AKAS
Mama memasuki rumah dengan raut wajah yang sama seperti terakhir kali keluar dari ruang konsultasi di tempat bimbingan belajar tadi, sementara gue mengikutinya di belakang. Sesampainya di ruang keluarga, Mama membanting map berisi laporan nilai evaluasi terakhir milik gue yang selama perjalanan digenggamnya erat."Mama udah banyak ngasih kelonggaran buat kamu. Kamu tetap bisa main sama teman-teman kamu, tetap bisa ekskul basket, tetap aktif jadi Ketua OSIS." Mama duduk di sofa sambil memijat pelipisnya.
Gue mengembuskan napas panjang. Selama perjalanan dari tempat bimbingan belajar sampai ke rumah, Mama bungkam, tapi gue bisa melihat dari raut wajahnya bahwa dia sangat marah, kecewa. Nilai evaluasi gue turun dari nilai sebelumnya, terutama di mata pelajaran eksak, mata pelajaran yang seharusnya lebih gue kuasai dari mata pelajaran lain.
"Apa Mama harus hapus semua kelonggaran itu dan bikin kamu sibuk bimbingan belajar tiap hari?" tanyanya.
Gue menatap Mama, merasa nggak terima dengan usulnya barusan. Menjadi peringkat satu dan menjadi yang terbaik di kelas, bahkan satu angkatan, nggak membuat Mama puas begitu saja. Nilai gue harus tetap bagus atau, jika memungkinkan, harus terus naik.
"Kas?" Mama menatap gue dengan wajah memohon. "Kamu pernah janji sama Mama, kamu juga punya janji sama Bagas," ujarnya lirih. "Sekarang mana janji kamu?"
Bahagiain Mama, Kas. Kalimat itu pernah diucapkan Bagas, dan gue menyanggupinya saat itu, saat gue belum mengerti apa yang Bagas inginkan. "Akas akan lakukan yang terbaik," gumam gue, berjanji lagi.
"Itu harus." Mama menatap mata gue lekat-lekat. "Mama akan segera urus bimbingan belajar MIPA tambahan buat kamu. Nggak ada lagi banyak main-main, Kas."
Gue mengangguk pelan.
"Untuk mata pelajaran Matematika, Bu Dewi sudah kasih buku latihan soal yang harus kamu isi. Kamu bisa mulai mengerjakannya nanti malam, untuk mata pelajaran lain, Akan Mama konsultasikan lagi dengan Bu Dewi." Mama memijat pelipisnya lagi. "Mama nggak terima jika sekarang kamu main-main lagi. Mama nggak terima kamu ngecewain Mama. Karena Bagas nggak pernah melakukan itu."Gue menarik napas dalam-dalam, karena dada gue sedikit sesak
"Kamu ngerti, kan, Kas?" tanya Mama.
Gue mengangguk lagi.Mama menarik napas panjang, sepertinya akan bicara banyak lagi. "Bagas nggak pernah—"
"Abang! Eca tungguin dari tadi!" Teriakan Selsa membuat Mama menoleh, menghentikan ucapannya. Selsa dengan cepat menuruni anak tangga. "Eca mau—"
"Ca, Mama belum selesai bicara sama Abang." Mama mencoba menghentikan langkah Selsa yang kini menghampiri kami.
"Tapi, Ma, Eca ada perlu sama Abang." Eca cemberut sambil tetap melangkah menghampiri kami.
"Nanti, Ca!" Mama kelihatan marah.
"Ma, Eca ada tugas, mau minta tolong Bang Akas. Tugasnya harus dikumpulin besok." Eca menatap gue. "Dari mana sih, Bang? Ditungguin dari tadi juga!"
Mama bangkit dari sofa, terlihat menyerah menghadapi Selsa. "Mama simpan Buku Latihan Soal Matematika di kamar kamu, kerjain malam ini," ujar Mama sebelum pergi meninggalkan kami berdua.
Gue menatap Selsa yang kini hanya berdiri menatap gue. "Tugas apaan, sih? Tumben."
Dia nggak menjawab."Ada setan sekolahan nyungsep di badan lo, ya?" tanya gue berusaha mencairkan suasana yang nggak enak ini. Tatapan Selsa, gue tahu dia sedang menatap gue dengan tatapan nggak suka.
Selsa masih nggak bersuara, sekarang dia malah merogoh saku celananya. "Nih." Dia mengangsurkan sebungkus rokok dan korek gas. "Gue ambil dari laci meja lo, sebelum Bude Warmi bersihin kamar lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksioma
Teen Fiction-Shafay Nataya- Akas? Cowok yang mirip patung itu? Nggak pernah senyum dia. Nggak ngerti, deh. Mungkin kalau dia senyum, mukanya bakal retak-retak kayak tanah musim kemarau nggak kesiram air. Suka bikin orang yang ngajak dia ngobrol salah tingkah. S...