.

Kami mengangguk-angguk mendengarnya. Kejadian kemarin, saat alergi Kak Agni kambuh ketika sedang melatih CG, benar-benar membuat kami semua panik. Sebelumnya, dia memang sudah memberitahu kami bahwa kulitnya sensitif jika terlalu lama terkena sinar matahari, ruam-ruam muncul di wajah dan tangannya, tapi dia masih bisa bilang, "Nggak apa-apa, kok."

Pak Fandi selaku Guru Pembina Marching Band sedang ditugaskan ke luar kota untuk mengikuti program pertukaran guru, sehingga beliau nggak bisa berbuat banyak dan menyarankan pada kami untuk meminta bantuan kepada ketua OSIS. Untuk? Tentu saja untuk meminta izin pada Guru Pembina OSIS supaya kami bisa menggunakan aula sekolah untuk latihan.

"Kalau aja Pak Fandi ada, kita nggak akan bingung gini," keluh Liana. Dia adalah Gitapati[1] milik sekolah kami, yang kecantikannya mengalahkan kecantikan seluruh siswi di sekolah. "Kita harus cepet-cepet temuin Akas." Kali ini dia melirikku.

[1] Komandan tertinggi dalam marching band yang bertugas memimpin pasukan.

"Gue?" Aku menunjuk hidung.

"Lo kan temen sekelasnya Akas, jadi ngobrolnya pasti lebih enak," lanjut Liana. Sudah kubilang, dia gadis paling cantik, tinggi, putih, mulus, nan glowing, jadi semua orang akan patuh pada permintaan dan pendapatnya, seperti sekarang ini saat semua orang mengangguk menyetujui usulnya tadi.

"Kok gue, sih?" Mereka nggak tahu saja, sejak kelas X sampai kelas XI ini aku sekelas dengan Akas, aku sama sekali nggak pernah mengobrol atau melakukan interaksi apa pun dengan laki-laki itu. Kecuali nggak sengaja, seperti papasan di ambang pintu yang membuatku terpaksa menatapnya atau hal mendesak lain. Akas semengerikan itu? Nggak, nggak, bukan gitu. Akunya saja yang malas untuk punya urusan sama dia.

"Lebih cepat lebih baik, deh, Fay," tambah Sandi.

Ingin sekali aku membuang simbal yang berada di dekatku ke wajahnya. Seenaknya saja.

"Harusnya, sih, sebelum latihan minggu ini, kita udah bisa pakai aula." Sarah ikut menambahkan, dia kayaknya memang punya dendam pribadi padaku karena nggak lulus menjadi mayoret dan hanya naik satu tingkat menajdi ketua CG.

"Gue ngobrol ke Akasnya sama Mario, kan?" Aku menatap Mario, nggak terima. Dia kan ketuanya?

"Fay, hari ini gue ada ulangan Kimia." Mario beralasan. Memang, siapa sih yang mau punya urusan sama Akas? Males.

"Gue juga ada ulangan Kimia." Aku masih bersikukuh, nggak mau dikorbankan.

"Tapi gue belum belajar." Mario beralasan lagi, wajahnya memelas. "Plis, Fay. Kalau ada kesulitan baru nanti gue bantuin ngomong."

Sembah sujudku, Ya Rab, aku ingin sekali mengacak-acak semua peralatan marching band di dalam ruangan ini dan teriak, "KENAPA GUE HARUS JADI TUMBAL?!"

AksiomaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang