SHAFAY
Aku melewati gerbang sekolah, melangkah memasuki koridor sekolah yang masih ramai karena bel masuk masih sekitar lima belas menit lagi. Suara tawa dan obrolan siswa di sepanjang koridor menggema, seolah-olah menertawakan aku yang hari ini untuk bangun dari tempat tidur saja enggan."Fay!" Suara Laras memanggilku dari arah belakang dan aku menoleh, melihatnya sedang berjalan bersama Fadia. Dia berlari menghampiriku, meninggalkan Fadia yang masih berjalan santai. "Chat terakhir gue nggak dibales. Semalem lo tidur?" tanyanya.
Aku mengangguk, berbohong. Karena, setelah menceritakan apa yang terjadi semalam, tentang Akas, cowok yang mirip pohon pisang itu—punya jantung tapi nggak punya hati, aku bahkan nggak bisa tidur. Mataku terbuka semalaman, tentunya setelah lelah menangis. Dan baru tertidur menjelang pagi.
Saat bangun, perasaanku bahkan lebih buruk. Aku pikir air mata bisa menghapus luka, ternyata nggak. Air mata semalaman itu hanya menemaniku memeluk kesedihan. Nggak ada yang berubah saat aku menangis lama. Jadi, ketika pagi hari aku berniat untuk nggak pergi sekolah dan akan kembali bersedih, aku berpikir ulang, "Untuk apa?" Membuat semuanya bertambah buruk?
Aku pikir, Fadia akan mengomel seperti biasanya. Namun, saat sudah menyejajari langkahku, dia hanya tersenyum sambil bertanya, "Baik-baik aja, kan?"
Aku tersenyum, lalu mengangguk. Aku baik-baik saja, tapi kelopak mataku yang bengkak nggak bisa menyembunyikan keadaan yang sebenarnya.
"Gue minta maaf, ya," ujar Laras. Dia menggigit bibirnya. "Mungkin lo tersugesti dengan semua omongan gue."
Aku menggeleng. "Nggak." Walaupun Laras berkali-kali bilang bahwa, Menjatuhkan harga diri sampai porak-poranda di depan cowok kayak Akas itu sah-sah aja. Kejadian semalam kulakukan benar-benar karena dorongan dari diriku sendiri, yang ingin jujur pada perasaanku dan berharap Akas melakukan hal yang sama.
"Udah, udah. Jangan bahas itu lagi." Fadia menyelipkan rambut ke belakang telingaku, lalu merangkul pundakku sambil berjalan lagi. "Mungkin ini memang bukan waktu yang pas buat ngasih tau lo, tapi nggak apa-apa lah, ya."
"Ada apa?" tanyaku.
"Kak Yugo nanyain lo kemarin waktu gue latihan," jawab Fadia.
Kak Yugo memang salah satu senior taekwondo, tapi setahuku kelas XII sudah berhenti untuk mengikuti kegiatan ekskul. "Memangnya dia masih suka ikut latihan?" tanyaku.
Fadia menggeleng. "Nggak. Kemarin kayak ada pertemuan sama senior dan alumni gitu, terus dia hadir."
"Dan sengaja nyamperin lo untuk nanya tentang Shafay?" sambar Laras nggak sabar.
Fadia mengangguk.
"Tuh, kan! Gue udah curiga sejak dia kemarin duduk di sebelah lo di kantin. Alesan doang kalau tempat duduk penuh," ujar Laras.
"Kakak Tertampan," goda Fadia.
"Apaan, sih!" Aku cemberut. Mereka masih ingat saja waktu MPLS aku memilih Kak Yugo sebagai Kakak Tertampan. Jangankan kedua temanku, Akas saja ingat, kok.
"Tapi, seingat gue, dia itu kemarin-kemarin lagi deket sama temen sekelasnya, Kak Nindya. Sempet jalan bareng juga terus update di story," ujar Laras yang selalu khatam tentang gosip kedekatan cowok-cowok penting—menurutnya. "Mungkin nggak berlanjut, ya," gumamnya kemudian.
"Gue nggak tau sih kalau masalah itu," ujar Fadia cuek.
"Terus, terus, nanya apa aja dia, Fad?" Laras menggoyang-goyang tangan Fadia.
"Dia nanya katanya Shafay lagi sibuk apa sekarang? Ya, basa-basi gitu. Terus dia nanya nomor HP Shafay," terang Fadia.
"Lo kasih?" tanya Laras antusias.

KAMU SEDANG MEMBACA
Aksioma
Fiksyen Remaja-Shafay Nataya- Akas? Cowok yang mirip patung itu? Nggak pernah senyum dia. Nggak ngerti, deh. Mungkin kalau dia senyum, mukanya bakal retak-retak kayak tanah musim kemarau nggak kesiram air. Suka bikin orang yang ngajak dia ngobrol salah tingkah. S...