SHAFAY
Aku berjalan melewati koridor kelas X dengan wajah menunduk. Sejak kemarin, sepulang ekskul, aku sama sekali nggak berani membuka media sosial. Berkali-kali Laras meneleponku, katanya ada informasi penting dari dua akun absurd paling terkenal seantero sekolahan, Shooter X dan Halal Ketawa.Laras Arsawati : Angkat, plisss!!!
Itu adalah pesan terakhir dari Laras yang berusaha kuabaikan setelah rentetan pesan sebelumnya dan panggilan telepon puluhan kali.
Selesai gue! Nasib gue di sekolah ini selesai. Pasti foto di UKS kemarin sudah tersebar.
Aku memejamkan mata sejenak ketika melewati tiga orang siswi yang sedang mengerumini layar ponsel sambil berkomentar, "Jijik banget, deh." Aku sudah melihat pemandangan itu sejak memasuki halaman sekolah, komentar-komentar seperti itu juga sudah kudengar. Dan saat aku berjalan melewati mereka, mereka segera memberi senyum sambil menyapa, "Hai, Kak Shafay!" dengan ceria seolah-olah aku nggak mendengar komentar mereka tadi.
Aku mengangguk, tersenyum tipis, lalu berjalan cepat lagi sambil kembali menunduk.
Langkahku terhenti saat keningku membentur dada seseorang. Aku mengambil satu langkah mundur untuk melihat orang itu. Dan ... dia lagi. Seharusnya aku sudah tahu siapa yang kutabrak tadi karena aroma maskulinnya sudah sangat kukenali.
Cieee!!!
APA SIH GUE!!!
"Tabrak dinding sekalian, sana!" ujarnya tegas. Nggak bisa disebut membentak juga, karena suaranya nggak terlalu keras.
Aku memberengut, masih sambil memegang kening. "Mau nabrak dinding, kek. Nabrak tiang. Sampe nabrak gorila juga bukan urusan lo!" Aku melotot, berusaha membuatnya gentar, tapi malah aku yang gemetar. "Minggir!" Aku mendorong bahunya dan dia mengalah begitu saja. Tumben?
Pengin ditahan, Fay?
APA SIH!!!
Baru saja aku melewatinya, sebuah suara membuatku kaget. Selanjutnya perasaanku nggak enak. "Shafay!" Itu suara Bu Dela, Guru Kesenian sekaligus wali kelasku. Beliau baru keluar dari ruang kesenian, berdiri di depan sana sambil menatap ke arahku. "Akas, kamu ke sini juga!"
Nah, sampai di sini perasaanku lebih nggak enak lagi. Aku melangkah menghampiri Bu Dela secara perlahan, sementara Akas melangkah cepat mendahuluiku. Dalam kamus Akas, ladies first itu nggak ada, ya?
"Untung ketemu kalian di sini," gumam Bu Dela sambil merapikan setumpuk brosur di tangannya. Mungkin saja brosur itu akan dipakai untuk memukulku dan Akas karena foto di ruang UKS yang sudah tersebar?
"Bu, saya boleh jelasin sesuatu nggak?" tanyaku dengan suara ragu, pertanyaan itu hampir tertelan lagi.
Bu Dela mengerutkan kening, mengangguk kemudian.
"Akas, Bu. Bukan saya. Dia yang selalu cari gara-gara sama saya." Aku memegang tangan Bu Dela. "Tolong, Bu. Dengerin saya." Aku memohon.
"Kamu kenapa, sih, Fay? Ada masalah apa sama Akas?" tanya Bu Dela, kelihatan bingung.
"Ha?" Aku menjauh dari Bu Dela, menatap Akas yang sekarang sedang menatap ke arahku dengan wajah gerah. Lho, Bu Dela sama sekali nggak tahu tentang foto di ruang UKS itu? Jadi, tadi aku hampir bunuh diri? Kupikir, sejak kemarin Laras sibuk menghubungiku, karena foto di UKS itu sudah tersebar. Lalu, apa yang menyebabkan semua orang sibuk mengomentari layar ponsel mereka sejak di halaman sampai koridor sekolah?
"Fay nggak bisa dibercandain orangnya, Bu," ujar Akas tenang.
Bu Dela tertawa. "Kalian pacaran?" Beliau menatap Akas dan aku bergantian.
![](https://img.wattpad.com/cover/158813640-288-k591981.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksioma
Teen Fiction-Shafay Nataya- Akas? Cowok yang mirip patung itu? Nggak pernah senyum dia. Nggak ngerti, deh. Mungkin kalau dia senyum, mukanya bakal retak-retak kayak tanah musim kemarau nggak kesiram air. Suka bikin orang yang ngajak dia ngobrol salah tingkah. S...