Aksioma #8

79.9K 7.2K 561
                                    


AKAS
Gue menarik gas sampai batas maksimal, motor yang gue kendarai melaju sangat cepat membelah jalanan Cibubur yang lengang. Garis finish yang ditentukan sudah ada di depan mata, tempat di mana para suporter berteriak menunggu kedatangan dua orang yang sedang berusaha mencapainya.

Gue merasa sudah melakukan yang terbaik, tapi Rico mengalahkan gue dengan mencapai garis finish lebih dulu. Hanya berselang dua detik, gue menarik rem dan sampai di garis finish. Pandu dan dua teman gue yang lain menyambut kedatangan gue, menepuk-nepuk punggung gue memberi semangat.

Gue melepas helm, menaruhnya di atas motor, lalu menghela napas lelah.

"Rico sering pakai jalan ini buat balapan kayaknya," ujar Pandu sambil memperhatikan euforia kemenangan tim Rico. Teriakan-teriakan suporternya saat mengejek kami, membuat gue ingin menyumbat telinga. "Gila mereka, tuh!" Pandu menatap nggak suka ke arah lawan sementara tangannya mengulurkan sebotol air mineral untuk gue.

"Gue, kan, udah bilang sama lo, ini cuma buang-buang waktu." Davin memperhatikan sekeliling. Tali kamera menggantung di tengkuknya, dia memotret beberapa sudut jalan yang lengang, yang jika diteruskan maka arahnya menuju ke Kota Wisata Cibubur.

"Gue boleh ngomong sesuatu nggak, sih?" tanya Garda. "Kaki gue gemeteran liat lo tadi. Sumpah, Kas. Jangan lakuin ini lagi." Ini pertama kalinya Garda dan Davin melihat gue ikut balapan liar, karena biasanya hanya Pandu yang menemani gue. Saat sore atau tengah malam, saat panas atau hujan, Pandu nggak pernah absen untuk menyodorkan botol air mineral pada gue dan selalu menjadi suporter tunggal.

"Gue bilang, jantung bakal mpot-mpotan, lo nggak percaya." Pandu meraih botol air mineral dari tangan gue yang sudah habis setengahnya. "Susah emang ngajak tua bangka kayak lo, Gar," ejek Pandu. Kemudian dia menatap gue. "Ribet banget dia teriak-teriak daritadi, segala nyebut tagfir sampe takbir."

"Kas, untuk semua kenakalan lo, terserah. Tapi untuk ini, bahaya banget, Kas. Belum lagi kalau ada razia," kata Garda lagi.

"Bawel." Davin menoyor kening Garda. "Gue baru tau kalau Garda mulutnya lebih emak-emak daripada Pandu."

"Kambing!" Garda balas menoyor Davin, merasa nggak terima.

"Rico minta apa kalau lo kalah?" tanya Davin pada gue.

"Dia nggak ngomong apa-apa," jawab gue. Gue menerima tantangan Rico. Saat mencari gue ke kelas tempo hari, dia sempat berbisik sebelum pergi. "Suka balapan, kan, lo? Berani sama gue?" tantangnya. Saat itu, gue hanya mengangguk, menyetujui.

"Bego lo, ya?!" umpat Davin.

"Parah lo, Kas! Kalau Rico minta macem-macem gimana?" Pandu menambahkan.

Dan tanpa diduga suara itu datang. "Gimana? Gimana? Menerima kekalahan dong, ya?" Rico datang didampingi Fadli, senyum kemenangan mengiringi kedatangannya.

Gue diam, nggak menimpali, dan merasa nggak perlu juga turun dari motor.

"Hapus videonya," ujar Rico.

Gue mendecih, heran, nggak menyangka tujuannya menantang gue sekarang hanya untuk melakukan permintaan itu. "Lo masih yakin kalau itu gue yang bikin?" tanya gue. Sama seperti tujuan kedatangannya ke kelas, dia menuduh gue yang menyebarkan video kelakuan memalukannya bersama Fadli di media sosial.

"Udah bukan jadi rahasia lagi, itu pasti lo." Rico melangkah lebih dekat. "Untuk di batas ini, gue masih kena hukuman ringan dari Pak Radi. Tapi kalau nanti lo bikin ulah lagi, gue nggak akan tanggung-tanggung." Dia menarik jaket gue.

"Woi, woi! Santai!" Pandu menyingkirkan tangan Rico.

Rico menatap gue beserta teman-teman gue. "Lo! Lo-lo semua beraninya cuma sembunyi di belakang akun sialan itu. Banci. " Dia mendecih meremehkan.

AksiomaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang