"Maaf."
—Akas
***
SHAFAY
Aku keluar dari ruang teater lebih dulu, menghampiri tempat sampah untuk membuang kemasan popcorn dan gelas kopi yang menemaniku selama pertunjukan berlangsung. Kak Yugo menyusul, menyejajari langkahku saat sudah selesai mengotak-atik layar ponselnya dan kembali memasukannya ke dalam saku celana."Habis ini kita ke mana lagi?" tanyanya.
"Pulang aja gimana?" tanyaku.
"Capek, ya?" Dia menyengir.
"Udah malem," jawabku sambil menuju eskalator yang membawa kami untuk bergerak turun.
Kak Yugo melirik jam tangannya. "Oh, iya, udah jam 8, udah malem banget," ujarnya dengan nada mencibir. "Jam 9 harus udah tidur, ya?"
Aku terkekeh, turun dari eskalator dan berjalan menuju pintu keluar.
Sebenarnya, alasanku menerima ajakan Kak Yugo hari ini adalah untuk menghindari ajakan Ayah. Tadi siang, saat jam istirahat sekolah, Ayah menelepon, mengabari bahwa malam ini aku harus ikut makan malam bersama Tante Ana dan keluarganya. Ketika aku bertanya keikutsertaan Bang Sultan, Ayah bilang, Bang Sultan nggak bisa ikut karena tugas kelompok yang harus dikerjakan di kosan temannya. Jadi, aku juga memutuskan untuk nggak menghadirinya, menggunakan alasan yang sama, harus mengerjakan tugas kelompok dengan temanku.
Iya, aku berbohong setelah bersekongkol dengan Laras dan Fadia. Takut-takut Ayah memastikan dan menelepon kedua temanku itu.
Semalam, mungkin aku masih bisa untuk kelihatan baik-baik saja saat makan malam bersama Tante Ana. Padahal, dalam hati, aku menebak-nebak apa yang akan Ayah bicarakan padaku setelah Tante Ana pulang nanti.
"Ayah ingin melanjutkan hubungan ke jenjang yang lebih serius dengan Tante Ana, boleh?" Pertanyaan itu yang Ayah ucapkan saat mengobrol berdua denganku, setelah mengantar Tante Ana pulang.
Aku menjawabnya dengan senyum getir. "Kalau itu ... yang terbaik buat Ayah." Kemudian dadaku nyeri setelah mengucapkannya.
Jadi, setelah rasa nyeri semalam yang kurasakan, aku berusaha untuk menghindarinya, setidaknya nggak dalam waktu dekat ini. Jika aku ikut serta dalam acara makan malam hari ini, pasti sepanjang memasukan makanan ke mulut aku bertanya-tanya dalam hati, apa yang akan dibicarakan para orang dewasa itu setelah makan malam. Pernikahan? Apakah rasanya akan sama atau bahkan lebih buruk dari perasaanku malam tadi saat Ayah meminta izin padaku?
Yah, aku harus menghindarinya dulu. Padahal menghindar adalah hal yang paling kubenci dari Akas, tapi sekarang aku melakukannya.
"Akun sampah, nih," gerutu Kak Yugo sambil menatap ponselnya.
Kami sudah berada di luar gedung, tapi karena hujan turun dengan deras, kami memutuskan menunggu hujannya sampai reda. Kami memutuskan atau memang Kak Yugo yang memutuskan sendiri dan aku menurut saja? Karena sejak tadi aku sibuk dengan pikiranku sendiri, dan baru sadar ketika kami sudah berdiri di luar gedung pusat perbelanjaan sambil menatap air hujan yang berjatuhan.
"Udah lihat postingan ini belum, Fay?" tanya Kak Yugo sembari menyerahkan ponselnya padaku.
Tanpa sadar aku mengernyit, mungkin ekspresiku terlihat jijik saat menatap video itu lagi. Video Kak Yugo yang diunggah oleh akun Halal Ketawa "Udah." Aku mengembalikan ponsel Kak Yugo, memberi ekspresi minta maaf atas respons refleksku barusan yang nggak mengenakan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Aksioma
Teen Fiction-Shafay Nataya- Akas? Cowok yang mirip patung itu? Nggak pernah senyum dia. Nggak ngerti, deh. Mungkin kalau dia senyum, mukanya bakal retak-retak kayak tanah musim kemarau nggak kesiram air. Suka bikin orang yang ngajak dia ngobrol salah tingkah. S...